Bimbingan Dan Proses Panjang Untuk Menjadi Orang Baik
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Senin, 7 Maret 2016 . in Dosen . 1204 views

Tatkala seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang oleh dirinya sendiri saja dianggap kurang baik, kurang pantas atau tidak semestinya dilakukan, maka perilakunya itu biasanya tidak mau diketahui oleh orang lain. Siapapun orangnya tidak akan mau disebut sebagai orang jelek. Oleh karena itu, walaupun hati nuraninya sendiri juga mengatakan jelek, tetapi yang bersangkutan tidak mau disebut berperilaku buruk. Setiap orang ingin disebut sebagai orang baik, walaupun perilakunya sehari-hari sebenarnya telah diketahui oleh banyak orang sebagai orang tidak baik.

Pada waktu masih mahasiswa, kebetulan saja saya bertempat tinggal tidak terlalu jauh dari tempat yang digunakan praktek perbuatan tercela, yaitu lokalisasi wanita tuna susila. Tempat wanita nakal itu sebenarnya sudah sangat lama. Oleh karena itu, masyarakatnya sudah terbiasa dengan perbuatan yang sama sekali tidak terpuji itu. Namun anehnya, perbuatan itu sebenarnya sudah dianggap jelek oleh mereka sendiri. Buktinya, mereka tidak mau perilaku buruknya itu diketahui secara terbuka oleh orang banyak. Apalagi, menunjukkan tentang pekerjaannya sehari-hari itu.

Keanehan lainnya, mereka berkeinginan agar anaknya menjadi penganut agama yang baik. Anak-anaknya didorong untuk belajar agama atau mengaji. Belajar agama dinggapnya penting agar kelak tidak meniru orang tuanya. Mereka mengatakan bahwa, biarlah dirinya saja yang menjalani keburukan, sementara anaknya jangan sampai menirunya. Oleh karena itu, jika kebetulan anaknya membolos tidak datang mengaji, orang tuanya selalu menegurnya. Germo tersebut, menginginkan anaknya rajin mengaji, agar kelak menjadi orang baik.

Mengetahui bahwa germo dan juga kawan-kawannya masih menginginkan hidup normal dan disebut sebagai orang baik, saya pernah mendatangi merka untuk saya ajak membangun masjid di tempat yang tidak jauh dari lokalisasi dimaksud. Ajakan tersebut ternyata disambut baik. Selanjutnya di atas tanah wakaf dari seseorang yang bertempat tinggal tidak jauh dari lokalisasi itu, saya ajak mereka membangun tempat ibadah. Orang-orang yang sebenarnya berkaitan dengan lokalisasi wanita tuna susila itu, saya jadikan panitia pembangunan masjid. Ajakan itu disambut baik, mereka bersedia bekerja bersama-sama. Akhirnya, tidak lama kemudian, tempat ibadah itu selesai dibangun.

Setelah pembangunan masjid selesai, agar mereka senang dan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang yang dekat dengan tempat ibadah, maka semuanya saya belikan sarung, kopyah, dan baju taqwa. Sengaja, pada baju taqwa itu, saya beri lebel nama masjid yang baru saja selesai dibangun itu. Ternyata, orang-orang yang semula menjadi bagian dari kegiatan wanita tuna susila tersebut tampak bangga ketika mengenakan baju koko, kopyah, dan sarung, sebagai santri. Rupanya mereka juga tahu bahwa ketika seseorang mengenakan baju taqwa tidak boleh lagi meminum minuman keras, berjudi, dan apalagi mendekati wanita tuna susila.

Rupanya ketika mengenakan baju taqwa, mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang santri, orang baik, dan kehidupannya jauh dari perbuatan maksiat. Tampak dengan jelas bahwa, mereka senang dengan status baru yang dimilikinya, yaitu sebagai jama'ah masjid dan menjadi orang yang tidak lagi disebut sebagai orang yang sehari-hari melakukan perbuatan maksiat. Tampaknya, sekalipun seseorang itu melakukan kejelekan, ternyata nuraninya tidak mau menerima terhadap perbuatan yang dianggap jelek itu.

Apa yang saya lakukan sekitar 30 an tahun yang lalu dalam usaha menjauhkan masyarakat dari perbuatan buruk dimaksud, akhirnya mendapatkan dukungan dari pemerintah, yaitu dengan memindahkan tempat wanita tuna susila tersebut ke lokasi yang letaknya jauh di pingiran kota. Majid yang baru saja selesai dibangun akhirnya menjadi alternative tempat kegiatan masyarakat. Akan tetapi oleh karena praktek maksiyat dimaksud sudah berjalan bertahun-tahun, maka ikutan dari kegiatan itu misalnya meminum minuman keras, berjudi, dan sejenisnya masih terasa sulit ditinggalkan. Untuk mengalihkan tradisi yang sudah lama berjalan, saya bersama beberapa mahasiswa yang berada di wilayah itu, mengajak untuk membentuk kegiatan baru yang bernuansa religious, misalnya kelompok tahlil, jama'ah terbangan, dan lain-lain.

Bertahun-tahun terlibat dan bahkan mempelopori kegiatan keagamaan di kampung yang semula terkesan penuh kemaksiatan, ternyata berhasil memperoleh pengalaman menarik. Misalnya, bahwa siapapun sebenarnya tidak mau melakukan perbuatan yang dinilai buruk oleh masyarakat luas. Siapapun sebenarnya tidak suka dan bahkan malu dengan kehidupan yang dianggap jelek atau maksiat. Sebenarnya, mereka itu ingin berubah, tetapi tidak mengerti cara atau pintu yang harus dilalui untuk melakukan perubahan itu. Apalagi, ketika mereka sudah dikenal sebagai orang yang berperilaku buruk dan dianggap tidak mau lagi dengan kebaikan, maka mereka dijauhi oleh kebanyakan masyarakat.

Apapun buruknya kegiatan seseorang sehari-hari, ternyata mereka membutuhkan pengakuan bahwa apa yang dilakukan adalah oleh karena sesuatu sebab yang tidak bisa dihindari. Mereka melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh masyarakat adalah karena keterpaksaan atau pilihan hidup yang harus dihadapi. Selain itu, mereka juga membutuhkan pengakuan bahwa sekecil apapun, mereka masih memiliki sifat baik atau perbuatan baik yang pernah dilakukannya. Apabila pengakuan itu diperoleh, mereka akan merasa senang dan lama kelamaan akan bersedia untuk kembali kepada kebaikan sebagaimana masyarakat pada umumnya.

Oleh karena itu, yang diperlukan bagi mereka adalah empatik, dan selanjutnya adalah penjelasan, bimbingan, ketauladanan yang semua itu perlu dilakukan dalam waktu lama dan terus menerus. Usaha-usaha atau dakwah kepada mereka yang berhasil biasanya dilakukan dengan cara-cara dimaksud. Maka, sebenarnya untuk mengajak pada jalan kebaikan, diperlukan orang yang tulus, sabar, dan ikhlas. Hal yang juga perlu diketahui adalah bahwa orang yang telah lama melakukan kejahatan sebagaimana dicontohkan di muka, ternyata juga merasakan ada sikap tidak konsisten dari para tokoh agama. Misalnya, mereka sekali-kali masih melihat tokoh agama yang dikenal bersih, jujur, dan ikhlas, ternyata juga masih melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak dibolehkan dalam agama. Kesan tersebut menjadikan mereka tidak simpati. Mereka menginginkan agar para tokoh agama konsisten dengan ajaran agamanya agar benar-benar dapat membimbing orang lain. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up