Seingat saya sejak akhir tahun 1990-an, terutama di kalangan perguruan tinggi Islam, banyak didiskusikan tentang integrasi ilmu dan Islam. Berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, diskusi, dialog, dan bahkan hingga pembicaraan dalam forum terbatas membahas hal tersebut. Tentu diskusi itu menarik karena dianggap aktual dan tidak segera tuntas disebabkan ada sementara orang yang setuju terhadap konsep itu dan sebaliknya, ada yang tidak segera menyetujuinya.
Kegiatan tersebut menjadi semakin ramai dan kemudian bahkan menginspirasi para pimpinan perguruan tinggi Islam negeri untuk mengubah kelembagaannya, yaitu dari IAIN atau STAIN menjadi bentuk universitas atau UIN. Muncul pandangan bahwa Islam yang bersifat universal tidak cukup dikaji melalui lembaga pendidikan tinggi yang sementara itu ada, maka seharusnya kelembagaan itu diubah menjadi bentuk universitas.
Hingga pada akhir tahun 1990 an, perguruan tinggi Islam negeri baru mengakaji Islam dari aspek syari'ah, tarbiyah, ushuluddin, dakwah, dan adab. Demikian pula, pelajaran agama di sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi juga hanya meliputi fiqh, tauhid, akhlak dan tasawwuf, tarekh, dan bahasa arab. Melalui berbagai kegiatan tersebut, dihasilkan pandangan bahwa wilayah keilmuan Islam tidak saja meliputi sebagamana disebutkan di muka, melainkan menyangkut berbagai disiplin ilmu lainnya, yaitu meliputi ilmu ekonomi, politik, hukum, sains dan teknologi, dan sebagainya.
Sekalipun pemikiran tersebut sebenarnya sederhana akan tetapi ternyata tidak selalu mudah dan cepat diterima oleh kalangan luas. Saya sebagai pimpinan STAIN Malang ketika itu, untuk menjelaskan konsep tersebut membuat metafora berupa sebuah pohon untuk menggambarkan kaitan antara Islam dengan ilmu pengetahuan. Melalui metafora tersebut, saya menjelaskan bahwa berbicara Islam sebenarnya sudah menyangkut agama, ilmu, dan peradaban. Oleh karena itu mendikotomikan antara Islam dan ilmu pengetahuan sebenarnya tidak tepat. Berbicara Islam sudah dengan sendirinya juga berbicara tentang ilmu pengetahuan. Setidaknya, Islam sudah mendorong dan bahkan memerintahkan agar umatnya mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
Melalui metafora berupa pohin tersebut, ternyata berbagai kalangan menjadi segera faham, tidak saja di kalangan mahasiswa dan dosen, tetapi juga para wali mahasiswa. Para wali mahasiswa baru selalu saya hadirkan secara bersama-sama ke kampus, di antaranya untuk mendapatkan penjelasan tentang struktur bangunan keilmuan dimaksud. Atas penjelasan tersebut pada umumnya, mereka menjadi paham, bahwa mahasiswa STAIN/UIN Malang akan memperoleh pengetahuan agama dan pengetahuan umum sekaligus. Saya sebutkan bahwa lulusan kampus ini diharapkan ke depan menjadi seorang ulama dan sekaligus intelektual atau intelektual dan sekaligus ulama'.
Bangunan keilmuan yang bersifat komprehensif, yaitu mencakup agama dan ilmu pengetahuan tersebut ternyata semakin dipahami dan diakui oleh berbagai kalangan setelah kelembagaan perguruan tinggi Islam negeri ini berhasil berubah dari sekolah tinggi, atau STAIN Malang menjadi UIN Malang. Memang pada awalnya, perubahan kelembagaan tersebut dikhawatirkan akan berdampak negatif, yaitu mendangkalkan pengetahuan agama di kalangan perguruan tinggi Islam, terutama oleh mereka yang menganggap bahwa Islam hanya sebatas ilmu ushuluddin, syari'ah, tarbiyah, adab, dan dakwah.
Setidaknya mereka merasa khawatir, setelah berubah menjadi UIN dan membuka fakultas umum maka akan menggeser minat masyarakat memasuki fakultas agama sebagaimana disebutkan di muka. Padahal sebelum berubah menjadi UIN, sebenarnya semangat belajar ilmu agama tersebut sudah melemah dan prestasi mereka juga sudah tidak dapat dibanggakan lagi. Demikian pula, peminat masuk perguruan tinggi Islam juga sudah tidak terlalu banyak. Melihat kenyataan itu, saya selalu menjelaskan bahwa perubahan kelembagaan dari STAIN menjadi UIN adalah dimakudkan justru untuk meningkatkan kualitas kajian Islam dan juga sekaligus menarik minat masyarakat agar bersemangat masuk ke perguruan tinggi Islam negeri.
Setelah melewati waktu yang sebenarnya belum terlalu lama, pada batas-batas tertentu, perubahan STAIN menjadi UIN di Malang, ternyata membawa hasil yang cukup signifikan. Semangat mengkaji al Qur'an dan hadits nabi menjadi meningkat, bahkan tidak sedikit, yakni hingga lebih 20 % mahasiswa mengikuti program menghafalkan al Qur'an. Para penghafal al Qur'an dimaksud tidak saja berasal dari mahasiswa fakultas agama, melainkan juga dari semua fakultas yang ada, misalnya mahasiswa jusrusan fisika, biologi, kimia, bahasa, psikologi, ekonomi, dan lain-lain. Di antara mereka ada yang hafal al Qur'an hingga sempurna. Demikian pula, peminat masuk perguruan tinggi ini semakin lama, selalu meningkat jumlahnya.
Namun memang terasa aneh, saya masih menemui tidak sedikit dosen di berbagai perguruan tinggi Islam yang ternyata masih terbatas pemahamannya tentang integrasi Islam dan ilmu pengetahuan. Bahkan juga masih ada orang yang mengkritik, bahwa konsep integrasi itu tidak perlu. Disebutnya bahwa agama ya agama dan ilmu ya ilmu. Keduanya tidak perlu diintegrasikan. Mengintegrasikannya hanya akan menjadikan keduanya sama-sama dangkalnya. Rupanya mereka itu tidak paham bahwa sebelum menjadi UIN, kajian agama di perguruan tinggi Islam itu sebenarnya juga sudah dangkal dan kurang peminatnya. Mungkin saja kenyataan yang menyedihkan itu tidak menjadi perhatian. Sekedar disebut fakultas agama dikiranya sudah secara otomatis, mahasiswanya memahami kajian Islam secara mendalam. Padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Wallahu a'lam