Oleh: M. Zainuddin
Hari ini umat Islam --insya Allah-- benar-benar dalam fitrah, suci seperti anak yang baru dilahirkan. Kenapa? Karena setelah sebulan penuh melakuan ritual besar yang berupa shiyam Ramadhan dan seluruh rangkaian aktivitasnya, mulai dari shalat tarawih, tadarrus, qiyam al-lail, bersedekah dan segala macam amal salih lainnya. Mari kita lihat amal yang bernilai dalam bulan Ramadhan itu: Pertama, adalah diturunkannya rahmat dalam sepuluh putaran pertama; kedua, diturunkannya maghfirah (ampunan) dalam sepuluh putaran kedua; dan ketiga adalah dibebaskannya dari siksa api neraka (itqun min al-nar) dalam sepuluh putaran ketiga. Masih dalam sepuluh putaran ketiga atau terakhir ramadhan ini, Allah menurunkan malam penganugerahan (award) atau yang dikenal dengan lailat al-qadar yang nilainya satu malam itu lebih baik dari seribu bulan (setara dengan 83 tahun usia panjang manusia). Malam itu berada dalam malam-malam ganjil di antara malam 21, 23, 25, 27 dan 29.
Selanjutnya, menjelang syawal, umat Islam mengeluarkan zakat fitrah sebagai tanda pemurnian harta mereka dan melaksanakan shalat ‘Ied Fitri. Kemudian pasca shalat ‘ied mereka melakukan pembebasan hak adami dengan saling meminta maaf dan silaturrahmi. Apalagi jika ditambah dengan melaksanakan puasa 6 (enam) hari Syawal yang nilai pahalanya sama dengan 1 (satu) tahun. Lengkap sudah umat Islam saat lebaran ini. Secara vertikal mereka sudah diampuni dan bahkan dirahmati oleh Allah Swt, dan secara horizontal bebas dari kesalahan antarmanusia. Maka hari ini mereka benar-benar bersih bagaikan bayi yang baru dilahirkan, sebagaimana sabda junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw.:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (mengikuti agama yang hanif, benar), kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Pertanyaannya, pasca Ramadhan dan lebaran ini, mampukah kita mempertahankan kesucian kita sampai sebelas bulan ke depan?
Sesungguhnya puasa Ramadhan itu merupakan ritual tahunan untuk mengingatkan kita semua supaya waspada, introspeksi. Maka Ramadhan sesungguhnya merupakan hijrah kita dari transformasi personal menuju transformasi sosial. Ramadhan kemaren merupakan kawah condrodimuko, madrasah pembentukan mental dan karakter umaat Isam untuk menjadi manusia yang bertakwa dan berperadaban mulia. Produk manusia Ramadhan diharapkan mampu melahirkan dunia yg damai, baldah thayyibah, negara yang gemahripah loh jinawe. Baldah thayyibah itu harus dimulai dari: Syakshiyyah thayyibah (pribadi yang baik), kemudian Usroh thayyibah (keluaurga yang baik), dan Qaryah thayyibah (kampung atau desa yang baik). Oleh sebab itu jika pemimpin daerah mengadakan lomba dalam rangka Peringatan Hari-Hari Besar (PHB), maka supaya ada lomba qaryah thayyibah atau RT/RW thayyibah. Kriterianya apa? Aman-sentosa, sehat dan bersih, sejahtera, religius, rukun dan damai, serta indah, yang dapat disingkat dengan ASRI atau BESTARI. Jika ini bisa terwujud, maka inilah tanda-tanda kita mendapatkan lailat al qadar. Jadi tanda-tanda seluruh ibadah kita (mulai shalat kita, shiyam kita, sedekah kita) diterima oleh Allah itu ya seperti inilah wujudnya.
Pasca Ramadhan yang tertinggal adalah sarinya, produknya yang berupa perbuatan-perbuatan yang terpuji dan bernilai (al-a’mal al-shalihat) dan istiqamah, tetap melakukan disiplin dalam beribadah, sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi, para wali dan ulama’ salaf al--shalih zaman dulu. Al-Qur’an surah Fusshilat 30-33 menegaskan:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan mereka seraya istiqamah, maka Malaikat akan turun kepadanya seraya mengatakan, jangan tajut dan khawatir dan memberi kabar gembira dengan surga yang telah dijanjikan....”.
Jadi, muara ibadah dalam Islam itu adalah transformasi sosial (ihsan, akhlak karimah), sebagaimana sabda junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw:.
“Aku diutus adalah untuk memperbaiki akhlak manusia”.
Wallahu a’lam bi al-Shawab.***