Secara etimologis, menurut Ibn al Mandhur dalam kamus Lisan
al Arab kata waba’ (wabah) memiliki arti yang sinonim dengan Thā’ūn
, berarti semua penyakit yang mewabah. Sementara dalam kamus Mu’jam Lughah
al Fuqaha’ disebutkan bahwa Waba’ adalah penyakit mewabah dan
menjangkiti banyak orang, seperti cacar dan kolera. Al Imam al Nawawi
berpendapat bahwa secara etimologis ada dua dialek untuk menyebut wabah dalam
Bahasa Arab waba’ (tanpa alif) dan wabā’ (menggunakan alif),
pemakaian dan penulisan waba’ (tanpa alif) lebih popular. Sementara kata
Thā’ūn
secara deskriptif seperti cacar dan bernanah. Bagi Imam al Khalil dan ulama
lainya kedua kata waba’ dan thā’ūn
tersebut memliki arti yang sama, yaitu semua penyakit yang mewabah.
Menurut Dr. Amir Muhammad Nizar Jal’uth, di antara sekian
pendapat tentang arti kedua kata tersebut yang benar adalah sebagaimana yang
telah dinyatakan oleh para peneliti Bahasa yaitu penyakit yang menjangkiti
banyak orang di suatu wilayah dan tidak menyebar ke seluruh wilayah, penyakit
ini berbeda dengan yang biasa menjangkiti banyak orang serta penyakit tersebut
adalah satu jenis dan berbeda dangan berbagai jenis penyakit yang biasa
diderita oleh banyak orang di sepanjang waktu. Karena karakter yang dimiliki
masing-masing dari kedua jenis waba’ dan thā’ūn
yang sedikit berbeda, maka para peneliti tersebut memberikan penekanan arti,
bahwa semua thā’ūn itu
waba’ dan tidak setiap waba’ itu thā’ūn.
Waba’ yang pernah terjadi pada kekhalifahan Shahabat Umar bin al Khathab
sebagaimana yang telah teriwayatkan di dalam Shahih Muslim adalah thā’ūn.
WHO mendeskipsikan wabah sebagai pandemi jika seluruh
belahan dunia telah terpapar yang mungkin disebabkan oleh penularan dari suatu
komunitas tertentu sebagaimana covid 19 ini.
Secara historis, sebab munculnya waba’ dan thā’ūn
dapat ditelisik dari data normatif yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al Hakim bahwa Shahabat
Abdullah bin Umar meriwayatkan ada seorang yang bertanya kepada Nabi tentang
orang yang mukmin yang paling utama, dijawab oleh Nabi siapapun orang yang
paling baik akhlaknya, ditanyakan lagi siapa orang mukmin yang paling cerdas,
dijawab oleh Nabi siapapun orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang
paling baik mempersiapkan kematiannya sendiri. Nabi kemudian bersabda kepada
umatnya yang mengikuti hijrah ke Madinah; ada lima hal yang akan diturunkan
kepada umat manusia , seraya Nabi berdoa agar mereka tidak menemuinya, yang
pertama tidak tampak sama sekali suatu kekejian (kejahatan,kebatilan,
kemaksiatan) dalam suatu komunitas tertentu sehingga mereka mendeklarasikannya,
artinya seperti kemaksiatan tertentu yang dianggap tabu dilakukan dihadapan
umum, karenanya dilakukan dengan sembunyi telah berubah menjadi hal yang
dianggap wajar, sehingga seolah mereka mendeklarasikan sebagai sesuatu yang
wajar secara terang-terangan. Nabi nyatakan akan muncul kepada mereka thā’ūn dan beragam penyakit yang belum pernah ada
sebelumnya, pernyataan Nabi yang kedua tidaklah mereka memanipulasi dalam transaksi
mereka dengan mengurangi timbangan, ukuran dan dalam bentuk yang lain yang
mengakibatkan kerugian sepihak, kecuali mereka akan ditimpa krisis ekonomi,
sulitnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas mereka, yang ketiga pernyataan
Nabi tidaklah mereka menahan zakat dengan tidak mengeluarkannya bagi yang telah
memenuhi syarat, kecuali akan terjadi kemarau panjang, jika tidak karena
makhluk Allah yang lain seperti binatang-binatang, Allah tidak akan menurunkan
hujan kepada mereka. Yang keempat, tidaklah mereka melanggar perjanjian dengan
Allah dan Rasul-Nya (dengan mengabaikan perintah dan melanggar larangan-Nya),
kecuali Allah menjadikan siapapun yang mereka musuhi justru menjadi penguasa
bagi mereka dan tentu mereka akan mengambil sebagian dari asset-aset mereka.
Yang kelima dari pernyataan Nabi tersebut adalah selama pemimpin-pemimpin
mereka tidak menjadikan ajaran Allah sebagai referensi atau menjadikan sebagian saja dari ajaran
Allah sebagai referensi, maka Allah akan menjadikan permusuhan di antara
mereka.
Dalam riwayat yang lain Sayyidah A’isyah pernah
bertanya kepada Nabi tentang thā’ūn, Nabi menjawabkannya sebagai siksa (adzab) kepada
siapapun yang dikehendaki olah Allah, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmah
bagi orang mukmin, karena tidak ada siapapun dari orang mukmin yang di
wilayahnya ada thā’ūn, kemudian
mensikapi dengan tetap di wilayahnya (tidak beraktifitas di luar) dan sabar
serta tetap memohon ridha-Nya dan menyakini tidak ada sesuatu apapun yang
terjadi kecuali sudah ditentutan oleh Allah, maka dia akan diberikan pahala
layaknya orang yang meninggal saat perang membela agama Allah (syahid). Oleh
karena itu, momen Ramadhan seperti ini kita gunakan untuk muhasabah dan
beraktifitas sesuai protokol kesehatan serta kita komitmenkan hidup ini sesuai
koridor yang dikehendaki oleh Allah. (wa Allah a’lam bi al shawab)