Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan informasi dari Ustadz Khoirul Huda, Sekretaris Menteri Agama, ada seorang lulusan Madrasah Tsanawiyah, namun sudah hafal al Qur'an hingga 30 juz. Selain itu, ia juga sudah mampu, berbahasa Arab dan Bahasa Inggris, Bahkan oleh karena selain belajar di madrasah yang bersangkutan mengaji di pesantrren, selain hafal al Qur'an juga sudah mampu membaca kitab kuning.
Informasi tentang prestasi semacam itu sebenarnya bukan hal baru. Selain itu jumlahnya cukup banyak, dan terdapat di mana-mana, namun belum memperoleh perhatian secara luas, termasuk oleh pemerintah. Tidak sedikit berita tentang prestasi anak yang baru berada di tingkat sekolah dasar, tetapi mereka telah hafal al Qur'an. Membanggakan lagi, prestasi akademiknya juga bagus.
Terkait dengan hafalan al Qur'an, beberapa waktu lalu ketika diundang dalam suatu seminar di Iran, saya menemukan anak-anak berusia antara 8 hingga 9 tahun, sudah hafal al Qur'an hingga sempurna. Di negara itu, terdapat tradisi menghafal al Qur'an, dimulai sejak usia 4 tahun, sehingga tidak sedikkit anak-anak berusia sekitar 8 hingga 9 tahun sudah hafal al Qur'an 30 juz. Menghafal al Qur'an pada usia anak-anak hingga selesai bisa ditempuh selama 3 sampai 4 tahun.
Kemampuan menghafal al Qur;an dalam waktu singkat tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menguasai ilmu-ilmu lainnya, seperti biologi, matematika, fisika, dan lain-lain. Hanya sebaliknya, hal menyedihkan, juga terdapat anak-anak yang hingga usia belasan tahun, misalnya sudah lulus SMP dan bahkan SMA, tetapi belum mampu menunjukkan prestasi yang diharapkan. Jangankan menghafal al Qur;an dan berbahasa asing, sekedar memahami bacaan bahasa Indonesia sederhana saja belum cakap.
Memperhatikan prestasi anak sekarang, kiranya ada beberapa hal yang seharusnya memperoleh perhatian secara serius. Beberapa pertanyaan mendasar perlu dicari jawabnya, misalnya mengapa terdapat kesenjangan prestasi yang sedemikian jauh di kalangan anak-anak. Terdapat anak yang masih duduk di tingkat SMP atau Tsanawiyah, tetapi sudah hafal al Qur'an, mampu berbahasa Arab dan juga Inggris. Keunggulan itu, masih ditambah prestasi akademiknya. Sebaliknya, ada yang lamban sehingga seolah-olah prestasinya tidak dapat ditingkatkan. Apa sebenarnya yang menjadikan prestasi itu melesat, sementara lainnya menyerupai jalannya siput.
Sudah mendesak perlu diteliti secara serius tentang kesenjangan prestasi tersebut. Apakah perbedaan prestasi belajar dimaksud sebagai dampak dari kebebasan yang dimiliki. Sementara siswa terkungkung oleh struktur, rancangan, dan pengelolaan belajar secara kaku, sehingga mereka hanya belajar oleh karena ada perintah untuk belajar, sementara yang lain memperoleh kebebasan yang cukup. Mereka yang memperoleh kebebasan justru pintar memilih pelajaran dan mengelola waktu belajarnya sendiri. Prestasi yang diraih oleh mereka yang memiliki kebebasan bukan semata-mata hasil dari mengikuti pelajaran formalnya di kelas, tetapi didorong oleh cita-citanya menjadi juara, menjadi yang terbaik atau unggul, untuk membuktikan kemampuan dirinya yang sebenarnya.
Melihat prestasi yang membanggakan tersebut dapat diketahui bahwa, sebenarnya anak-anak atas dorongan lingkungannya sudah mampu membangun semangat atau memotivasi dirinya sendiri. Hal yang bersifat mengatur, memaksa, dan apalagi memberi sanksi justru akan mematikan semangat berprestasi. Lagi pula, dengan target-target yang diberikan oleh sekolah, selain tidak akan menyentuh kesadaran anak tentang pentingnya belajar yang sebenarnya, juga menjadikan pengetahuan yang diperoleh akan sebatas bersifat formal. Setelah tanda lulus diterima, maka pengetahuan yang diperoleh dari sekolah juga akan hilang dari ingatannya.
Manakala ditemukan faktor penyebab kesenjangan prestasi belajar anak, maka di alam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang, masa belajar di sekolah dapat ditinjau kembali. Melalui diskusi informal dengan Ustadz Khuirul Huda, Sekmen Kementerian Agama tersebut, saya melemparkan pandangan, bukankah sudah waktunya kita berani mengambil keputusan, yaitu lulusan Madrasah Tsanawiyah yang telah hafal al Qur'an dan mampu berbahasa Arab dan Inggris secara baik, langsung diberi peluang masuk perguruan tinggi.
Jika hal tersebut dimungkinkan dan berani melakukannya, maka sebenarnya hal tersebut akan menjadi eksperimen yang luar biasa. Dengan memberikan kebebasan belajar, anak-anak menjadi terpacu semangatnya dan lebih dari itu mereka belajar bukan sebatas untuk memenuhi perintah agar belajar, tetapi didorong oleh kebutuhannya sendiri. Melalui eksperimen itu akan diketahui bahwa pendidikan yang dijalankan selama ini, ternyata ada hal-hal yang perlu dilihat kembali dan kemudian diperbaiki, oleh karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Wallahu a'lam