Meraih Kepuasan Ketika Seseorang Mampu Memberi
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Kamis, 9 Februari 2017 . in Dosen . 2973 views

Pada umumnya, seeorang menjadi bergembira tatkala diberi sesuatu. Apalagi pemberian itu dari orang yang memiliki kewibawaan, kekuasaan, dan atau popularitas. Dengan menerima pemberian itu, seseorang merasa beruntung. Padahal sebenarnya, orang yang beruntung bukan ketika menjadi penerima, tetapi sebaliknya, yaitu ketika memberi sesuatu kepada orang lain. Kepuasan atau nikmat yang sebenarnya, bukan ketika menjadi orang yang diberi, melainkan ketika seseorang mampu memberikan sesuatu kepada orang lain.

Islam menganjurkan kepada pemeluknya agar menjadi pemberi, dan bukan sekedar sebagai penerima. Kewajiban berzakat, infaq, shadaqoh, hibah, waqaf, dan lain-lain adalah mengajarkan agar seseorang menjadi pemberi. Seseorang yang telah mampu menunaikan kewajibannya itu akan merasa gembira dan di dalam batinnya akan merasa puas. Memang orang yang sedang membutuhkan sesuatu dan kemudian diberi oleh orang lain, akan timbul rasa gembira. Akan tetapi kegembiraan orang yang diberi tidak sebesar yang dirasakan oleh orang yang memberi.

Terkait dengan harta, kegembiraan itu bertingkat-tingkat. Ada orang yang merasa gembira ketika memperoleh dan memiliki sesuatu. Ketika berhasil memperoleh atau mendapatkan sesuatu, seseorang merasa puas. Tetapi kepuasan itu selalu bersifat sementara. Tidak lama kemudian kepuasan tersebut akan hilang. Selain itu, apa yang diperoleh dan dimilikinya juga selalu dirasakan terbatas dibanding yang diperoleh oleh orang lain. Oleh karenanya kepuasan dimaksud sebenarnya juga bersifat sementara, sehingga yang bersangkutan selalu saja merasa kurang. Bahkan rasa berkekurangan itulah yang kemudian menjadi beban.

Seharusnya orang tidak cukup merasa senang hanya sekedar dibantu, diberi, dan atau ditolong, atau disebut sekedar memiliki, melainkan lebih dari itu, adalah ketika berhasil menciptakan sesuatu dan mampu menjadi pemberi. Orang yang mampu menciptakan, atau memprakarsai sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, maka mereka itulah sebenarnya, yang disebut telah merasakan kepuasan dan kesenangan yang sesungguhnya. Demikian pula adalah orang yang telah mampu menjadi pemberi. Pemberi zakat, infaq, shadaqoah, dan lain-lain akan merasa puas dan gembira. Sebaliknya adalah bagi orang yang hanya diberi atau menerima . Umpama mereka merasa gembira, maka kegembiraannya itu juga tidak akan bertahan lama.

Agar seseorang meraih kegembiraan yang sebenarnya, maka Islam menganjurkan supaya menjadi pencipta dan atau pemberi. Islam menganjurkan agar menjadi orang yang berada di atas. Disebutkan di di dalam hadits nabi, bahwa tangan di atas lebih baik dan utama dibanding dari tangan di bawah. Menjadi pemberi lebih baik dibanding menjadi penerima. Islam menganjurkan agar mengeluarkan zakat, infaq, dan shadaqoh, dan sebaliknya, bukan agar mencari dan menerima pemberian itu. Islam mengajak umatnya agar menjadi orang yang meraih kegembiraan, dan ternyata kegembiraan itu diperoleh ketika seseorang berhasil memberi sesuatu kepada orang lain. Orang yang kepuasannya baru pada tingkat menerima dan memiliki, sebenarnya tidak akan merasakan kepuasan dan kegembiraan yang sejati. Sebab, apa yang diterima dan dimiliki itu tidak akan pernah dirasakan cukup. Wallahu

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up