Mengandaikan Ajaran Agama Sebagai Mata Air
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Minggu, 19 Februari 2017 . in Dosen . 3018 views

Pertanyaan yang agak kritis disampaikan kepada saya, yaitu mengapa banyak orang yang beragama belum sepenuhnya mampu menjalankan agamanya. Sekalipun sudah beribadah dengan disiplin dan tertib hingga kebanyakan orang menyebut yang berangkutan sebagai peganut agama yang taat, tetapi perilakunya sehari-hari masih belum kelihatan agamis. Disebutkan misalnya, berbohong masih menjadi kebiasaannya sehari-hari, dan demikian pula dalam hal menyalahi janji, menghasut, merendahkan orang lain, bertengkar, dan lain-lain belum dapat dihindari olehnya. Orang dimaksud menanyakan, apakah agama tidak mampu menjadikan umatnya bersikap agamis dalam arti berakhlak mulia.

Untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut, saya menggunakan logika bahwa manusia itu tidak maksum artinya tidak terbebas dari perbuatan dosa. Sepanjang seseorang masih hidup, maka berkemungkinan melakukan kesalahan oleh karena selalu digoda oleh iblis, jin, dan bahkan juga oleh manusia. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Selain itu, dilihat dari kejadiannya, manusia terdiri atas empat unsur, yaitu api, tanah, air, dan angin. Sifat-sifat dari masing-masing unsur tersebut juga ada pada diri manusia. Oleh karena itu sepanjang manusia masih hidup, peluang melakukan kesalahan masih selalu terbuka lebar.

Selain penjelasan tersebut, ajaran agama itu sendiri diwariskan dari generasi ke generasi, mengalir bagaikan mata air. Semakin lama ditinggalkan oleh pembawanya, maka makin banyak yang ditinggalkan oleh umatnya. Tatkala air sudah mengalir dari mata air sedemikian jauh, lama, melewati aliran yang sedemikian panjang, maka disamping terdapat yang hilang juga bercampur dengan beraneka ragam benda yang membuat air sungai dimaksud tidak semakin jernih. Terjadilah kesalah pahaman, perbedaan pendapat, pengertian yang tidak tepat, fungsi yang beraneka ragam, dan seterusnya. Hal demikian itu menjadikan ajaran agama dimaknai secara berbeda-beda, dan bahkan disesuaikan dengan kepentingan masing-masing.

Pada zaman kehidupan Nabi Isa, orang-orang yang bertemu dan memperoleh pengajaran dari utusan Tuhan itu, kehidupannya menjadi terpelihara. Hal demikian itu, oleh karena sosok tauladannya masih ada. Akan tetapi lama kelamaan, setelah Nabi Isa meninggalkan mereka, masyarakatnya semakin berubah. Bahkan setelah ditinggalkannya selama 5 abad saja, perilaku sementara masyarakatnya sudah berubah. Masyarakat Arab setelah sekian lama ditinggal oleh Nabi Isa, oleh karena rusak, disebut sebagai jahiliyah. Mereka yang kaya dan berkuasa dihormati dan disanjung, sementara yang miskin dan lemah ditindas dan dijadikan budak. Wanita tidak dihargai lagi dan bahkan diposisikan sebagai harta kekayaan dan dapat diwariskan.

Demikian pula, pada zaman kehidupan Nabi Muhammad, masyarakat berhasil tertata. Keadilan dan kejujuran dapat ditegakkan. Mereka yang berkuasa dan kaya selalu menolong terhadap mereka yang lemah. Melalui lembaga zakat, infaq, shadaqoh, hibah, wakaf dan lain-lain, mereka mampu mendekatkan antara yang berpunya dengan yang tidak berpunya, atau mereka yang kuat dengan mereka yang lemah. Wanita memperoleh tempat terhormat, antara sesama saling menghormati dan bahkan menyayangi. Ilmu pengetahuan dikembangkan, dan begitu pula akhlak mulia dan ketaqwaan selalu dijadikan tolok ukur kemuliaan seseorang.

Namun sekarang ini, Muhammad saw., telah wafat dan meninggalkan umatnya hingga hampir selama 15 abad. Diumpamakan air yang mengalir dari sumbernya, maka aliran itu sudah sedemikian jauh, panjang, dan amat lama. Melewati waktu dan jarak yang sedemikian panjang, maka sudah barang tentu, pengaruh itu sudah sedemikian banyak. Maka terjadi perbedaan pemahaman, interpretasi, dan bahkan juga kepentingan, sehingga melahirkan kelompok-kelompok, aliran, madzhab yang beraneka ragam pada semua aspek ajarannya. Masih beruntung, kitab suci yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw., berhasil dijaga keuntetikannya. Namun demikian oleh karena adanya tafsir dari para ulama atau ilmuwan yang berbeda-beda, maka munculnya perbedaan juga tidak dapat dihindari.

Gambaran tersebut, menjadikan umat Islam berpecah belah, berada pada kelompok kepentingan yang berbeda-beda, dan bahkan perilakunya juga beraneka ragam. Keadaan yang menjadi sebab umat semakin lemah tersebut masih ditambah lagi dengan adanya sifat dasar manusia, yaitu berpantang kelintasan, pantang berkekurangan, pantang kerendahan, dan pantang dikalahkan, sehingga kualitas kehidupan semakin merosot. Perbuatan saling hasut menghasut, bakhil, permusuhan, menyalahi janji, fitnah memfitnah, dan sebagainya tidak dapat dihindarkan. Kesulitan membangun kualitas manusia juga disebabkan oleh hilangnya uswah atau ketauladanan setelah pembawa ajaran agama dimaksud sudah sekian lama, --------secara fisik, meninggalkan umatnya.

Diumpamakan sebagai air yang mengalir dari mata air, maka aliran itu sudah sedemikian jauh, panjang, dan lama, sehingga bagi siapapun tatkala ingin mendapatkan air yang jernih sudah tidak mudah lagi. Namun sebenarnya masih beruntung, sumber ajaran agama, khususnya Islam, baik yang berupa wahyu dan sunnahnya, terdokumentasi dengan sempurna. Melalui dokumen itu, bagi siapa saja yang berkehendak memahaminya, tidak terlalu sulit atau paling tidak, sumbernya masih tersedia. Umpama muncul persoalan, misalnya terjadi perbedaan yang sulit dikompromikan, maka sebenarnya hal itu bersumber dari faktor orangnya. Oleh karena faktor manusia itulah, kehidupan agama atau suasana agamis, semakin lama menjadi semakin tidak mudah diwujudkan. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up