Oleh M. Zainuddin*
BARU saja kita melaksanakan perhelatan besar lima tahunan, pemilu serentak pilleg dan pilpres. Tahun ini juga disebut sebagai tahun politik yang identik dengan tahun konflik dan carut marut elit politik dalam mengurus negeri ini. Perdebatan di media sosial dan lebih lagi di televisi sudah sedemikian maraknya dan menjadi tontonan publik yang seringkali tidak well educative, para elit negeri ini saling bertikai dan mementingkan kepentingan golongan masing-masing.
Hari ini juga kita baru saja menunaikan ritual besar selama satu bulan penuh, yaitu shiyam ramadhan, plus seluruh rangkaian ibadah dan amal kebajikan lainnya, seperti shalat-shalat sunnah, tadarrus al-Qur’an, shadaqah, dan lain sebagainya. Maka hari ini atau bulan Syawal, kita digolongkan oleh Allah menjadi orang yang mendapat kemenangan dan kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri), ja’alana Allah wa iyyakum min al-‘adin wal-faizin wa adkhalana waiyyakum fi zumrati ibad al-shalihin. Idul fitri ada karena adanya shiyam ramadhan, maka tidak ada nilai dan identitas fitri jika tidak ada pelaksanaan shiyam ramadhan. Kenapa orang mukmin saat ini dikembalikan ke fitrahnya? Mari kita flash back dan kaji kembali.
Selama bulan ramadhan hingga syawal, seluruh karunia ditumpahkan oleh Allah kepada kita. Paling tidak ada tujuh macam karunia itu: pertama, rahmat (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh pertama (al-‘asyr al awwal); kedua, maghfirah (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh kedua atau pertengahan (al-‘asyr al-ausath); ketiga, pembebasan (yang telah diturunkan pada putaran sepuluh terakhir (al-‘asyr al-awakhir); keempat, lailatul qadar yang diturunkan pada malam-malam ganjil (yang nilainya lebih baik dari seribu bulan setara dengan 83 usia manusia); kelima, zakat fitrah, (yang dapat membersihkan dosa-dosa dan mengembalikan fitrah manusia); keenam, pahala puasa 6 hari syawal, (yang nilainya setara dengan puasa satu tahun); ketujuh, halal bi halal (saling memaafkan di antara kita, yang dapat menghapus dosa antarsesama).
Bagi umat Islam, sekarang ini sedang memasuki babak baru, babak kembali ke fitrah yang suci. Karena muara ibadah berpuasa ramadhan adalah terbentuknya muslim yang bertakwa.Dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran, ayat 133 Allah Swt menegaskan bahwa di antara ciri-ciri orang bertakwa itu diantaranya ada empat yaitu:
Pertama, menginfakkan sebagian harta baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Maknanya adalah, orang yang selalu rajin dan ajek beramal serta ikhlas lillahi Ta’ala. Kebiasaan bersedekah seperti ini juga dicontohkan oleh ‘Aisyah radhiyallah ‘anha, istri Rasulullah Saw. yang rutin bersedekah meski hanya dengan sebiji kurma sekalipun. Bahkan di dalam riwayat lain Nabi menyebutkan, bahwa harta yang dikeluarkan untuk kepentingan sedekah itu tidak akan mengurangi sedikitpun kekayaan seseorang, melainkan justru menjadi investasi akhirat yang akan dinikmati hasilnya. Ini tentu sangat bebrbeda dengan kondisi di dunia ini. Jika seseorang menginvestasikan uangnya di Bank-Bank yang ada di dunia ini, pada suatu saat jika Bank-Bank tersebut harus gulung tikar atau dilikuidasi, maka para investor itu akan ikut merugi. Dalam surat al-Baqarah: 261 Allah menjelaskan, bahwa perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang dikehendaki, dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi infak untuk kepentingan jihad fi sabilillah, pembangunan tempat-tempat ibadah: masjid, mushalla, madrasah, rumah sakit, lembaga-lembaga sosial lainnya yang diridhai oleh Allah Swt.
Kedua, ciri-ciri orang yang bertakwa adalah orang yang mampu menguasai hawa nafsunya, yaitu orang-orang yang jika diberi cobaan oleh Allah Swt. tetap sabar dan tidak emosi dan keluh kesah. Orang-orang inilah yang oleh Rasulullah Saw. disebut sebagai orang kuat.Pada bulan ramadhan kemarin, umat Islam telah menjadi orang kuat selama sebulan, karena mereka mampu mengendalikan diri dan menguasai hawa nafsunya. Dalam kesempatan lain Nabi juga pernah berujar: Barang siapa mampu menahan diri maka Allah akan memenuhi hatinya dengan rasa aman dan iman.
Ketiga, berkaitan dengan sifat sabar dan mampu mengendalikan diri ini adalah sifat dan sikap lapang dada sebagai ciri ketiga dari orang yang bertakwa. Orang-orang tersebut oleh Nabi dikategorikan sebagai kelompok orang-orang terhormat yang memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah Swt. dan di hari kiamat mereka segera dipanggil oleh Allah untuk menempati surga-Nya. Sabar menurut Imam al-Ghazali meliputi tujuh macam, yaitu sabar untuk tidak memenuhi kemauan nafsu perut dan farji, yang disebut dengan al-iffah; sabar menahan dari permusuhan dan seteru yang disebut dengan as-syaja’ah; sabar menahan diri dari amarah dan angkara murka yang disebut dengan al-hilm; sabar menahan diri dari hidup mewah dan berlebihan, yang disebut dengan az-zuhd; sabar dengan tetap ikhlas menerima bagian (rizki) yang telah ditentukan oleh Tuhan, yang disebut dengan al-qana’ah; sabar dari menyimpan rahasia, menerima permintaan maaf orang lain yang disebut dengan kitmanu sirrin dan sa’atu shadrin.
Keempat, orang-orang yang sanggup bertaubat atas segala dosa yang telah diperbuatnya. Dalam suatu riwayat diceritakan, dari Anas ra. bahwa ketika ayat ini turun, Iblis menangis seketika, sebab ia merasa tak mampu untuk terus menggoda manusia karena ampunan Allah Swt. yang terus-menerus diberikan kepada hamba-Nya yang mau bertaubat, sebagaimana sabda Nabi: Setiap anak adam itu (pernah) bersalah (berdosa) dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang mau bertaubat. Maka di sinilah Allah menjanjikan kekuatan bagi orang yang selalu membaca kalimat thayyibah: tahlil, tahmid, tasbih dan istighfar, karena Iblis tidak akan pernah mampu menggodanya. Memang Iblis pernah bersumpah akan senantiasa menggoda anak Adam sepanjang hidup manusia. Tetapi Allah pun menjamin akan senantiasa mengampuni dosa-dosa anak Adam selagi mereka masih mau meminta ampunan kepada-Nya. Maka bulan Syawal ini merupakan momentum yang paling tepat bagi umat Islam untuk saling memaafkan di antara mereka, ber-halal-bihalal, sebagai bentuk penghapusan dosa secara horizontal dan massal. Dalam Idul Fitri umat Islam memulai lembaran baru ini dengan mengisi amal-amal shalih. Tradisi silaturahim, saling berkunjung ke saudara, tetangga dan kawan, memuliakan tamu adalah perilaku positif yang diajarkan oleh Islam. Umat Islam berlatih untuk tetap menjalankan kesabaran dalam berbagai hal, karena orang sabar adalah kekasih Tuhan.
Suatu hari Nabi pernah bertanya kepada para sahabat: Atadruna man al-Muflis? Tahukah kalian, siapakah orang yang disebut orang yang bangkrut atau pailit itu? Para sahabat menjawab: "Orang bangkrut adalah orang yang seluruh harta bendanya ludes". Kemudian Nabi bersabda: "Bukan, bukan itu orang yang disebut bangkrut itu. Orang bangkrut adalah, orang yang saat menghadap Allah di hari kiamat dengan membawa pahala shalatnya, puasanya, zakat dan hajinya, tetapi pada waktu hidup di dunia ia suka berbuat zalim (mengganggu saudaranya, tetangga, merampas hak orang lain) dan pada waktu meninggal belum sempat meminta maaf kepada mereka."
Pada zaman modern ini, tradisi positif seperti silaturahim yang telah dibangun oleh orang tua kita dulu sudah semakin punah. Hal ini karena kehidupan modern cenderung materialistis dan individualis. Orang bersedia berteman jika ada kepentingan kerja atau bisnis. Di kota-kota besar misalnya, antara tetangga satu dengan tetangga yang lain tidak saling mengenal karena rumah mereka sudah dibatasi oleh pagar dan dinding tembok yang tinggi. Sebagaimana yang diramalkan oleh Alvin Toffler, bahwa zaman modern akan melahirkan manusia-manusia impersonal, manusia yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaannya. Pengaruh IT dan perangkat media sosial lainnya, seperti handphone dan android juga mereduksi nilai silaturrahim yang tidak lagi face-to-face, tetapi sudah digantikan dengan face book dan aplikasi lainnya, termasuk pembelajaran di kelas dengan e-learning.
Namun beruntung, umat Islam masih memiliki tradisi yang baik yang perlu dilestarikan untuk mengatasi dampak modernisasi tersebut, seperti: tadarrus al-Qur’an, tahlil dan yasin berjamaah, berzanji dan diba’, majlis-majlis ta’lim, baik di tingkat RT maupun RW. Tradisi tersebut merupakan salah satu bagian dari bentuk ukhuwuah islamiyah, ukhuwah basyariyah dari sekian tradisi baik lainnya yang ada dalam ajaran Islam dan tradisi Islam Nusantara. Tradisi silaturrahim, saling berkunjung ke saudara, tetangga dan kawan, memuliakan tamu, adalah merupakan prilaku positif yang diajarkan oleh Islam. Bahkan ditegaskan oleh Nabi: Jika orang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka supaya menjalin silaturahim.
Dalam konteks nasional Indonesia ini, momentum Idul Fitri sangat tepat jika kita segera melakukan rekonsiliasi nasional demi kepentingan bangsa dan keutuhan nasional Indonesia tercinta. Halal bi halal dan silaturrahim antartokoh, antarpendukung partai, antarpengusung paslon 01 dan 02 dan organisasi lainnya perlu segera terwujud demi terciptanya kondisi yang damai dan sejuk berdasarkan pada komitmen kebangsaan dan persatuan nasional agar menjadi Indonesia yang berusia panjang. Akhirnya, semoga ibadah puasa kita selama bulan ramadhan berdampak pada kehidupan sehari-hari selama 11 bulan ke depan.***
-------------------
*M. Zainuddin Adalah Dosen FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.