Akibat Gagal Mendidik Diri Sendiri
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Selasa, 24 Mei 2016 . in Dosen . 1234 views

Pada akhir-akhir ini, tidak sedikit orang bersedih tatkala mendengarkan berita bahwa kenakalan anak-anak sudah di luar batas kewajaran. Melalui berbagai jenis media disebutkan bahwa ada belasan remaja beramai-ramai memperkosa temannya sendiri. Padahal mereka itu, menurut beritanya, baru berada pada usia sekolah dasar atau sekolah menengah. Mendengar berita itu, siapapun akan merasakan kesedihan yang mendalam.

Berita tentang kenakalan tersebut, terjadi bukan saja di suatu wilayah, tetapi juga terjadi di mana-mana. Ibarat gunung es, maka kejadian itu sebanarnya sudah merata. Kenakalan remaja sudah menjadi gejala umum. Seolah-olah anak-anak sekarang sudah tidak bisa dididik lagi. Atas kejadian itu, orang pada umumnya menyalahkan pihak lain, seperti televisi, majalah, koran, internet, facebook atau berbagai jenis media lainnya.

Sudah barang tentu, beberapa yang disebut sebagai penyebab kenakalan dimaksud memang benar. Akan tetapi sebenarnya masih ada lagi faktor yang tidak kurang pentingnya juga menjadi penyebabnya, ialah kegagalan masing-masing orang atau masing-masing pihak dalam mendidik dirinya sendiri. Biasanya, perilaku usia anak-anak tidak terlalu jauh dari perilaku orang tua.

Orang tua yang dimaksudkan bisa saja adalah dari orang tuanya sendiri, para guru, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan bahkan juga orang yang disebut tokoh agama sekalipun. Sehari-hari, siapapun dan tidak terkecuali anak-anak selalu melihat perilaku orang tua dimaksud secara terbuka, misalnya saling berebut, saling menyalahkan dan menjatuhkan, memonopoli sumber-sumber ekonomi tanpa batas, terjadi kesenjangan yang semakin melebar, tidak ada kepedulian terhadap orang lain, dan bahkan juga jual beli seks, mabuk, dan seterusnya.

Gambaran tentang keadaan yang menyedihkan tersebut sehari-hari dipertontonkan kepada siapapun, tidak terkecuali kepada anak-anak. Sebenarnya, siapapun termasuk anak-anak, memiliki suara hati, bahwa siapa saja harus berperilaku jujur, adil, memperhatikan kehidupan sesama, tidak perlu berebut, dan apalagi bermusuhan. Suara hati anak-anak tersebut tidak selalu sama dan bahkan berlawanan dengan kenyataan sehari-hari yang mereka saksikan.

Selain itu, suasana kebencian, permusuhan, atau saling merendahkan dengan sedemikian mudah dipertontonkan secara terbuka oleh siapapun, tidak terkecuali oleh orang tua, pejabat pemerintah, tokoh, guru atau juga para pendidik. Selain itu, sebagai resiko dari penegakan hukum, tidak sedikit para pemimpin diadili dan dipenjarakan dengan tuduhan korupsi atau bentuk penyimpangan lainnya. Akibatnya, anak-anak kehilangan kepercayaan kepada orang tua, para pemimpin, tokoh dan juga pendidiknya sendiri. Perilaku ideal yang seharusnya bisa disaksikan dan ditiru oleh anak-anak menjadi sulit ditemukan.

Sebagai akibat dari gambaran tersebut, maka seolah-olah di tengah masyarakat tidak ada lagi orang yang benar. Semuanya dilihat sebagai sosok yang salah, dan seolah-olah sudah tidak ada orang tua lagi. Siapa saja yang kuat dari berbagai aspeknya, maka mereka itulah yang diangap sukses. Keberhasilan bukan lagi diukur dari keagungan akhlak, perilaku, atau kearifannya, melainkan justru dari keberhasilannya melakukan taktik dan strategi yang belum tentu terpuji. Keadaan seperti itu menggambarkan bahwa di tengah-tengah masyarakat sudah sangat sulit dicari contoh, tauladan, atau orang yang bisa dipercaya.

Dalam keadaan seperti digambarkan itu, maka pertanyaan yang seharusnya dijawab bersama-sama adalah bagaimana berharap muncul anak-anak yang berperilaku terpuji melebihi apa yang ditampakkan oleh orang tua sebagaimana dimaksudkan di muka. Mendapatkan perilaku yang bisa dicontoh sudah semakin sulit. Terasa bahwa, orang tua sendiri sebenarnya telah gagal mendidik dirinya sendiri, sehingga harus menangung resiko, yaitu melihat kenyataan bahwa anak-anaknya telah melakukan berbagai jenis penyimpangan yang menyedihkan.

Oleh karena itu, memperbaiki perilaku anak-anak hanya akan mungkin berhasil setelah orang tua secara bersama-sama berkemauan memperbaiki perilakunya sendiri. Sebab sebenarnya apa yang dilakukan oleh anak-anak adalah merupakan buah atau gambaran nyata dari perilaku orang tua sendiri. Atau, bisa dikatakan bahwa, kenakalan anak sebenarnya adalah merupakan kegagalan orang tua di dalam mendidik dirinya sendiri. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up