Meraih Kedamaian Lewat Demokrasi
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Rabu, 15 Februari 2017 . in Dosen . 1370 views

Pada akhir-akhir ini banyak orang merasa bangga bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas muslim berhasil mewujudkan demokrasi. Para pemimpin di berbagai tingkatan dipilih secara langsung oleh rakyat. Disebutkan bahwa melalui demokrasi itu rakyat menjadi pemegang kedaulatan. Namun pertanyaannya adalah, apakah benar gambaran ideal itu yang sesungguhnya terjadi. Bukankah kebanggaan itu sebenarnya semu saja.

Politik ternyata adalah bagian dari permainan. Untuk mencari kemenangan selalu menggunakan apa yang disebut dengan taktik dan strategi, dan bahkan tipu menipu adalah dianggap sebagai hal biasa. Aturannya tidak boleh menggunakan uang, sogok menyogok, dan sejenisnya. Tapi semua orang tahu, bahwa hal yang tidak diperbolehkan itu bisa diatasi lewat kecerdasannya masing-masing.

Kenyataan tersebut menjadikan sementara orang mengatakan bahwa politik itu kotor, padahal sebenarnya yang kotor itu adalah pikiran orang-orang yang sedang bermain itu. Dalam menjalankan permainan itulah orang melakukan kecurangan, penyimpangan, tipu muslihat, dan sejenisnya.

Cara-cara kotor itulah kemudian melahirkan tuduh menuduh, buruk sangka, hujat menghujad, salah menyalahkan dan seterusnya. Sudah barang tentu keadaan yang demikian itu tidak akan melahirkan ketenangan. Konflik, permusuhan, dan sejenisnya akibat permainan itu menjadi selalu saja terjadi, dan kadang hingga dalam waktu lama.

Korban lainnya dari pelaksanaan demokrasi, adalah betapa banyak pejabat baik yang terpilih dan juga yang tidak terpilih akhirnya masuk penjara. Diakui bahwa banyak kepala daerah, oleh karena harus mengembalikan biaya pemilihan, maka harus melakukan penyimpangan uang negara. Bagi yang ketahuan, tentu akan diadili dan dipenjara. Jumlah pejabat yang masuk penjara, oleh karena melakukan penyimpangan atau korupsi, ternyata sudah sedemikian banyak.

Oleh karena itu, demokrasi yang dibanggakan ternyata membawa korban kemanusiaan yang sedemikian besar. Demikian pula, rakyat juga tidak selalu diuntungkan. Ketika menjelang pemilihan, seakan-akan rakyat dianggap penting. Mereka diperlukan suaranya. Akan tetapi setelah semua selesai, maka masing-masing pihak segera menyelesaikan bebannya sendiri-sendiri. Rakyat tetap sebagai rakyat, sedang yang sukses terpilih menjadi pemimpin, berusaha mengembalikan modalnya.

Akhirnya, demokrasi bisa dirasakan hasilnya. Yaitu biayanya mahal, resikonya terlalu besar dan tentu tidak ditemukan kedamaian dan kebahagiaan. Sebaliknya, dalam demokrasi itu orang lain dipandang kompetitor, terjadi saling curiga mencurigai, jiwa transaksional selalu tumbuh dan bahkan mewarnai kehidupan, hubungan antar orang hanya tatkala perlu dan bersifat sementara, dan manusia menjadi murah harganya. Orang pintar tidak selalu dibutuhkan, melainkan orang yang mau diajak untuk mendapatkan keuntungan bersama-sama.

Sekalipun demikian, demokrasi sudah menjadi pilihan. Setelah sekian lama diimplementasikan, maka yang perlu dicari adalah bagaimana pilihan yang dipandang tepat, ternyata membawa resiko yang tidak kecil dan sederhana, tetapi masih tetap dapat diatasi, sehingga korbannya tidak terlalu besar. Jangan sampai demokrasi sudah sedemikian mahal biayanya, tetapi juga membawa resiko, yaitu kedamaian menjadi sulit diraih dan dirasakan. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up