Kualitas manusia tampaknya harus dilihat dalam berbagai perspektif. Ukuran kualitas manusia ternyata berbeda-beda. Sebagai pegawai, apalagi pegawai negeri, tidak boleh berusia lebih dari 60 tahun, kecuali pada bidang tertentu, misalnya menjadi dosen atau guru besar. Ukuran serupa juga berlaku ketika seseorang menjadi tentara, usianya tidak boleh lebih 56 tahun, dan lagi-lagi kecuali yang menduduki jabatan tertentu. Begitu pula untuk menjadi olah-ragawan, pegawai bank, BUMN, dan lain-lain.
Ukuran tersebut baru menyangkut umur, tentu masih ada ukuran lainnya yang akan dipertimbangkan dalam menentukan kualitas manusia, misalnya tentang latar belakang pendidikan, integritas, ketrampilan, kompetensi, dan seterusnya. Tatkala memilih orang yang akan diserahi tugas atau memegang amanah kepemimpinan, maka harus diseleksi sesuai dengan kriteria tertentu, agar institusi yang dipimpinnya menjadi semakin berkembang dan maju.
Berbeda dari ukuran yang dikaitkan dengan pekerjaan atau amanah tertentu, adalah ketika menilai kualitas seseorang dalam perspektif agama. Mengikuti perspektif agama, orang bertaqwa yang disebut berkualitas. Namun arti taqwa itu sendiri juga diartikan beraneka macam. Gambaran yang umum disebut sebagai orang bertaqwa manakala yang bersangkutan mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Pengertian lainnya, seseorang disebut bertaqwa manakala sanggup memelihara apa yang ada di dalam hatinya.
Ketika hati seseorang berhasil dipelihara kesuciannya, maka yang bersangkutan disebut bertaqwa. Orang yang memiliki hati bersih tentu akan mampu bersyukur atas nikmat dan karunia Allah yang telah diterimanya. Selain itu sebagai orang yang bertaqwa adalah mampu bersikap ikhlas, sabar, tawakkal, rendah hati, peduli pada orang lain, menghormati orang tua dan juga gurunya, selalu memenuhi janji, amanah, dan sejenisnya. Siapa saja yang mampu menjalankan hal-hal itu disebut sebagai orang bertaqwa.
Sementara itu, menurut ukuran ekonomi tentu juga berbeda. Kegiatan ekonomi adalah berusaha dengan modal dan faktor lainnya sekecil-kecilnya, tetapi mampu menghasilkan untung yang sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, orang yang menekuni kegiatan ekonomi selalu berbicara efektif dan efisien, untung sebesar-besarnya dan ketika harus rugi, maka harus sekecil-kecinya. Memenuhi kebutuhan tenaga seperti itu, seseorang disebut berkualitas manakala yang bersangkutan pintar membaca peluang untuk memperoleh keuntungan, sanggup membangun jaringan yang luas, cermat, profesional, mampu bekerja sama, selalu berpikir efektif dan efisien dalam berbagai hal, baik di dalam penggunaan sarana dan prasarana, modal, dan juga sumber daya manusia.
Manakala ukuran kualitas manusia dalam perspektif ekonomi tersebut selalu dijadikan pegangan, lembaga pendidikan harus menyesuaikan dengan tuntutan tersebut. Di dalam menyusun program, dan seluruh kegiatannya harus mampu menghasilkan kualitas manusia yang dibutuhkan tersebut. Lembaga pendidikan yang kurang adaftif terhadap tuntutan zaman, lulusannya tidak akan diterima oleh masyarakat. Mereka akan menganggur, oleh karena tidak memenuhi kriteria kebutuhan sumber daya manusia yang diperlukan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan boleh saja mengikuti idealismenya, tetapi juga tidak boleh meninggalkan kebutuhan nyata dalam kehidupan ini. Wallahu a'lam