Oleh: M. Zainuddin*
Hingga saat ini kita masih dihadapkan pada persoalan yang meililit bangsa. Berbagai persoalan, baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya begitu complicated. Praktik korupsi dan segala macam tindak kekerasan telah mengakar sedemikian rupa seakan menjadi bagian dari budaya bangsa itu sendiri. Ketegangan dan kerusuhan yang bernuansa SARA di beberapa daerah juga belum reda. Fenomena di atas menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein). Padahal secara historis, bangsa Indonesia telah memiliki modal nasionalitas yang amat berharga, seperti: kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa (agama), keutuhan wilayah negara, bahasa kesatuan, konstitusi dan falsafah negara, sistem pemerintahan yang meliputi seluruh tanah air, jajaran militer sebagai tulang punggung ketertiban dan keamanan nasional.
Lantas apa yang harus kita lakukan? Bagaimana dengan peran pendidikan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Persoalan ini mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimaksud.
Pendidikan agama, baik dalam konteks nasional Indonesia maupun sebagai bagian dari dunia secara umum, kini tengah menghadapi tantangan yang lebih berat. Agenda besar yang dihadapi bangsa Indonesia kini adalah, bagaimana menciptakan negara yang aman, adil dan makmur dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, yang didukung olehwarga negara yang berpengetahuan, beriman dan bertakwa. Dengan begitu maka pendidikan agama dituntut untuk berperan aktif dalam mewujudkan tatanan Indonesia dimaksud, dengan merumuskan langkah-langkah pengembangannya. Pertanyaan yang lebih spesifik adalah, apakah pendidikan yang dikembangkan oleh umat Islam sudah memenuhi fungsi dan sasarannya?
Menurut Kuntowijoyo (l991:350), bahwa pendidikan agama (baca: Islam) saat ini --sebagaimana pendidikan lainnya-- secara empirik belum mempunyai kekuatan yang berarti karena pengaruhnya masih kalah dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik. Disinyalir, bahwa pusat-pusat kebudayaan sekarang ini bukan berada di dunia akademis, melainkan di dunia bisnis dan politik. Dalam setting seperti ini lembaga pendidikan Islam terancam oleh subordinasi.
Pernyataan Koentowijoyo di atas sangat beralasan, terbukti bahwa mayoritas umat Islam masih kurang menghargai nilai-nilai Islam itu sendiri, misalnya kejujuran, menepati waktu, janji, kedisiplinan dan ketertiban, dan hal-hal lain yang mestinya harus diperhatikan oleh umat Islam itu sendiri. Jika survey membuktikan, bahwa di negara sekuler seperti Denmark --dan juga New Zeland (Slandia Baru)-- dianggap sebagai negara terbaik di dunia, ternyata faktornya adalah karena pemerintah dan masyarakatnya jujur dan transfaran. Sikap jujur inilah yang kemudian melahirkan disiplin, tertib, damai dan terciptanya kemakmuran sebuah negara. Bukankah sifat jujur ini merupakan pribadi Nabi Muhammad dan misi besar beliau yang diajarkan kepada seluruh umat manusia? Kenapa terjadi keterputusan antara nilaidan praktikdalam masyarakat Muslim? Dan peran apa yang bisa diberikan oleh pendidikan Islam dalam konteks ini?
Reorientasi Pendidikan Agama
Perdebatan soal pendidikan agama di sekolah terkait dengan maraknya distruksi sosial memang tidaklah baru, tetapi yang menarik, analisis kebanyakan pengamat atau pakar selalu menuding kegagalan itu pada sistem pendidikan yang dianggap masih normatif, verbalistik dan simbolistik. Haidar Bagir misalnya menegaskan, bahwa pendidikan agama di Indonesia telah gagal. Menurutnya, ada dua hal yang menjadi sebab utama kegagalan tersebut, pertama, karena pengajaran agama selama ini dilakukan secara simbolik-ritualistik. Agama hanya difungsikan sebagai kumpulan simbol-simbol yang harus diajarkan kepada anak didik dan diulang-ulang tanpa memikirkan korelasi antara simbol-simbol tersebut dengan kenyataan dan aktivitas sosial di sekeliling mereka; kedua, tidak adanya keseimbangan dalam tiga ranah nilai: kognitif, afektif dan psikomotorik. Karena kuatnya tekanan terhadap aspek kognitif itulah, sehingga anak didik menjadi tidak tawadhu’.
Hasil observasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah mengungkap hal yang sama, bahwa perilaku keberagamaan dari sejumlah kota-kota besar yang ada di Indonesia mayoritas masih menekankan pada dimensi kesalehan individual. Bersamaan dengan itu pula, fenomena KKN, intoleransi, eksploitasi, dst. juga marak di mana-mana. Padahal fenomena semacam ini akan mudah dilerai melalui pendekatan pendidikan agama yang perhatian pada wawasan individu dan sosial secara bersamaan.
Menurut hemat penulis, kita semua bertanggung jawab atas perlunya segera melakukan upaya kongkret ke arah perbaikan itu, yaitu reorientasi pendidikan agama di sekolah. Reorientasi pendidikan agama dimaksud tidak cukup hanya menyangkut hal-hal yang bersifat trivial, melainkan lebih dari itu adalah inti dan makna yang terdalam dalam pendidikan agama itu sendiri (substantial).
Dengan demikian, konsep tentang pentingnya pendidikan bagi terciptanya kesadaran sosial yang humanis adalah sangat urgen. Dari kajian ini pula kita dapat melihat dimana letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan oleh Kementerian Agama selama ini. Di sinilah perlu ada penelitian lanjut terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan tersebut, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dikesankan selama ini, bahwa materi yang tertuang dalam buku ajar masih parsial dan baru menyentuh pada aspek formalnya, sementara spirit atau ruh-nya belum banyak disentuh. Dengan kata lain, pendidikan agama selama ini masih terjebak pada upaya membuat orang sekadar mengerti ajarannya (kognitif), tetapi belum sepenuhnya sadar dan mendorong untuk beramal saleh dan menciptakan ketertiban dan keamanan. Padahal religiusitas adalah sikap dasar yang membuat orang beramal baik, penuh cinta kasih, lembut hati sekaligus memiliki solidaritas kemanuisaan universal. Inilah persoalan yang sangat inti dalam beragama yang seharusnya menjadi potret pendidikan agama di sekolah atau madrasah.
Guru dan Buku
Jika pendidikan agama bukanlah sekadar memberikan pelajaran agama secara rutin oleh guru di sekolah --melainkan penanaman jiwa agama yang dimulai dari pendidikan keluarga sejak kecil, dengan jalan membiasakan anak untuk berbuat baik --maka seperti apakah pemaknaan pendidikan agama di sekolah?
Perbincangan soal upaya perbaikan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan agama di sekolah terasa sangat dilematis. Di satu sisi guru masih dilihat sebagai satu-satunya elemen terpenting, sehingga kualitas pendidikan apapun harus dimulai dari guru. Sementara itu Gorton (dalam Bafadal, 2002) telah menempatkan muatan buku ajar sebagai elemen yang secara bersamaan juga harus diperhatikan. Padahal selama ini perhatian serius di seputar materi buku ajar yang ada di sekolah --sebagaimana yang disinyalir Gorton-- belum banyak dilakukan. Sejalan dengan Gorton, survey membuktikan bahwa Findlandia menjadi contoh terbaik peringkat nomor satu pendidikan di dunia, ternyata rahasianya adalah terletak pada guru dan apresiasi pemerintah pada profesi guru, dan model pembelajarannya bersifat transformatif dan terpusat pada siswa (stdents-centered).
Karena pendidikan agama adalah upaya menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agamanya melalui kegiatan bimbingan dan pengajaran secara berkesinambungan, maka antara guru dan buku ajar sebagai elemen proses pembelajaran secara bersamaan harus diperhatikan. Jika agama yang dipentingkan bukan sekadar simbol, namun lebih dari itu adalah ruh, semangat dari agama itu sendiri, maka pendidikan agama mesti memusatkan perhatian pada pembentukan anak didik yang memiliki kepribadian ideal, yaitu jiwa solidaritas yang tinggi, jujur, adil, jauh dari kekerasan dan teror yang meresahkan bangsa. Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terasa sangat bermanfaat ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama. Di sini pula pluralitas agama harus menjadi kekuatan konstruktif-transformatif dalam mengembangkan potensi dan model pendidikan agama, sementara itu kekuatan konstruktif-transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan melalui keteladanan seorang guru (uswah hasanah).
Reorientasi pendidikan agama di atas sudah saatnya dimulai dari SD hingga SLTA dengan me-review kurikulum kita yang selama ini dianggap kurang memenuhi syarat sebagai kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan agama damai (kerukunan).***
_________________________
*Penulis adalah Wakil Rektor-1 dan Dosen Sosiologi Agama UIN Maliki Malang.