Di antara persoalan manusia yang paling tua adalah persoalan pencarian kebenaran. Persoalan kebenaran tersebut berkembang semakin komplek sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, lebih-lebih ketika pemikiran itu terkait dengan keragaman dan kesatuan serta klaim manusia atas suatu kebenaran (truth claim).
Usaha manusia untuk menyusun kategori dan batasan mengenai kebenaran melahirkan berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai konsep pendidikan. Setelah usaha demikian berlangsung dalam puluhan abad ternyata manusia tidak juga menemukan rumusan mengenai kebenaran secara benar, tuntas dan representatif. Daya dorong dari rumusan kebenaran tersebut menjadikan sebagian manusia bersikap bijak, sementara sebagian lain bersikap putus asa dan selebihnya bersikap masa bodoh dengan hanya memusatkan perhatian kepada segi praktis dan kemanfaatannya semata-mata (Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, 178).
Perkembangan pemikiran manusia yang cenderung bersifat ilmiah teknologis dan fungsional menempatkan kebenaran rasional sebagai pedoman dalam kehidupan. Sementara di luar kebenaran tersebut dipandang tidak berarti dan kurang bermakna. Dalam kondisi seperti ini hidup manusia menjadi tidak utuh akibat bias manusia terhadap apa yang disebut ilmiah, di luar itu diabaikan sementara dalam praktiknya manusia tidak mungkin mengabaikan atau bahkan meninggalkan yang non ilmiah.
Wekskopf, seorang ahli nuklir memperingatkan, bahwa sains telah berhasil mempertajam pengetahuan kita mengenai peristiwa-peristiwa tertentu. Tetapi justru sains cenderung membuat pengetahuan kita mengenai yang lain semakin gelap. Sehingga kita harus bergerak meraba-raba dalam kegelapan sains. Sains sama sekali tidak memperjelas makna pengalaman-pengalaman manusiawi yang justru merupakan dasar dari eksistensi kita di alam ini (Nataatmadja , Krisis Global Ilmu Pengetahuan. hal.3).
Suatu pengetahuan dikatakan ilmiah ditentukan oleh prasyarat akademis, yaitu cara memperoleh pengetahuan dan isi dari pengetahuan tersebut. Sebagaimana yang telah dikatakana oleh Prof.Dr. Baiquni, ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengkajian yang dapat diterima rasio atau dapat dinalar. Dengan kata lain ilmu pengetahuan adalah himpunan rasionalitas kolektif insani (Pelita, 26-6-1994). Dalam hal ini Dawam Raharjo mengatakan bahwa dalam ilmu pengetahuan terkandung etik, metodologi. Ilmu pengetahuan yang tidak mengandung suatu etik adalah contradictio interminis (Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, Bandung Mizanm 1990).
Banyak kemudian orang yang terjebak dalam pasungan dan kungkungan pengetahuan ilmiah. Tetapi juga banyak yang terpasung oleh kesalahfahaman terhadap kebenaran ilahiyah yang bersumber pada wahyu. Kondisi seperti itu akibat terjadinya pengertian ilmiah dan ilahiyah tersebut. Kebenaran wahyu difahami manusia sebagai suatu konsep kebenaran yang begitu saja hadir dalam struktur pribadi dan pengetahuan pemeluk yang meyakaninya.
Hai ini penting untuk dibahas, jika secara tidak disengaja atau bahkan tak sadar, kreteria pengetahuan ilmiah dan konsekuensinya dihadapkan pada problem religi. Ternyata kreteria ilmiah tidak dapat secara tuntas menjelaskan seluruh fakta dan kenyataan yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan berada dalam lingkup religi ataupun yang non ilmiah lainnya.
Gejala tersebut kemudian menimbulkan bias pemahaman terhadap berbagai aspek ajaran agama yang harus ditolak karena tidak ilmiah. Sebaliknya banyak karya kreatif manusia yang serta merta ditolak karena tidak diketemukan rujukan dalam kebenaran ilahiyah. Persoalan kebenaran ilmiah dan persoalan kebenaran ilahiyah yang bersumber wahyu menjadi persoalan unik dan telah menyita seluruh perhatian manusia.
Rasionalitas digunakan sebagai landasan berfikir oleh para ilmuwan dalam dunia ilmiah dan dijadikan kesadaran tertinggi yang bisa membimbing manusia memilih alternatif jalan kehidupannya menuju kesempurnaan. Itulah penipuan yang begitu banyak menelan korban. Sebenarnya intelegensi bukan dalam kesadaran rasional, bahwa kesadaran rasional hanyalah alat, manifestasi kemampuan komputasi, yang justru kalau dibiarkan menguasai kesadaran manusiawi akan membawa seseorang berfikir secara foto cofis dan komputeris.
Kita menyadari bahwa kesadaran rasional adalah hasil pengolahan fikiran yang diperoleh dari pengalaman empiris, pengalaman itulah sumber dari kesadaran rasional. Banyak orang menyangka bahwa rasio merupakan pedoman seperti kompas yang dapat menunjukkan arah. Padahal tidaklah begitu, rasio tidak bisa dijadikan pedoman hidup, yang bisa dijadikan pedoman hidup adalah kesadaran spritual. Bukan kesadaran spritual dalam ungkapan rasional melainkan spritual yang berakar dalam dunia pengalaman rasa.
Kemampuan rasional adalah sifat yang inheren dengan struktur objektif otak, otak sebagai alat penerima dan pengelola segala macam informasi dari dunia objektif alat yang diciptakan oleh Allah agar manusia dapat berhubungan dengan dunia objektif. Kita tidak bisa menggunakan jalur pendekatan rasional untuk mengenal ilmu subyektif. Karena kalbu mencerminkan mekanisme spritual yang menghubungkan ruh dengan Al-Khaliq dan mustahil hubungan itu berlangsung melalui jalur komunikasi rasional. Justru mekanisme kalbu akan lebih nyata kalau aktifitas otak bisa ditekan mendekati zero (nol) (Krisis Global Ilmu Pengetahuan. Hal. 27).
Rasionalitas tidak akan mampu menyentuh hakekat kebenaran, karena itu rasionalitas cenderung membawa fikiran manusia pada permukaan pengalaman yang paling dangkal, pengalaman praktis tanpa menghiraukan landasan kebenaran di kedalaman agamawi pengalaman spritual. Dengan sikap yang terungkap dalam pernyataan tersebut manusia justru terperangkap dalam relativisme dunia empiri. Tidak mampu menyelam mengalami hakekat yang ada.
Dengan uraian tersebut tidak heran jika Hediki Yukawa menghimbau agar manusia modern kembali ke pemikiran intuitif dan mengurangi pemikiran digital yang menurut Yukawa menghambat kreativitas. Tidak heran pula Einstin mengatakan bahwa lokus/ sumber kreativitas adalah titik pusat grafitasi kesadaran emosional, yang menurut orang Islam disebut qalbu. Einstin dan Yukawa melihat bahwa otak bukan lokus/ sumber intelegensi (Krisis Global Ilmu Pengetahuan. Hal. 27).
Senada dengan itu dalam Muqaddimah Kitab Sirr al- A’dham disebutkan:
“Janganlah kamu katakan bahwa ilmu itu berada di langit, siapa yang akan menurunkannya, atau di perut bumi siapa yang akan menaikkannya, atau di seberang laut siapa yang akan menyeberangkannya. Ilmu itu tercipta dalam hatimu, datanglah ke hadirat-Ku dengan sopan santun, niscaya Ku-lahirkan ilmu itu dalam hatimu, sehingga ia meliputi dan memenuhi dirimu.
Imam Ghazali membedakan tingkat kesadaran manusia menjadi tiga tingkatan yaitu: kesadaran Indrawi, kesadaran rasional dan kesadaran agamawi (spritual). Dengan berkembangnya kesadaran akal, manusia bisa menjangkau wilayah yang tidak bisa dijangkau dengan alat indra. Dengan akal manusia bisa mengenal atom dan menciptakan kapal terbang yang tidak ada sebelumnya. Dengan akal manusia bisa mengetahui pula bagaimana indra bisa menipu, sehingga hanya dengan akal manusia bisa membenarkan informasi yang diperoleh melalui indra.
Selanjutnya Imam Ghazali mengungkapkan wilayah kesadaran yang tidak terjangkau oleh akal. Akal tidak bisa mengerti mengapa mencuri itu dosa. Kalau mencuri itu dipergunakan untuk mencapai maksud yang baik misalnya membeli buku, akal bisa membenarkan pencurian itu. Dengan proses rasionalisai seperti itulah akal bisa menipu manusia. Dengan akal manusia bisa membenarkan prilakunya. Pernahkan kita mendengar pencuri yang menyalahkan perbuatannya sendiri? Atau koruptor yang merasa bersalah? Itulah perbuatan-perbuatan yang direstui oleh akal. Karena dalam hal itu akal bisa berdusta.
Dalam hal seperti itulah manusia memerlukan bimbingan dari kesadaran yang lebih tinggi, yaitu kesadaran spritual. Kesadaran spritual langsung merasakan bahwa mencuri itu berdosa, kesalahan yang sifatnya mutlak. Kesadaran spritual tidak bisa menipu dan kesadaran spritual itulah yang mampu menyalahkan kesimpulan yang diambil oleh akal.
Perlu diketahui bahwa akal tidak mengenal nilai, kemutlakan dosa, ilmu pengetahuan sekarang benar-benar merupakan manifestasi materialis-rasionalisme yang hampir murni, sehingga ilmu pengetahuan tidak pernah mengakui kebenaran kesadaran spritual (=sekuler).
Kita juga melihat kesadaran agama cenderung diangkat ketingkat kesadaran rasional terlepas dari dunia rasa dan pengalaman. Bahkan dalam hal kesadaran agamawi proses rasionalisasi seperti berjalan hampir sempurna artinya benar-benar tanpa landasan kesadaran agama dalam dunia rasa dan pengalaman yang menjadi dasarnya. Karena itulah dengan alat ilmu pengetahuan manusia cenderung terasing dari hakekat rasa dan pengalaman spritual, agama hanya tergambar dalam kesadaran rasional, yang mengambang dalam relatifitas dunia empiris.sebagai mana disinyalir oleh Ibnu Athaillah yaitu lupa dalam berdzikir. Karena dzikirnya berhenti hanya sampai otak tidak menembus pada hati. Meski hal ini sudah baik dari pada yang tidak berdzikir sama sekali. (Ibnu Athaillah, Al-Hikam).
Begitu pula kebenaran empiris yang digunakan sebagai landasan berfikir (paradigma) dalam dunia ilmiah juga tidak akan sanggup mencapai hakekat kebenaran yang sifatnya mutlak dan empiris. Untuk menyingkap hakikat obyek empiris saja, atau mendapatkan sari yang berupa pengetahuan mengenai objek tersebut, metode-metode keilmuan mempunyai kekurangan dan kelemahan yang mendasar, ia hanya mampu mendekati salah satu demensi saja dari suatu objek alam yang pada dasarnya multi dimensional.
Hal ini karena ilmu pengetahuan kita yang paling ilmiahpun yang dihasilkan melalui metode-metode keilmuan-keilmuan yang teruji adalah produk dari olah jiwa, olah pikir dan olah indra serta daya penalaran yang kemampuannya terbatas dan tidak sempurna. “Sains adalah ciptaan manusia dengan alatnya yang paling canggih, yaitu rasio, atau logika, karena sains adalah ciptaan manusia. Dapatkah dengan ciptaannya itu manusia mengerti dirinya? Mungkinkah dengan rasio manusia bisa manjangkau segala kedalaman mengenai dirinya? Apakah yang rasional itu selalu benar, atau lebih benar dari yang non rasional? Apakah batu itu rasional? Apakah yang rasional itu empiris atau yang empiris itu rasional? Apakah karena Tuhan tidak empiris, maka batu lebih benar dari Tuhan, karena batu itu empiris? Bagaimana dengan rukun iman seandainya kita hanya percaya pada yang empiris melulu. Apakah ilmu pengetahuan itu empiris? Bisakah kita mencari ilmu pengetahuan seperti kita mencari batu?
Kebenaran adalah suatu yang multi demensi dengan berbagai manifestasinya. Karena itulah berkembang berbagai ilmu dimana tiap disiplin ilmu akan mendekati hanya terhadap wajah kebenaran. Di balik wajah kebenaran itulah terdapat inti hakekat kebenaran yang bersifat mutlak dan bersifat non empiris (ghaib). Dia-lah yang tersirat dari semua suratan wajah kebenaran. (Muhammad Thahir, Kedudukan Ilmu dalam Islam: 18).
Karenanya jelas bahwa pengetahuan kebenaran yang dihasilkan melalui metode keilmuan bukanlah satu-satunya sumber kebenaran. Kita harus mencari dan menerima metode lain dan jalan lain yang bisa melengkapi serta bisa memberikan bimbingan yang utuh pada hakekat kebenaran. Kebenaran bukanlah monopoli perseorangan ataupun kelompok. Metode lain atau jalan lain itu haruslah bersumber hanya dari sang pemilik kebenaran, dan tidak bisa menggunakan pendekatan rasionalitas, tapi hanya dengan hati yang didalamnya bersemayam ruh sebagai penghubung.
Dalam kitab Al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan, ada tiga unsur dalam tubuh manusia yang dipergunakan orang sufi dalam hubungan mereka dengan Tuhan, yaitu hati untuk mengenal sifat-sifat Tuhan, Ruh untuk mencintai Tuhan, dan sir untuk melihat Tuhan.
Sir lebih halus dari ruh dan ruh lebih halus dari hati. Qalb tidak sama dengan jantung, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga untuk berfikir. Perbedaan qalb dengan akal ialah bahwa akal tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan sedang qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada dan jika Tuhan melimpahkan cahaya kepada qalb ia bisa mengetahui segala apa yang diketahui Allah.
Disinilah diperlukan kejujuran manusia untuk mengakui kenyataan keterbatasan dirinya. Diperlukan kebeningan pikiran agar kompleksitas gejala alam kehidupan tertangkap dengan jelas dan proposional hingga menimbulkan kesadaran universal kesadaran universal adalah kesadaran manusia akan posisi dirinya di alam universal seutuhnya bukan sepotong-potong (parsial). Sadar akan kekuatan dan kelemahannya, sadar akan hak dan kewajibannya, sadar akan kemandirian dan ketergantungannya, sadar akan eksistensinya dan kenisbiannya, sadar akan fisik dan spritualnya, sadar akan kenyataan dan keghaibannya, sadar akan kehidupan dan terminalnya sadar akan dari mana mau kemana.
Dari uraian di atas kita melihat bahwa di satu sisi manusia dibatasi oleh kelemahan dan kekuranganya bahkan terhadap dirinya sendiri. Memang sudah banyak hal ihwal manusia yang tersingkap untuk manusia. Akan tetapi masih banyak lagi misteri-misteri microkosmos manusia yang tertutup untuk dirinya sendiri. Apalagi kalau manusia akan menjangkau macrokosmos angkasa luar. Semua itu masih misteri bagi ilmu pengetahuan manusia. Berapakah umur manusia yang tersedia dalam upaya untuk menyingkap misteri-misteri micro dan macro cosmos itu ?.
Misteri-misteri micro dan macro itupun masih dalam batasan sub sistem alam empiris. Bagaimana pula dengan misteri alam non empiris? Dengan cara bagaimana manusia hendak menyingkapnya? Mampukah dalil-dalil aqli serta metode-metode keilmuan sendiri menjawabnya? Dengan memiliki kesadaran universal yang mempunyai dua kutub yakni kekuatan dan kelemahannya, kemampuan akal dan keterbatasannya, kemandirian dan ketergantungannya, maka senang atau tidak senang manusia harus berpaling mencari metoda lain, manusia harus bersedia selalu berdialog dengan dunia supyektifnya yang dianggapnya tidak memiliki potensi ilmiah dan sekaligus menangkap dan mengembangkan kebenaran. Manusia perlu selalu berdialog dengan Tuhan melalui firmannya, jika ia tidak ingin mengalami kegagalan dalam hidupnya.