Kegalauan Terhadap Keadaan Umat
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Kamis, 12 Februari 2015 . in Dosen . 2292 views

Mengikuti kongres umat Islam di Yogyakarta beberapa hari yang lalu, saya menangkap kesan bahwa ada kegalauan di kalangan para tokoh yang hadir terhadap keadaan umat. Digambarkan bahwa umat Islam sedang dalam keadaan yang kurang membanggakan dari berbagai aspek, baik dalam politik, pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lain. Disebut-sebut bahwa keadaan mereka semakin tertinggal. Bahkan Wakil Presiden, H. Yusuf Kalla, dalam sambutannya mengatakan bahwa, jika terdapat 100 orang miskin maka 90 % di antaranya adalah umat Islam. Demikian pula sebaliknya, jika ada 100 orang kaya, maka hanya sekitar 10 % saja yang beragama Islam.

Umat Islam disebut sebagai kelompok mayoritas di negeri ini, tetapi dalam berbagai hal keadaannya masih lemah. Menurut data statistik di antara 240 juta jumlah penduduk Indonesia, 87 % di antaranya beragama Islam. Namun diakui, bahwa besarnya jumlah itu, selain menguntungkan, yakni sebagai symbol kekuatan, namun sekaligus juga sebagai beban yang tidak sederhana. Meningkatkan kualitas dalam jumlah besar pasti tidak sama jika misalnya, jumlah itu hanya terbatas. Beban itu menjadi bertambah oleh karena tidak mudah dipersatukan. Sebagai contoh, umat Islam yang mayoritas itu ternyata tidak tergambar dalam kekuatan partai politik. Partai politik yang mengklaim diri sebagai partai Islam ternyata selalu kalah dalam setiap pemilu.

Memang juga terasa aneh, partai politik yang secara jelas mengklaim sebagai beridentitas Islam, dalam konggres umat Islam dimaksud, sekalipun diundang, juga tidak semuanya hadir. Hanya PKS saja yang kelihatan datang, semetara lainnya tidak tampak. Ketidak-hadiran partai politik Islam juga sedikit banyak menjadi perbincangan di dalam konggres itu. Maka, dari kenyataan itu bisa diperoleh gambaran bahwa, ternyata tidak mudah memahami, tentang siapa sebenarnya yang disebut sebagai umat Islam itu. Mungkin atas dasar kenyataan itulah, menteri agama dalam sambutannya hingga melontarkan gagasan agar dirumuskan tentang kriteria keber-Islaman seseorang. Selain itu, juga didasarkan atas kenyataan bahwa, sedemikian mudah orang mengkafirkan sesama muslim.

Keadaan umat Islam yang masih bisa dikatakan besar dalam kuantitas tetapi masih minus kualitas itu hingga melahirkan kegalauan itu sebenarnya adalah merupakan akibat semata. Umpama Islam yang bersumber al Qur6an dan hadis nabi benar-benar telah dijadikan sebagai inspirasi, sumber motivasi, kekuatan penggerak, petunjuk jalan kehidupan, dan sejenisnya, maka umat Islam akan melampaui umat lainnya. Muhammad saw., pembawa ajaran Islam dikenal sebagai pengubah masyarakat yang luar biasa, yaitu dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang beradab. Pandangan seperti itu telah menjadi milik umat Islam, bahwa kehadiran Islam adalah sebagai pembawa kekuatan perubahan.

Seharusnya, Islam sebagai kekuatan pengubah itu ditumbuh-kembangklan melalui pendidikan. Namun sayangnya, pendidikan Islam di mana-mana belum menghasilkan manusia pengubah itu. Selama ini sebutan sebagai pendidikan Islam sebatas pada bentuk pendidikan madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi Islam. Oleh karena mungkin saja disebabkan oleh kurikulum yang dikembangkan, lembaga pendidikan Islam dimaksud belum berhasil melahirkan ilmuwan yang mampu menjadi penggerak umat. Hal itu masih ditambah lagi, bahwa seolah-olah yang masuk kategori Islam hanyalah lembaga pendidikan sebagaiana disebutkan di muka itu. Pendidikan yang dikelola oleh kemeterian pendidikan nasional, sekalipun pejabatnya beraga Islam, kurikulumnya juga mengajarkan agama Islam, dan bahkan di sekolah atau kampus dimaksud juga terdapat masjid atau mushalla, namun belum dikategorikan sebagai kekuatan Islam.

Sementara itu, lembaga pendidikan yang disebut menyandang identitas Islam, belum mengajarkan ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan piranti untuk memenangkan kompetisi dalam kehidupan yang terbuka seperti sekarang ini. Lembaga pendidikan Islam yang dimaksudkan itu belum mengajarkan sains dan teknologi secara memadai. Mereka hanya mengajarkan hal yang terkait di seputar kegiatan ritual, seperti syari'ah, ushuluddin, dakwah, adab, tarbiyah, fiqh, tasawwuf, dan sejenisnya. Sebaliknya, ilmu-ilmu yang sebenarnya menjadi kekuatan untuk memenangkan kompetisi, semisal ilmu ekonomi, kedokteran, sains, teknologi, dan lain-lain belum diajarkan di lembaga pendidikan Islam pada umumnya. Oleh karena itu, umpama kemudian mereka mengalami kekalahan, sebenarnya adalah sebagai hal yang amat mudah dimengerti.

Bahkan tatkala perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta, semisal UIN, Universitas Muhammadiyah, Universitas NU, dan sejenisnya membuka fakultas kedokteran, teknik, pertanian, kedirgantaraan, pertambangan dan lain-lain, maka lulusannya juga belum tentu disebut sebagai sarjana Islam, sekalipun misalnya mereka sangat mendalami ajaran Islam, dan bahkan hafal al Qur'an. Para lulusan fakultas-fakultas dari perguruan tinggi Islam tersebut, ternyata juga disebut sebagai sarjana umum, dan bukan sarjana Islam. Bahkan anehnya, ketika perguruan tinggi Islam berubah bentuk dari STAIN atau IAIN menjadi UIN, ada saja yang mengkhawatirkan. Dengan perubahan itu, mereka khawatir ilmu agamanya akan hilang. Padahal, al Qur'an sendiri sebenarnya juga memerintahkan agar umat Islam mempelajari ilmu umum, yakni ciptaan Allah baik di langit maupun di bumi. Mengkaji ciptaan Allah sebenarnya sama halnya mempelajari Ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora.

Jika demikian itu halnya, maka sebenarnya di kalangan umat Islam telah terjadi mispersepsi terhadap ontologi dan epistimelogi tentang ilmu ke-Islaman itu sendiri. Akibatnya, menjadi kurang tepat tatkala memahami lembaga pendidikan. Disebut sebagai lembaga pendidikan Islam ketika hanya mengajarkan ilmu-ilmu syari'ah, dakwah, ushulkuddin, tarbiyah dan adab. Begitu pula, disebut sebagai ulama Islam ketika seseorang adalah lulusan madrasah, pesantren, dan atau perguruan tingi Islam. Pemahaman yang kurang tepat seperti itu ternyata juga melahirkan persepsi yang kurang tepat pula. Umat Islam yang dibayangkan sedemikian besar, maka tatkala menggunakan kerangka berpikir sebagaimana dikemukakan di muka, ternyata menjadi kecil dan amat terbatas. Demikian pula, ketika digambaran bahwa politik Islam itu hanyalah partai yang mengklaim diri sebagai partai Islam, maka jumlah konstituennya juga kecil, sehingga belum merepresentasikan umat Islam yang berjumlah 87 % dari penduduk Indonesia.

Islam seharusnya dipahami secara luas, tidak saja meliputi aspek yang terbatas, yakni menyangkut persoalan agama, tetapi juga ilmu pengetahuan, teknologi, keadilan, dan profesionalitas. Demikian pula pendidikan Islam seharusnya tidak saja berupa madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam, tetapi juga berbagai jenis pendidikan yang mampu mengantarkan para peserta didiknya mengenal Tuhan (beriman) dan beramal shaleh. Bahkan, umpama di pesantren juga diajarkan sains dan teknologi, sebagaimana sekarang ini sudah mulai dipelajari di madrasah dan perguruan tinggi Islam, maka umat Islam akan semakin maju, dan mampu bersaing dengan siapapun. Lebih penting lagi, -----umat Islam, sebagaimana disebutkan di dalam al Qur'an sebagai umat terbaik, maka tidak akan menjadi sebab terjadinya kegalauan. Kemenangan itu, kuncilnya adalah pada keimanan dan penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi. Umpama beberapa hal sebagaimana disebutkan itu ada pada umat Islam, maka mereka akan ungggul dan menang. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up