Menunggu Bangsa Ini Reda Dari Kegaduhan
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Minggu, 31 Januari 2016 . in Dosen . 776 views

Melalui pelajaran sejarah dapat diketahui dan dirasakan, betapa besar penderitaan bangsa ini ketika dijajah oleh Balanda dan kemudian disusul oleh Jepang hingga ratusan tahun lamanya. Para tokoh dan rakyat bangsa ini telah rela mengorbankan apa saja yang dimiliki, baik harta, raga, dan jiwanya untuk merebut kemerdekaan, dan akhirnya berhasil. Terbayang kemudian bahwa dengan berbekalkan kemerdekaan itu maka bangsa Indonesia akan meraih kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan.

Cita-cita mulia dan luhur dimaksud ternyata tidak cukup hanya diraih dengan modal kemerdekaan. Nyatanya sudah sekian puluh tahun, cita-cita dimaksud masih belum jelas, kapan akan berhasil diraih. Hingga pada saat ini bangsa Indonesia sudah dipimpin oleh tujuh orang presiden secara bergantian. Hampir semua presiden tersebut mengakhiri jabatannya dengan kecewa. Bung Karno yang dalam sejarahnya, apapun diberikan untuk rakyat dan bangsanya, memimpin berjuang untuk meraih kemerdekaan dan kemudian menjadi presiden, tetapi berakhir dengan sejarah hidupnya yang mengenaskan.

Pak Harto demikian pula, atas jasanya semula diberi gelar sebagai Bapak Pembangunan, tetapi ternyata sejarahnya tidak jauh berbeda dari Bung Karno. Pak Harto dianggap telah melakukan kesalahan besar, sekalipun juga belum sempat diadili. Hujatan demi hujatan ditujukan kepadanya dan bahkan juga kepada keluarganya. Jasa yang telah diberikan kepada bangsa sedemikian besar, tetapi seolah-olah hilang begitu saja. Sejarah hidupnya seakan-akan tidak memberikan apa-apa kepada bangsanya, dan sebaliknya oleh sementara orang dianggap merugikan dan bahkan mencelakakan.

Kritik dan hujatan yang menyakitkan juga diterima oleh para presiden berikutnya, baik kepada Prof. Dr. H. Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Hj. Megawati Soekarnoputri, Prof. Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono, dan kini juga kepada Presiden Joko Widodo. Di negeri ini, seorang pemimpin hingga presiden sekalipun dipilih dan diangkat bersama-sama, tetapi akhirnya juga dihujat bersama-sama. Sehari-hari bangsa ini berbicara tentang keadilan, kehormatan, harkat dan martabat seseorang, tetapi bersikap adil kepada pemimpinnya sendiri ternyata masih terasa berat.

Keadaan atau suasana bangsa yang memprihatinklan itu ternyata semakin hari bukan semakin reda, tetapi justru bertambah serius. Konflik antar pemimpin bangsa, antar tokoh, di lingkungan intern organisasi, partai politik, antar lembaga negara dianggap sebagai hal biasa. Beberapa partai politik hingga sekian lama diterpa oleh konflik intern yang tidak kunjung selesai. Akibatnya, banyak orang tidak saja gelisah karena kenakalan remaja dan tawuran anak sekolah, tetapi anehnya juga tawuran di antara para tokoh dan pemimpin bangsa. Kemampuan mengendalikan diri di antara para pemimpin bangsa ternyata sudah semakin hilang atau setidaknya tidak terasakan lagi.

Harkat dan martabat serta keselamatan para pemimpin bangsa di berbagai level sudah tidak ada yang melindungi, seakan-akan mereka tidak ada jaminan atas keselamatan dirinya dan apalagi keluarganya. Bisa saja pada hari ini, seseorang masih menjadi menteri, gubernur, anggota DPR , bupati, wali kota, DPRD, Direktur Bank, Pimpinan BUMN, pemimpin partai politik, dan lain-lain, tetapi ternyata besuk harinya sudah menjadi tahanan oleh karena tuduhan korupsi atau menyalah gunakan wewenang. Keadaan itu sangat mengerikan, ternyata sudah lebih separo dari jumlah bupati, wali kota, dan gubernur telah dipenjarakan.

Sehari-hari bangsa ini hanya memperdengarkan kegaduhan. Persoalan perebutan kekuasaan, sumber-sumber pendapatan, korupsi, konflik antar elite, perebutan posisi di organisasi politik, dan lain-lain yang menyedihkan selalu menjadi berita sehari-hari. Bahkan konflik di organisasi sosial keagamaan sekalipun ternyata juga terjadi. Berita tentang peselingkuan, saling menjatuhkan, bidik membidik, dan bahkan pembunuhan hampir tidak pernah reda. Akhirnya, negara yang dibangun di atas cucuran keringat, air mata, darah, dan tentu hal lain yang lebih dahsyat lagi, ternyata hanya dijadikan tempat gaduh oleh generasi penerusnya. Kiranya, semua kejadian itu sudah mendesak untuk segera dijadikan bahan renungan mendalam, untuk mencari jalan keluar yang lebih arif dan bijak. Tanpa langkah itu, negeri ini hanya akan menjadi tempat kehidupan yang diliputi oleh suasana gaduh terus menerus. Tentu, semua orang tidak mengehendakinya. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up