Baru saja kita menyaksikan para orang tua sibuk mengantarkan putrera-puterinya memasuki sekolah, terutama sekolah yang berstatus negeri dan yang favorit, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Meski dengan beaya amat mahal tak jadi soal. Para orang tua mendambakan kelak putera-puterinya menjadi orang yang terpelajar dan berpendidikan.
Besarnya arus masuk sekolah berarti terjadi persaingan berebut bangku, sekolah dan perguruan tinggi menjadi elitis. Hal ini juga menjadi kekhawatiran kita tentang mutu. Sebab berdasarkan hasil temuan penelitian C.E. Beeby (1981) yang membenarkan teori Philip H. Coombs, bahwa membanjirnya jumlah peserta didik akan berdampak pada kemungkinan menurunnya mutu pendidikan itu sendiri (lihat laporan The World Educational Crisis: A System Analysis, 1986).
Tetapi di sisi lain kita juga menyaksikan para orang tua yang pasrah dengan nasib pendidikan putera-puterinya. Entah di mana mereka harus bersekolah dan sampai pada jenjang apa mereka mampu melanjutkan, karena persoalan beaya yang tak memungkinkan.
Ada dua pemandangan yang kontras pada kondisi pendidikan kita. Di satu sisi masyarakat ingin berlomba mencari pendidikan yang bermutu, pada sisi lain mereka frustrasi karena soal mahalnya beaya pendidikan dimaksud. Akhirnya ada sebagian masyarakat yang harus pasrah menerima kenyataan seperti itu. Dalam konteks ini, maka ada gep antara konsep ideal pendidikan kita dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Padahal jika kita memperhatikan rumusan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) maka di situ ditegaskan, bahwa warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakn dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan (lihat Bab III pasal 5, 6 dan 7 UUSPN).
Pertanyaannya kemudian, sudah meratakah pendidikan kita? Bagaimana dengan anak-anak miskin dan terlantar? Bagaimana dengan beaya sekolah yang semakin membumbung tinggi, sehingga tidak memberikan peluang bagi keluarga miskin? Sementara mereka memiliki kemauan keras dan mampu secara kualitas untuk bersaing. Bahkan lebih cemerlang dari anak-anak orang kaya. Lantas masih perlukah pendidikan seperti sekolah? Bagaimana menghilangkan image, bahwa sekolah masih milik sekelompok tertentu dan jauh dari masyarakat bawah?
Di satu sisi kita ingin ada kompetisi dan seleksi masuk ke sekolah untuk mencari bibit-bibit unggul, di sisi lain bibit yang unggul tidak memiliki peluang untuk membayar beaya sekolah tersebut. Terpaksa mereka harus masuk sekolah yang dibawahstandar.Bisa dibayangkan, bagaimana sekolah yang kondisinya tidak memenuhi syarat mampu mengangkat prestasi anak?
Sejumlah pertanyaan di atas memang klasik dan terkesan klise, tetapi selalu muncul dalam masyarakat, sepanjang pendidikan atau sekolah tersebut masih belum berpihak kepada masyarakat bawah (the lower class).
Bahkan “penindasan” yang dilakukan oleh institusi yang bernama sekolah ini mendorong Paulo Freire untuk mengusulkan perlunya perubahan yang fundamental bagi terwujudnya pemihakan (commitment) rakyat miskin. Sementara Ivan Illih dan Everett Reimer dalam Deschooling Society lebih radikal lagi mengusulkan dihapuskannya segala bentuk lembaga sekolah.
Meski Illih dan Reimer tersebut tidak realistis, tetapi setidaknya mampu menggugah para pakar pendidikan untuk mengevaluasi konsep pendidikan yang berlangsung selama ini.
Berbeda dengan Illih maupun Reimer, Johanes Muller masih menganggap bahwa sekolah masih menjadi alternatif yang terbaik. Hanya menurutnya, masalah yang harus segera diselesaikan adalah, bagaimana membentuk suatu sistem pendidikan yang secara institusional bisa merata dan mampu “memberantas” kemiskinan? Untuk itu menurut Muller perlu reformasi sistem pendidikan yang menyangkut:
Pertama, perlunya diupayakan pemerataan pendidikan secara luas dan dalam jumlah yang memadai. Pemerataan dimaksud adalah memberi kesempatan kepada masayarakat lapis bawah, bahkan mereka harus mendapatkan preferensi supaya tidak terjadi diskriminasi;
Kedua, Seluruh proses belajar-mengajar baik isi maupun penyampaian dan evaluasinya harus berorientasi kepada pemihakan rakyat miskin.
Memang reformasi yang ditawarkan Muller ini masih terkesan teoretis, bgagaimana praksisnya, perlu ada rumusan kongkret menyangkut soal ini. Karena pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama: pemerintah, masyarakat dan keluarga (tri pusat pendidikan), maka dalam hal ini masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk mewujudkan pendidikan yang populis dan berpihak kepada rakyat miskin.
Ada kesan kuat dalam masyarakat, bawa sekolah unggulan dan bermutu adalah sekolah orang kaya karena mahalnya beaya. Dus dengan demikian yang memiliki sekolah tersebut adalah mereka yang mampu membayar mahal (orang kaya), karena yang miskin tidak cukup beralasan untuk menempati sekolah unggulan tersebut. Kondisi demikian ini mengancam eksistensi pendidikan kita. Ada budaya diskriminasi di berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari diskriminasi sosial-ekonomi sampai pada diskriminasi pendidikan.
Sejak berkembangnya sistem sekolah sebagai lembaga yang dipercaya untuk mempersiapkan generasi yang lebih berkualitas, fungsi pokok sekolah mulai bergeser arah. Semula sekolah didirikan sebagai lembaga yang membantu orang tua dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan mendidik anak sesuai dengan harapan bersama. Namun seiring dengan perkembangan sistem sekolah tersebut kemudian ada jarak antara sekolah dengan orang tua (masyarakat).
Di pihak orang tua, karena semakin kompleksnya tuntutan hidup yang dihadapi, lantas mereka cenderung mempercayakan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah. Sementara di pihak sekolah juga semakin sibuk dengan upaya memenuhi tuntutan sistem pendidikan yang semakin kompleks, yang menguras tenaga dan pikiran para pendidik untuk melaksanakan tuntutan kurikulum yang berlaku. Dari sini kemudian berdampak pada hubungan orang tua dengan sekolah yang semula bersifat fungsional berubah menjadi formal dan pragmatis. Orang tua tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh sekolah, yang penting anaknya bisa lulus dan dengan ijazah/STTB bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi atau bisa melamar pekerjaan. Di sinilah diperlukan sekolah yang berwawasan lingkungan, artinya sekolah harus lebih berorientasi pada masalah-masalah riil kehidupan, sehingga out put-nya tidak mengalami kesulitan ketika harus melanjutkan sekolah atau bekerja. Di sini pula perlunya pengembangan pendidikan dalam upaya mendekatkan sekolah sebagai pusat pengembangan masyarakat (Community Based Education).
Lantas bagaimana memecahkan problema diskriminasi pendidikan yang ada selama ini? Karena pendidikan dan nasib generasi bangsa ini tanggung jawab kita bersama (pemerintah, masyarakat dan keluarga), maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini:
Pertama, Pemerintah hendaknya memiliki good will dan komitmen yang tinggi terhadap pemberdayaan kaum miskin melalui prioritas program pendidikan Tidak ada lasan bagi pemerintah untuk mengurangi subsidi bagi penyelenggaraan pendidikan;
Kedua, masyarakat melalui para pengusaha dan LSM hendaknya turut serta menyediakan sarana pendidikan yang bermutu dan lapangan kerja bagi kaum miskin. Dana sosial baik yang ada dalam pemerintah maupun perusahaan hendaknya diprioritaskan pada pengembangan pendidikan;
Ketiga, Orientasi mata pelajaran dan kurikulum hendaknya ditekankan pada pendidikan yang berwawasan kemanusiaan (humanistik) dan penciptaan demokratisasi. Karena out put pendidikan diharapkan melahirkan generasi yang memiliki kepekaan sosial di masyarakat dan lingkungannya, bukan sebaliknya elitis dan diskriminatif.