Oleh M. Zainuddin*
Opini dimuat di harian Jawa Pos tanggal 17 Februari 2017
HASIL Quick Count pilkada Jakarta oleh tiga lembaga survey Indonesia, baik LSI, SMRC dan Poltracking, menunjukkan bahwa Ahok-Jarot menempati posisi tertinggi. Hasil hitungan cepat LSI melaporkan Ahok-Jarot 43.22%; Anis-Sandi 39.91% dan AHY-Sylvi 16.87% (Jawa Pos 16/02/17). Kemengan Ahok menjadi pertanyaan besar dari berbagai kalangan, terutama umat Islam. Kenapa dia tetap unggul melebihi pasangan calon lainnya? Jika dalam putaran pertama (15/02/2017) dia sudah mengantongi suara 43,22% mengungguli pasangan lainnya, dan pada putaran kedua nanti tetap unggul dan terpilih lagi menjadi Gubernur yang ke-2 kalinya, ini sungguh menarik. Bukankah pemilih DKI mayoritas umat Islam? Tidak hanya itu, bukankah Ahok adalah calon yang bermasalah dengan statusnya sebagai tersangka dalam kasus penodaan agama?
Hampir mayaroritas umat Islam Indonesia optmis dan yakin bahwa Ahok tidak akan menang dalam perhelatan besar pemilihan Gubernur periode ke-2 ini, sebab statusnya yang bermasalah dan memiliki banyak lawan politiknya. Apalagi pesaingnya adalah dari kalangan Muslim yang diusung oleh partai yang kuat pula. Dengan demikian hampir dapat dipastikan Ahok akan terpuruk dan terlempar. Namun kenyataan berkata lain, bahwa ia tetap unggul dan mengungguli pasangan calon lainnya. Bagaimana membaca realitas hasil pemilihan seperti ini? Di mana peran dan sentimen agama?
Relasi Agama dan Politik
Perdebatan soal “agama dan politik” sebetulnya sudah lama terjadi, bahkan sejak awal sejarah Islam, yaitu ketika para sahabat (khulafaurrasyidin) dihadapkan pada soal calon pemimpin (baca: khalifah) sepeninggal Nabi. Saat itulah persoalan di seputar agama dan politik mulai menjadi wacana yang dipertentangkan. Munculnya kelompok Syi’ah dan Khawarij tidak lepas dari persoalan tersebut.
Dalam konteks Indonesia, tema-tema politik Islam bergulir mencapai klimaksnya pada perdebatan dalam konstituante pada paruh kedua dasarwarsa 1950-an. Sekarang persoalan ini mencuat kembali lantaran bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada agenda “membangun Indonesia baru” yang demokratis, terbuka dan tidak otoriter seperti yang terjadi selama dalam kekuasaan rezim Orde Baru.
Dalam merespon soal agama dan politik, di kalangan umat Islam terdapat dua arus pemikiran besar yang berbeda. Pemikiran pertama mengatakan, bahwa ajaran Islam adalah bersifat holistik. Oleh karena itu Islam dianggap sesuatu yang lebih dari sekadar sebuah agama. Menurut kelompok ini, disamping sebagai sebuah agama, Islam juga sebuah politik dan negara. Ungkapan: al-Islam dinun wa daulah, adalah sangat populer di kalangan mereka. HAR. Gibb sendiri, seorang orientalis kenamaan yang memiliki sejumlah karya monumental keislaman (Islamologi) mengakui, bahwa Islam memang tidak sekadar sistem teologi melainkan juga peradaban yang komplit (Islam is indeed much more than a system of theology it is complete civilization).
Di sisi lain sebagian umat Islam berpendapat, tak ada bukti jelas bahwa ajaran Islam (yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah) mengharuskan orang Islam untuk mendirikan Negara Islam. Mengenai pengalaman politik Nabi, khususnya di Madinah tidak dianggap sebagai proklamasi negara Islam. Karena itu sangat mafhum jika kelompok kedua ini menolak agenda politik para pemimpin dan aktivis Muslim yang berusaha menegakkan Islam sebagai dasar negara. Kelompok ini diwakili oleh Ali Abdurraziq, Thoha Husein dan kawan-kawan.
Generasi baru pemikir dan akitivis Muslim juga percaya pada karakteristik Islam yang holistik itu. Hanya saja mereka menolak pendapat, bahwa Islam memberikan sistem kehidupan yang detail dan baku. Watak holistik Islam hanya meliputi nilai-nilai moral yang berperan sebagai petunjuk umum bagi kehidupan. Demikian pula relasi Islam dengan negara atau sistem pemertintahan hanya didasarkan pada prinsip-prinsip etis, bukan konsep baku. Bagi mereka, persoalan “negara Islam” merupakan produk pemikiran politik sebagai counter terhadap kolonialisme Barat (Prisma, 1995:20). Slogan “politik no, ekonomi yes” pernah mencuat di pentas kehidupan politik Indonesia pada awal Orde Baru. Di kalangan umat Islam slogan itu lebih dipertajam lagi oleh Nurcholis Madjid menjadi “Islam yes, partai Islam no”.
Dua puluh lima tahun kemudian, secara formal PPP tetap memiliki basis dukungan dari umat Islam sampai sekarang. Selain itu, Islam makin menampakkan wajah formalnya dengan munculnya ICMI pada tahun 1990-an dan beberapa partai yang menyatakan diri sebagai partai Islam pada era reformasi. Formalisasi agama ini nampak sekali dengan fatwa sejumlah organisasi Islam untuk tidak memilih partai yang mayoritas calegnya bukan Islam dan kekhawatiran mereka terhadap kemenangan PDIP pada pemilu 7 Juni 1999 --meski realitas politik yang terjadi jauh dari yang diharapkan, artinya Megawati sebagai representasi PDI-P akhirnya toh jadi Presiden juga.
Secara politik, Islam terus bergerak namun warna Islam yang makin politis ternyata juga tak luput dari tantangan umat Islam sendiri yang ingin tetap menampilkan diri di luar pentas politik nasional. Kelompok ini terlihat pada sosok Gus Dur yang lebih senang memerankan Islam secara moral dan sosio-kultural. Mereka tidak ingin mereduksi Islam ke dalam institusi formal seperti pembentukan organisasi-organisasi Islam, penguasaan birokrasi dan lain-lain. Menurut Gus Dur tidak ada negara ideal dalam Islam. Allah merelakan Islam sebagai agama bukan sebagai sistem pemerintahan. Islam menjadi besar lantaran tidak menampakkan wajah politik, melainkan mengutamakan wajah moralnya, atau dengan kata lain Islam mengutamakan politik sebagai moralitas bukan politik sebagai institusi (lihat Prisma, 1995: 69).
Dalam setting sosial Indonesia yang begitu cepat berubah seperti sekarang ini, kesadaran masyarakat sudah sedemikian varian, seiring dengan terbukanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi dan proses globalisasi. Dari aspek ini seringkali melahirkan kesadaran baru terhadap persepsi kepemimpinan, yaitu dari kepemimpinan individual menuju kepemimpinan kolektif.
Gambaran sikap masyarakat terhadap kepatuhan kiai dan penguasa juga tidak mudah untuk diukur secara pasti. Memang dalam hal-hal tertentu sebagian masyarakat masih memiliki kepatuhan terhadap kiai bahkan tanpa reserve, misalnya dalam soal fatwa agama, sebut saja soal memilih jodoh. Tetapi tidak demikian dengan politik, maka dalam persoalan ini otoritas kiai sudah mulai bergeser. Pergeseran otoritas kiai ini juga diakibatkan oleh pemahaman masyarakat yang semakin kritis dalam merespon doktrin agama.
Disamping itu, pudarnya otoritas kiai ini juga disebabkan oleh keterlibatan mereka yang terlalu jauh memasuki wilayah politik secara tidak profesional. Sampai yang disebut dengan kiai khas pun menjadi tidak istimewa karena keterlibatan mereka ke dunia politik yang tidak menguntungkan. Tidak sedikit pesantren yang tidak memiliki wibawa hanya karena kiainya terlalu jauh memasuki dunia politik dan dekat dengan penguasa. Kiai yang dulu dianggap sangat disegani dan memiliki kharisma, lantaran ia terlalu jauh memasuki wilayah politik praktis, maka terbalik dijauhi oleh masyarakatnya. Pengalaman segala jenis pemilu di Indonesia sudah seringkali dilakukan, masyarakat sudah semakin cerdas untuk menentukan pilihannya. Orang awam pun sudah paham jika diantara mereka ada bakal calon sudah tidak ada lagi yang cocok untuk dipilih, maka lebih baik golput. Pada tahap seperti ini, sebetulnya terjadi apatisme dalam masyarakat, dan ini memperburuk citra perpolitikan di Indonesia. Atau kalau tidak begitu, yang terjadi adalah memilih calon yang memberikan keuntungan secara materi. Money politic kemudian berkembang luas, dan ini menjadi budaya tidak sehat dalam masyarakat.
Dalam konteks memahami kemenangan Ahok dalam pilkada putaran pertama kali ini, maka dapat dikatakan, bahwa kekuatan politik umat Islam tidak cukup mampu membangkitkan sentimen pemilih umat Islam di DKI yang mayoritas itu. People power yang dimotori oleh para tokoh umat Islam, baik pada Bela Islam I, II dan III yang massif dan sangat heroik itu ternyata juga tidak cukup mampu mempurukkan elektabiltas Ahok. Bahkan dua pasangan calon yang menjadi rival Ahok (AHY-Sylviana dan Anis-Sandiaga) sebetulnya juga pasangan yang boleh dibilang populer dan memiliki backing kuat partai. Orang boleh berdalih, bahwa AHY-Sylviana pamornya naik menjelang pemilihan, namun karena manuver yang dilakukan oleh Antasari Azhar terhadap SBY terkait dugaan kriminalisasi pada H-1 pemilihan, maka kemudian menjadikan AHY terpuruk. Namun alasan ini sebetulnya tidak signifikan, karena jika dibandingkan dengan masalah yang dihadapi Ahok jauh lebih complicated. Alasan yang kuat jika menggunakan teori relasi agama dan politik sesungguhnya ada pada persoalan performance, kinerja dan realitas program. Ahok dianggap oleh masyarakat pemilih DKI memiliki kinerja yang baik dan kongkret. Performance lebih dimaknai sebagai sikap tegasnya, bukan kata-katanya yang dianggap oleh publik selama ini kasar dan kotor. Sebab menurut sebagian orang DKI, Jakarta memang harus dipimpin orang yang berani dan tegas. Ahok juga dianggap sudah berhasil merealisasikan program-programnya. Sementara, dua pasangan calon yang ada dianggap tidak realistis dan masih berkutat di seputar wacana. Indikator ini dapat dibaca melalui debat yang ada selama ini. Bagaimana denga sentimen agama? Ternyata sentimen agama di sini tidak terlalu memiliki signifikansi. Karena persoalan kepemimpinan lebih menyangkut urusan kesejahteraan umat atau masyarakat secara keseluruhan, bukan siapa memimpin siapa, tetapi siapa dapat menyejahterakan siapa. Dengan demikian, jargon yang berlaku kira-kira adalah: “Kesejahteraan yes, pemimpin Islam no”, atau jargon yang pernah mencuat di pentas kehidupan politik Indonesia pada awal Orde Baru yaitu, “politik no, ekonomi yes”. Dan nampaknya masyarakat DKI butuh ini, siapa pun dan dari manapun asal-usul pemimpinnya itu. Apakah Ahok simbol kesejahteraan? Wallhu A’lam bisshawab.
______________
*Penulis adalah Dosen Sosiologi Agama UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.