Sufi dan Islamisasi di Indonesia
Dalam pandangan banyak ahli sejarah Islam di Indonesia, para tokoh sufi memiliki peran penting dalam proses islamisasi di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang melebihkan peran mereka dalam proses islamisasi tersebut, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah hanya aspek sufisme saja yang berkembang di Indonesia. Dalam hal ini Victor Tanja (1982:21) mengatakan, bahwa Islam yang mula-mula datang ke kepulauan Nusantara ialah Islam yang bercorak sufistik. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya walisongo sebagai penyebar agama Islam di kepulauan Jawa. Dalam beberapa tulisannya, A.H. Johns (1961:1975) seorang ahli filologi Australia, mengatakan bahwa atas jasa para sufilah Islam menjadi sangat berakar dalam masyarakat Indonesia. Walaupun Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad ke 8 M, konversi secara besar-besaran baru terjadi pada abad ke 13 M seiring dengan runtuhnya Baghdad ke tangan Mongol tahun 1258 M. Para sufilah yang memotori proses islamisasi tersebut. Bagi para sufi, sebetulnya sufisme dan syari’ah tidak dipandang sebagai dua dimensi yang bertentangan tetapi saling melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Meskipun demikian, dalam sejarah dan perkembangan masyarakat memang terjadi pertentangan dan konflik antara kedua penganut dimensi Islam tersebut. Sebagai satu ajaran, sufisme merupakan dimensi batin atau esoteris yang seringkali dibedakan dengan syari’ah (eksoteris). Sebagai gerakan, dalam sejarah dan perkembngnnya, para sufi dapat dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu: pertama, sufi individualis yang terpanggil untuk mempraktekkan kehidupan asketis dan mistis yang menghasilkan karya-karya sufisme dan dikenal lewat karya tersebut oleh para sufi belakangan. Acapkali para sufi dibesarkan oleh sejumlah pengikut yang menganggapnya sebagai special figure yang dapat mengikat mereka pada suatu aliran tertentu (misalnya sosok Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, yang kemudian melahirkan nama tarekat Qadiriyah, Syeikh Yusuf Taj al-Khalwati dengan munculnya tarekat Al-Khalwatiyah dst.); kedua, para sufi yang diikat oleh suatu aliran tertentu dan merupakan suatu persaudaraan (brotherhood) yang sering disebut dengan tarekat. Kadang-kadang suatu tarekat merupakan institusi semi formal yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan bahkan politik (Gilsenan, 1973: 1). Dalam sejarah perkembangan masyarakat, sufisme merupakan dimensi Islam yang tak kalah kontroversial. Hakikat dan eksistensinya seringkali disalahpahami dan diremehkan. Secara teologis ajaran-ajaran tasawuf oleh beberapa kalangan --terutama golongan yang berorientasi modernis-- dipandang sebagai ajaran yang tidak berasal dari ajaran Islam sehingga penganutnya dapat menjadi musyrik. Ia dianggap sebagai ajaran yang mengndung TBC (tahayul, bid’ah dan churafat). Secara sosial, tasawuf yang mengajarkan kehidupan asketis menjadi penghambat pembangunan dan kemajuan zaman sehingga tidak mengherankan kalau Al-Ghazali dipandang bertanggung jawab terhadap ketertinggalan dan kemunduran umat Islam. Tuduhan dan kritik terhadap tasawuf tersebut memang seringkali tidak beralasan. Tuduhan dan kritik tersebut biasanya datang dari golongan yang tidak memahami tasawuf secara komprehensif dan tidak melihatnya dari perspektif sufi itu sendiri. Secara teologis, sesunguhnya tasawuf memiliki dasar doktrin yang kuat di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah dan menurut Nurcholish Madjid (1985), tasawuf memiliki akar yang lebih kuat di dalam Al-Qur’an dibanding dengan syari’ah. Sufisme yang dianggap sebagai simbol kejumudan dan kepasifan juga merupakan kesimpulan yang over-generalisation, karena dalam banyak kasus di dunia muslim para sufi dan pengikut tarekat berperan aktif dalam berjuang melawan kaum kolonial. Di Indonesia, beberapa tarekat merupakan kelompok masyarakat yang ditakuti pemerintah kolonial Belanda karena gerakan-gerakan “pemberontakan” yang mereka lakukan (Kartodirdjo, 1966). Akhir-akhir ini perhatian dan kecenderungan masyarakat kepada tasawuf tampak meningkat. Buku-buku yang bertema tasawuf tampaknya merupakan buku terlaris di pasaran. Kajian-kajian intensif tasawauf yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan sosial keagamaan menarik minat cukup tinggi dari kaum terdidik perkotaan (Azra, 1996:286). Termasuk di Aswaja Center UNISMA sendiri kajian tasawuf juga tidak kalah perhatiannya. Fenomena men-ziarahi para tokoh sufi dan tarekat marak dilakukan, tidak hanya masyarakat pedesaan tetapi juga oleh golongan kelas menengah perkotaan. Terlepas dari tujuan mereka memiliki perhatian (concern) dan memasuki dunia tarekat, yang jelas hal ini merupakan fenomena yang menarik. Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan sosial budaya, tasawuf tampaknya semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Fenomena ini menolak anggapan bahwa tasawuf menjadi faktor penghambat pemabangunan dan kemajuan masyarakat. Untuk waktu yang lama kajian tasawuf di Indonesia masih didominasi oleh para ilmwuan Belanda yang kebanyakan mengikuti filologi. Tradisi ini kemudian diikuti oleh beberapa filolog Indonesia baik dari universitas-universitas umum maupun dari perguruan tinggi Islam. Demikianlah beberapa tokoh sufi Nusantara dan karya-karyanya diteliti secara historis dan filologis meskipun dominasi filologinya masih kuat. Dalam tradisi studi ini aspek-aspek sosiologis, antropologis, dan historis tasawuf dan tarekat di Indonesia tertinggalkan. Ironisnya, gerakan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Banten pada akhir abad ke 19 M, oleh Kartodirdjo (1966) dipandangnya sebagai gerakan petani. Saya kira perlu diketahui --dan ini merupakan fakta sejarah-- bahwa di Afrika Utara, Sudan pada tahun 1943 muncul gerakan sufi terkenal, yaitu sekte Ashiqqa dan Marabaouts (al-Murabbithun), yang mempunyai peranan besar dalam percaturan politik melawan penjajahan. Kaum sufi pun bisa bertingkah laku berang dan berperan sebagai reformis dan top leader (lihat: Donald E. Smith, Religion And Political development: 135, 137). Pada masa dinasti Saljuk sufisme juga berfungsi sebagai gerakan protes terhadap tirani kekuasaan. Mereka mengecam ulama yang terikat intim dengan penguasa (yang oleh al-Ghazali disebut sebagai ulama’ su’). Sufisme juga menolak pandangan aristokratis (lihat Kamaluddin Hilmi, 1975:202). Ini merupakan kenyataan, bahwa praktik sufi tidak hanya bisa diasumsikan sebagai ibadah zuhud dan zikir dalam pengertian ritual ansich. Dalam kondisi modern dan era teknologi kini, praktik sufi pun masih relevan dan bahkan sangat diperlukan, dengan catatan bahwa pengertiannya tidak sesempit yang dipahami sementara orang (mengasingkan diri dari komunikasi massa). Tetapi ia harus dijabarkan dalam arti yang kontekstual. Dan kita bisa melihat gejala sosiologis, bahwa di Pesantren Suryalaya Jawa Barat (yang terkenal dengan Pesantren Tareqat), telah dilakukan gerakan kultural yang wujudnya berupa masalah pertanian, koperasi, lingkungan hidup. Bahkan Pesantren tersebut banyak mendapat perhatian para ilmuwan dan juga pemerintah sendiri. Pengobatan non medis bagi cacat jiwa (narkoba dsb.) dengan menggunakan formula yang dikenal dengan formula zikrullah adalah merupakan keistimewaan tersendiri bagi Abah Anom (julukan Kiai dan pengasuh pesantrennya). Bukankah bentuk dan realita seperti ini lalu dapat mengubah gambaran kita tentang dunia sufi? Berbagai tarekat masuk dan berkembang di Indonesia, meskipun tidak diketahui secara pasti tarekat mana yang pertama hadir, tapi yang jelas tokoh sufi terkenal Hamzah Fansuri diceritakan sebagai guru tarekat Qadiriyah di Indonesia. Dia sendiri banyak melakukan perjalanan di wilayah-wilayah Indonesia termasuk Jawa (Kartodirdjo, 1966:145). Nuruddin Al-Raniri adalah penganut tarekat Rifa’iyah dan ‘Aidarusiyah. ‘Abdur Ra’uf Al-Sinkili adalah guru tarekat Syattariyah yang memiliki seorang murid terkenal dari Jawa Barat yang bernama ‘Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat tarekat tersebut menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan Syaikh Yusuf Taj Al-Khalwati mengikuti berbagai macam tarekat walaupun ia lebih terkenal sebagai guru tarekat Khalwatiyah. Pada periode berikutnya beberapa tarekat lain berkembang di Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Bahkan beberapa tarekat “lokal” mampu menarik sejumlah pengikut.Penutup
Dalam kehidupan modern yang serba kompleks ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi begitu canggih dan mengelaborasi ke hampir seluruh kawasan dunia. Pada saat mana manusia harus berkelit dengan problem kehidupan yang serba materialistis. Hubungan antara manusia pada zaman modern juga cenderung “impersonal”, tidak akrab lagi antara satu dengan yang lain. Masyarakat tradisional yang guyub dikikis oleh gelombang masyarakat modern yang tembayan. Fenomena ini membuat manusia semakin kehilangan jati dirinya. Kondisi demikian juga mengharuskan manusia untuk benar-benar mampu bertahan dan mengendalikan dirinya, untuk kemudian tetap tegar dalam kepribadian. Dalam hidup ini, yang dibutuhkan oleh manusia tak ada lain adalah ketenangan, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin. Dan itu semua tidak banyak tergantung kepada faktor-faktor luar, seperti ekonomi, status sosial dan seterusnya, melainkan lebih tergantung kepada sikap hidup dan kedekatan kita kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, mendekatkan diri dan meminta pertolongan kepada Allah (isti’anah dan istighatsah), tetap relevan dan satu keharusan agar memperoleh hidup sehat dan layak: jiwa yang seimbang, pribadi yang luhur dan hati yang tenang. Di sinilah makna sufisme itu: mengedapankan nilai ajaran agama, spiritualitas dan aspek esoteris yang menjadi benteng kepribadian, supaya terhindar dari hiruk pikuk materialisme dan hedonisme, terutama dalam kehidupan global yang penuh tantangan ini. ____________ *Penulis adalah Sekretaris Pusat Kajian dan Informasi ASWAJA (ASWAJA CENTER) Universitas Islam Malang (UNISMA).DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Fuad., tt., Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi. Al-Nadwi. 1979. Rijal al-Fikri wa’l-Da’wak fi’l-Islam, Kuwait, Dar al-Qalam. Azra, Azyumardi 1996. “Neo Sufism dan Masa Depamnnya” dalam M.W. Nafis (Ed.). Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta: Paramadina.