Perubahan Menjadi UIN Jangan Melemahkan Kajian Islam
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Jumat, 11 November 2016 . in Dosen . 1345 views

Pak Maftuh Basyni benar-benar seorang pejabat Kementerian Agama yang sangat berhati-hati tatkala melakukanp perubahan, apalagi perubahan itu menyangkut hal yang menurut pandangannya amat mendasar. Perubahan kelembagaan di lingkungan perguruan tinggi agama dari STAIN dan IAIN menjadi UIN, oleh Pak Maftuh Basyuni tidak serta merta dipandang menguntungkan. Perubahan itu jika tidak dikelola secara benar dan hati-hati, justru dikhawatirkan akan memperlemah kajian Islam yang menjadi tugas pokoknya.

Atas pandangan tersebut, beliau di banyak kesempatan menyampaikan statemen yang menjadikan banyak pimpinan STAIN dan IAIN merasa pesimis untuk mengusulkan perubahan kelembagaan. Pak Maftuh Basyuni ketika menjabat sebagai Menteri Agama mengatakan bahwa jumlah UIN yang 6 buah, yaitu UIN Jakarta, Malang, Yogyakarta, Makassar, Bandung, dan Riau dianggap sudah cukup. Sedangkan lainnya yang saat itu masih berstatus STAIN dan IAIN jangan bermimpi untuk berubah menjadi UIN. Bermimpi saja oleh beliau tidak dibolehkan, apalagi mengusulkan untuk berubah, tidak akan diproses.

Menurut Pak Maftuih Basyuni, sebagai Menteri Agama, perubahan itu dikawatirkan akan mengurangi semangat dalam menunaikan tugas pokonya yaitu mengembangkan ilmu-ilmu ke-Islaman. Ketika STAIN dan IAIN berubah menjadi UIN, maka dikhawatirkan bukan kajian Islam yang berkembang tetapi justru ilmu-ilmu umum. Sementara itu, ilmu-ilmu umum selama ini sudah dikembangkan oleh perguruan tinggi umum. Tugas perguruan tinggi agama adalah mengembangkan ilmu agama, yaitu ushuluddin, syari'ah, tarbiyah, dahwah, dan adab.

Jika perguruan tinggi agama Islam berubah menjadi UIN dan membuka program studi umum, maka masyarakat akan lebih memilih fakultas umum, sedangkan fakultas agama akan ditinggalkan oleh peminat. Sebagai akibatnya, ke depan akan kekurangan ahli agama yang dilahirkan dari perguruan tinggi agama. Hal demikian itu, oleh Pak Maftuh Basyuni dianggap merugikan bagi umat Islam sendiri. Ddirikannya perguruan tinggi islam adalah agar melahirkan ahli-ahli agama atau disebut ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Selama itu, pesantren yang dibangun dan dikelola oleh para ulama atau kyai dipandang belum sepenuhnya berhasil memenuhi kebutuhan ketenagaan di lingkungan pemerintah, khususnya di Kementerian Agama.

Mengingat tugas pokok perguruan tinggi Islam sebagaimana disebutkan itu, maka Pak Maftuh Basyuni mengkhawatirkan perubahan kelembagaan di lingkungan perguruan tinggi Islam justru akan melupakan misi pokoknya. Oleh karena itu, beliau tidak akan menambah lagi jumlah UIN kecuali yang sudah ada. Selainnya, diharapkan masih tetap pada posisinya semula, yaitu mengembangkan kajian Islam sebagaimana yang sudah dilakukan selama ini. Menurut Pak Maftuh Basyuni, STAIN dan IAIN harus didorong untuk meningkatkan kualiasnya dan bukan melakukan perubahan kelembagaannya.

Mendengarkan pandangan Pak Maftuh Basyuni dimaksud, pada suatu saat, saya memohon klarifikasi langsung ke pada beliau. Saya menyampaikan bahwa terasa ada sesuatu yang kurang jelas atas pandangan Pak Menteri Agama terhadap perubahan STAIN dan IAIN menjadi UIN. Pada setiap saya menghadap, beliau selalu mengapresiasi perkembangan UIN Malang, disebut oleh beliau patut dijadikan contoh dan membanggakan. Akan tetapi pada kesempatan lain, beliau selalu mengatakan, UIN jangan ditambah, cukup berjumlah 6 saja.

Pertanyaan saya tersebut langsung dijawab, bahwa jika UIN berhasil dikembangkan sama dengan UIN malang, maka beliau mempersilahkan semua berubah menjadi UIN. Hanya menurut penghlihatan beliau selama itu, perubahan kelembagaan itu belum semua diikuti oleh langkah-langkah peningkatan kualitasnya. Pak Maftuh Basyuni menegaskan bahwa boleh saja perguruan tinggi agama Islam berbentuk UIN dan mengembangkan ilmu-ilmu umum, akan tetapi lulusannya selain harus menguasai disiplin ilmunya, juga harus memahami agamanya dengan baik. Boleh menjadi sarjana ekonomi, pertanian, dan bahkan kedokteran, tetapi mereka harus mampu memahami sumber ajaran Islam, yaitu al Qur'an dan Hadits Nabi. Jika tidak sanggup, maka menurut pandangan beliau, lebih baik mereka tidak berubah dan mengembangkan kajian Islam sebagaimana yang menjadi tugas pokoknya. (bersambung).

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up