Menyelesaikan Persoalan Manusia
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Kamis, 1 September 2016 . in Dosen . 4106 views

Persoalan manusia sedemikian rumit, yaitu serumit manusia itu sendiri, tetapi kadang dipandang sederhana. Manusia bukan saja merupakan benda fisik yang tampak hingga bisa dilihat, yaitu berupa tubuhnya, melainkan di dalam tubuh itu terdapat pikiran, perasaan, harapan, keinginan, dan lain-lain. Memahami manusia hanya sebatas dari aspek tertentu , misalnya dari aspek fisiknya, tentu tidak cukup. Fisik atau tubuh manusia itu sebenarnya ada yang menggerakkan, yaitu kekuatan di dalam dada masing-masing orang.

Ilmu pengetahuan dalam bidang apa saja, termasuk yang ada hubungannya dengan manusia, kajiannya hanya mencukupkan dari aspek yang tampak, yaitu melalui observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis. Padahal memahami manusia tidak cukup hanya dari aspek yang tampak. Manusia dalam pengertian yang sebenarnya justru harus dipahami dari aspek yang tidak tampak. Persoalan manusia yang sedemikian rumit tetapi hanya dipandang dan diselesaikan secara sederhana, maka akibatnya menjadi tidak pernah final atau tuntas.

Persoalan pendidikan misalnya, manusia dipandang bisa ditingkatkan kualitasnya hanya melalui beberapa pelajaran yang dianggap penting. Mereka diajari beberapa disiplin ilmu disesuaikan dengan tingkat perkembangannya. Seperangkat ilmu yang dirumuskan menjadi kurikulum dan bahan pelajaran sudah dianggap mampu mengubah atau membentuk perilaku seseorang. Setelah mereka menguasai bahan pelajaran yang ditunjukkan melalui nilai ujian, mereka diangap pintar dan mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam menjalani hidupnya.

Anggapan tersebut tentu tidak selalu benar. Orang yang sudah membaca banyak buku dan dinyatakan lulus, ternyata belum mampu menyelesaikan problem hidupnya. Sekedar mendapatkan lapangan pekerjaan misalnya, para lulusan lembaga pendidikan ternyata tidak mudah. Buktinya, pengangguran dari waktu ke waktu semakin bertambah jumlahnya dan tidak mudah diselesaikan. Mereka itu berasal dari lembaga pendidikan yang dipandang cukup bermutu sekalipun. Oleh karena itu, seolah-olah ilmu yang diperoleh tidak ada kaitannya dengan persoalan hidup setelah mereka lulus. Tanda lulus dan ijazah hanya dijadikan pertanda bahwa yang bersangkutan secara formal telah menyelesaikan pendidikan pada jenjang tertentu.

Melihat kenyataan sebagaimana digambarkan tersebut, tampak bahwa pendidikan belum mampu menyelasaikan persoalan kehidupan yang semakin luas, dinamis, tidak sederhana. Kehidupan tidak cukup hanya dijalani dengan berbekalkan seperangkat ilmu pengetahuan yang diberikan di sekolah atau lembaga pendidikan. Apalagi, seperangkat ilmu yang dipaksud baru sebatas berupa rumusan-rumusan yang tidak mudah diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Pemahaman tentang biologi yang diajarkan di sekolah misalnya, tidak menyambung dengan persoalan kehidupan di lingkungan hidupnya. Akibatnya, antara orang yang telah belajar biologi dan tidak, seakan-akan tidak mudah dibedakan kemampuannya. Ilmu biologi yang dipelajari bertahun-tahun, seolah-olah tidak ada relevansinya dengan kehidupan mereka yang mempelajarinya itu.

Menyadari kenyataan tersebut mendorong seseorang yang telah lulus pada jenjang pendidikan tertentu, mengambil jalan praktis dan pragmatis, yaitu lebih memilih menjadi pegawai, dan lebih khusus lagi adalah pegawai negeri. Sebatas sebagai pegawai pemerintah misalnya, biasanya tidak dituntut menguasai ilmu tertentu secara mendalam, kecuali sebagai guru. Seberapapun kemampuan seseorang seiring dengan bertambahnya umur dan pengalaman, lama kelamaan akan beradaptasi dengan beban tugas atau tanggung jawab yang diberikan, sekalipun tentu tidak selalu mencukupi.

Pada kenyataannya, pendidikan yang dikemas secara formal ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah. Bahkan pendidikan biologi sebagaimana dicontohkan di muka, hanya menyentuh aspek koqnitif semata. Pelajaran tersebut belum menjangkau aspek manusia yang lebih dalam, luas, dan rumit, yaitu misalnya aspek jiwa, nafsu, kepercayaan, perasaan, dan sejenisnya. Lebih jauh lagi, dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, manusia tidak saja membutuhkan pengetahuan, tetapi juga aspek-aspek terdalam pada dirinya sebagaimana disebutkan itu.

Manusia dalam menjalani kehidupannya sehari-hari membutuhkan jalan keluar untuk mengatasi kegelisahan, kegalauan, perasaan pemisimistis, tidak percaya diri, rasa takut, kawatir, was-was, dan semacamnya pada dirinya. Selain itu, makhluk yang dipandang paling mulia ini juga membutuhkan dihargai, dianggap mampu, diperhitungkan, dan bahkan keberadaannya juga dianggap ada. Kebutuhan manusia tidak sebatas agar mampu bertahan hidup, sehingga memerlukan hal-hal yang bersifat material, melainkan juga yang bersifat immaterial . Bahkan manusia juga membutuhkan pemahaman terhadap dirinya sendiri, keberadaannya terkait dengan kepercayaan pada tuhan, makhluk lain yang berkaitan dengan dirinya, dan juga kehidupan kembali setelah mati.

Untuk memecahkan berbagai persoalan tersebut, ilmu pengetahuan dan teknologi tentu tidak akan mampu menyelesaikannya. Agama dengan kitab suci serta ketauladanan para pembawa ajaran itu, menawarkan ajaran yang bersifat solotif untuk meneyelesiakn persoalan manusia. Islam misalnya, dengan al Qur'an dan hadits Nabi memberikan tawaran penyelesaian secara komprehensif dan mendasar. Menurut pandangan Islam, bahwa sumber kekuatan penggerak manusia adalah apa yang disebut dengan istilah ruh. Kekuatan ini tidak tampak, sehingga tidak mungkin dijamah atau ditangkap oleh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, jika hanya didekati dan diselesaikan dengan ilmu pengetahuan, maka persoalan manusia tidak akan selesai selamanya. Maka, agama harus dihadirkan untuk menyelesaikan persoalan itu. Wallahu a'lam

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up