Akal merupakan anugerah potensial dan instrumen yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk digunakan memikirkan dan menggali ayat-ayat-Nya (Qauliyyah maupun Kauniyyah-Nya). Agama merupakan petunjuk yang diberikan oleh Allah (sebagai al-Haq) kepada hamba-Nya melalui para Nabi-Nya sebagai pedoman hidup di dunia. Dari potensi akal melahirkan filsafat, ilmu dan teknologi. Ayat-ayat Allah itu baik yang qauliyyah (wahyu, al-Qur'an) maupun yang kauniyyah (alam semesta) merupakan sumber ilmu pengetahuan. Tidak ada pertentangan antara agama dan akal. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Bahkan Umar Ibn Khattab menyatakan: “Al-dinu ‘aqlun la dina liman la aqla lahu”.
Sementara itu, untuk mendekati ayat-ayat Tuhan tersebut disediakanlah oleh Tuhan anugerah potensial yang berupa akal (rasionalisme), indera (empirisme) dan intuisi/ ilham (intuisionisme). Maka, ketiga potensi/ daya tersebut harus digunakan secara optimal untuk menguak misteri alam semesta dan kebenaran Tuhan tersebut. Dan ujung dari semua itu adalah membenarkan dan mengimaninya, bahwa segala apa yang Tuhan ciptakan tidaklah sia-sia, alias benar seluruhnya. Inilah tugas intelektual Islam (ulu al-albab).
Ontologi dalam perspektif Islam bersifat monisme, bahwa yang ada hanyalah satu yang tak terbatas (Allah Swt), sementara segala ciptaan (makhluk)-Nya bersifat dualisme dan pluralisme. Dari yang Satu menjadi dua dan banyak. Sementara itu, epistemolginya bersifat eklektik (rasionalisme, empirisme dan intuisionisme). Dan aksiologinya bersifat humanis dan etis, bahwa ilmu terikat oleh nilai kemanfaatan dan kemaslahatan umat (value bound).***