SANTRI DAN KADERISASI ULAMA
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 23 Oktober 2020 . in Wakil Rektor I . 1068 views


Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai hari santri nasional oleh Presiden RI, Joko Widodo melalui Keppres Nomor 22 tahun 2015. Ketetapan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa para santri memiliki peran besar dalam pembangunan bangsa, termasuk pemerdekaan Republik ini. Ketetapan tersebut bertepatan dengan deklarasi Resolusi Jihad yang dilakukan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945.



Kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi serta budaya modern yang begitu akseleratif membuat banyak kalangan dan pemerintah khawatir akan berpengaruh fatal terhadap kehidupan manusia dan bahkan semua makhluk yang ada di bumi ini. Ketika perubahan sosial-budaya dalam masyarakat kita kian semakin terasa, maka tuntutan terhadap peran agama semakin besar, sementara kepergian ulama satu demi satu kian bertambah dan belum cukup signifikan penggantinya, maka pada gilirannya tuntutan terhadap keberadaan ulama pun tak kalah besarnya, sebab merekalah sebagai pembawa misi agama dan pewaris para Nabi. Bagaimana mempersiapkan kader kiai atau ulama?



Kaderisasi Ulama 



Majelis Ulama Indonesia (MUI) didukung Unit Pengelola Zakat (UPZ) Bank Permata Syariah dan BAZNAS menyalurkan bantuan beasiswa pasca sarjana melalui program beasiswa Kaderisasi Seribu Ulama (KSU). Beasiswa ini telah memiliki sebanyak 248 alumni. Sebelum menjalin kerjasama dengan MUI pada 2017, BAZNAS bekerja sama dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam penyelenggaraan program beasiswa kaderisasi tersebut. Beasiswa yang disalurkan oleh UPZ Bank Permata Syariah adalah bantuan beasiswa penuh. Pada tahun 2020 ini tepilih 15 peserta pengurus MUI daerah yang menjadi peserta beasiswa KSU MUI–BAZNAS.



Pada tahun 80-an tepatnya pada 21/1/1989 program kaderisasi ulama sudah pernah dilaksanakan. Hal itu dilandasi atas keprihatinan semakin berkurangnya minat anak-anak untuk mengaji dan belajar di pesantren. Pada tahun itu pernah dilakukan survey oleh MUI tentang minat para orang tua memondokkan putera-puterinya ke pesantren. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sejumlah 150 orang tua yang disurvey, hanya 5 persen dari anak mereka yang tertarik dengan pendidikan pesantren. Sementara itu kekhawatiran akan masa depan sejumlah pesantren kenamaan di sana-sini timbul. Pesantren yang dalam sejarahnya memiliki kontribusi besar masa depannya dipertanyakan. Salah satu sebabnya adalah soal penerus kiai. Regenerasi pesantren dianggap berjalan pincang, para putera kiai banyak yang tidak mampu membaca kitab kuning. Kondisi semacam inilah yang mengetuk MUI dan mereka yang merasa bertanggung jawab dalam membina umat.



            Program kaderisasi ulama saat itu dipilih dari sejumah 20 peserta lulusan S-1 IAIN dari 16 propinsi, yang usia rata-ratanya 30 tahun untuk digodog dan dibekali mata kuliah pokok: ulumul qur’an, tafsir, ulumul hadis, bahasa dan satra Arab, fiqih perbandingan, fiqih siasah, ushul fiqih perbandingan, filsafat Islam, ilmu kalam, tasawuf dan mata kuliah lintas disiplin, termasuk studi teks. Apa yang diharapkan dari kaderisasi ulama? Kaderisasi ulama saat itu ingin mencetak ulama yang berwawasan ke masa depan dalam menghadapi masyarakat yang semakin terbuka dan maju, berkepribadian, independen dan menjadi panutan masyarakat (Panjimas, 601/1989).



Predikat keulamaan memang lebih banyak disandangkan kepada para kiai daripada para sarjana. Bahkan tidak sedikit para sarjana, meski mereka kompeten di bidang studi keislaman, namun mereka hampir tidak pernah menyandang gelar ini. Hal itu mudah dipahami, sebab sebutan ulama secara kultural sudah amat melekat dalam diri para kiai yang memiliki kontribusi besar dalam perjuangan bangsa, utamanya kiai yang ada di pesantren yang juga memiliki kharisma dan kedalaman spiritual. Jadi memang ini persoalan kultur yang sudah membentuk dalam masyarakat. Selain itu memang kiai dengan para santrinya telah memiliki kontribusi besar dalam mencerdaskan anak-anak bangsa, terutama di bidang pembentukan karakter dan ketahanan mental. Dan begitulah memang predikat ulama itu lebih banyak terkait dengan sikap moral, selain kedalaman ilmu. Dalam al-Qur’an sendiri ditegaskan bahwa yang takut kepada Allah itu adalah ulama (QS. Fathir: 28). Jadi, hampir-hampir predikat ulama itu hanya ada pada kiai di pesantren.



Berbicara soal ulama tidak bisa lepas dari dunia pesantren, sebab pesantrenlah yang memproduk para ulama itu. Ketika publik rame-rame menggugat ulama, mempertanyakan peran dan mengkhawatirkan kelangkaannya, maka pesantrenpun menjadi sorotan dan gugatan. Misalnya ketika melihat gejala krisis ulama yang disorot adalah lembaga pendidikan, yang menyangkut kualitas, intensitas dan efektivitas. Kenapa pendidikan pesantren? Perlukah dibenahi? Ya, tentu ada yang perlu dibenahi dan ada yang harus dipertahankan, karena di kebanyakan pesantren sendiri memiliki jargon: tetap menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik, al-muhafadhat ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah.



Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, memiliki aset besar dalam pengembangan kepribadian, antara lain adanya perhatian besar kiai terhadap santri, rasa hormat dan tawadhu santri terhadap kiai, hidup sederhana, hemat dan mandiri, kesetiakawanan, saling menolong, disiplin serta tahan uji. Dalam kehidupan pesantren terlihat leburnya individualisme dan egoisme. Apalagi kalau dikaitkan dengan persoalan pengangguran, pesantren tidak akan khawatir dengan pekerjaan, sebab pesantren memang tidak menjanjikan kerja (promise of job). Tujuan pendidikan pesantren yang asasi adalah untuk mencetak manusia berilmu dan bertakwa. Dua entitas ilmu dan takwa tersebut harus dimiliki oleh seorang santri. Berilmu saja tanpa disertai takwa maka akan menjadi riskan, begitupun sebaliknya. Maka, lulusan pesantren pada umumnya tidak kenal menganggur, karena modal soft skill-nya mereka bisa bekerja di hampir semua sektor.



Kini upaya pembenahan sistem pendidikan pesantren, pengembangan dan pembaharuannya sudah banyak dilakukan. Upaya tersebut tidaklah mudah sebab pesantren pada umumnya adalah milik pribadi kiai. Oleh karena itu, wajarlah kalau masih ada pesantren yang tetap bertahan dengan tradisi lamanya dan tidak mau menerima pembaharuan. Sistem pendidikan pesantren hingga saat ini masih yang terbaik, karena tiga hal: Pertama, pola pendidikan live in (tinggal di ma’had) selama masa belajar. Kedua, adanya kurikulum yang tersembunyi (hiden curriculum) dari para kiai dan ustaz yang menjadi role model bagi para santrinya. Ketiga, tradisi santri yang memiliki sikap dan karakter yang excellent yaitu tawadhu’, ulet, dan mandiri. Sikap-sikap tersebut menjadi kebutuhan yang sangat didambakan di era modern seperti sekarang ini. Selain itu, pendidikan di pesantren juga bersifat inklusif dan tidak membatasi usia santri. Siapapun bebas belajar (nyantri) di pesantren, termasuk yang tidak memiliki biaya hidupnya. Karena para kiai memiliki tanggungjawab dan perhatian besar terhadap keberlangsungan pendidikan anak bangsa. Tradisi pendidikan khas pesantren inilah yang kemudian menginspirasi para pengelola pendidikan di beberapa perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKIN) untuk menyelenggarakan program ma’had yang memadukan pendidikan tinggi dengan pesantren, seperti salah satu contohnya yang sudah berlangsung lama di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.



Tentang pentingnya pendidikan mental atau karakter ini, temuan psikolog Reuven Bar-On menjelaskan, bahwa IQ manusia rata-rata hanya berpengaruh 6-20 persen dalam menentukan keberhasilan, sementara 80-90 persennya lebih ditentukan oleh atittude (karakter). Sementara itu Institut Teknologi Carnegie memaparkan, bahwa dari 10.000 orang sukses, 15 persennya sukses karena kemampuan teknis dan 85 persennya karena faktor-faktor kepribadian (karakter). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Dr. Albert Edward Wiggam yang menghasilkan temuan, bahwa dari 4000 orang yang kehilangan pekerjaan adalah 400 orang (10%) karena kemampuan teknis dan 3600 orang (90%) karena faktor kepribadian (karakter). Maka sifat yang ada pada diri Nabi pun juga begitu, dimulai dari kejujuran (shiddiq), terpercaya (amanah), komunikatif(tabligh), baru smart (fathanah) terakhir. Dan beliau pun menegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang terbaik kepribadiannya (ahsanuhum khuluqa). Oleh sebab itu, dalam era modern yang menurut Alvin Toffler ditandai dengan budaya impersonal dan ketergantungan teknologi ini, maka tradisi pesantren yang mandiri, ulet dan tahan uji harus tetap dipertahankan. Misalnya, jika menurut penelitian Cliffort Geertz, santri yang bekerja mengabdi (ngawulo) kiai dengan memasak, mencuci dan menggarap tanah untuk memperoleh berkahnya apakah di era internet of things (IoT) ini masih dapat dipertahankan? Paling tidak nilai-nilainya itulah yang mesti kita pertahankan.



Selain itu kompetensi yang perlu dipertahankan di pesantren adalah tradisi tafaqquh fiddin-nya itu jangan sampai luntur, terutama dalam kompetensi materi bidang al-Qur’an dan ilmu-ilmu alatnya, serta Bahasa Arab. Karena materi-materi tersebut menjadi modal di masyarakat dan untuk melanjutkan di jenjang perguruan tinggi, terutama di PTKIN. Oleh karena itu, yang perlu dipikirkan sekarang, bagaimana pendidikan pesantren ini terus dikembangkan dan diperbarui (renewed) untuk menghadapi dunia yang semakin kompleks dan global. Maka pemenuhan materi IT dan Bahasa Inggris menjadi sangat penting artinya bagi menyongsong masa depan yang semakin cerah dan menjanjikan. Semoga. []


(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up