A. PENDAHULUAN
Kekayaan besar dan tidak terukur nilainya yang dimiliki umat Islam adalah cita-cita luhur, kemauan keras, dan bahkan kesediaan berkorban untuk merintis dan mengembangkan pendidikan. Fenomena seperti itu dapat dijumpai di berbagai penjuru masayarakat Islam, dan tidak saja tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat yang sudah cukup dari sisi ekonomi, melainkan merata hampir di semua kelas dan strata sosial-ekonomi. Atas dasar itu, maka tidak berlebihan jika disimpulkan: "di mana ada umat Islam, di situ pula terselenggara pendidikan." Pendidikan, bagi kaum muslimin, menjadi sebuah tuntutan yang hukumnya wajib dipenuhi. Atas dasar prinsip ini, maka menjadi wajar jika cita-cita luhur, niat yang tulus, dan prakarsa besar untuk merumuskan pengembangan pendidikan Islam selalu terwujud sebagai sebuah awal yang baik bagi sebuah proses perjuangan, sebagaimana yang dilakukan oleh IAIN Imam Bonjol Padang saat ini. Oleh karena itu, saya menduga, Kementerian Agama-lembaga pemerintahan yang berwenang mengembangkan lembaga pendidikan Islam- mengalami kesulitan, bukannya dalam rangka mendorong dan membangkitkan semangat pengembangan pendidikan Islam; melainkan sebaliknya, Kementarian Agama justru mengerem lajunya pertumbuhan dan percepatan aspirasi masyarakat dalam memprakarsai pengembangan pendidikan. Semangat membangun lembaga pendidikan Islam yang sedemikian tinggi, yang tidak ditunjang oleh kemampuan finansial, leadership, dan managerial yang unggul dan tangguh, maka akan melahirkan Pendidikan Islam dengan label 'Bertahan hidup, namun sulit mengalami kemajuan'.
Berbagai upaya STAIN Malang untuk merubah diri menjadi universitas (UIN Malang), merupakan ekspresi dari semangat yang tumbuh dari internal warga kampus untuk mengembangkan sebuah cita-cita luhur dan besar, yang pada umumnya disandang oleh umat Islam, yaitu agar memiliki lembaga pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan ideal sebagaimana dicita-citakan. Lembaga pendidikan yang diharapkan adalah lembaga yang dibangun berdasarkan ajaran Islam. Cita-cita seperti itu tidak bisa ditahan, apalagi dihalang-halangi. Cita-cita seperti itu menjadi kekuatan yang luar biasa yang selalu mencari peluang untuk tumbuh. Semangat seperti itu tidak pernah bisa dipadamkan, ia akan selalu menunggu kesempatan tumbuh. Niat merubah STAIN menjadi UIN Malang tidak ditempuh dengan mudah, dilalui dengan kerja keras, melelahkan, serta menyita waktu lama. Status universitas yang diperoleh UIN Malang bukan merupakan hasil dari kesabaran menunggu, melainkan lewat keberanian merebut kesempatan dan menciptakan peluang. Kalimat "merebut kesempatan dan menciptakan peluang" perlu ditekankan di sini, semata-mata untuk menggambarkan bahwa peluang berubah menjadi universitas harus diciptakan sendiri, dan demikian juga langkah-langkah strategis yang ditempuh. Tantangan dan hambatan yang dihadapi cukup komplek, baik yang datang dari kelompok-kelompok partisan di dalam (internal) kampus maupun dari pihak-pihak luar (eksternal) kampus. Tetapi semua persoalan itu, oleh karena cita-cita ini "aneh" atau kurang lazim, maka kesulitan-kesulitan itu pun sudah diperhitungkan, dan bahkan munculnya dipandang sebagai suatu keniscayaan.
Persoalan yang dihadapi STAIN Malang dalam proses merubah status kelembagaan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang setidak-tidaknya ada empat hal penting, yaitu (1) perumusan konsep Universitas Islam yang diinginkan, berikut kerangka ilmu yang dikembangkan; (2) membangun konsolidasi internal, (3) penyelesaian proses administrasi, terutama yang terkait perijinan, (4) penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan. Berbagai persoalan itu dalam kenyatannya tidak selalu mudah diselesaikan, lebih-lebih STAIN Malang merupakan lembaga yang lahir dari bentuknya semula, yakni fakultas cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya. Akan tetapi, didorong oleh gairah besar, cita-cita luhur dan niat tulus untuk membangun format lembaga pendidikan Islam yang berkualitas serta relevan dengan tuntutan zaman ke depan, maka apapun persyaratan dan tuntutan yang diminta akan dipenuhi dengan segala upaya yang mungkin dapat dilakukan.
B. KONSEP UNIVERSITAS ISLAM
Islam sebagai ajaran maupun sebagai bidang kajian diyakini-sekurang-kurangnya oleh sebagian besar umat Islam-mencakup berbagai aspek kehidupan, bahkan menjangkau kehidupan dunia dan akhirat sekaligus. Islam mengajarkan setiap manusia mengejar kebahagiaan, kesejahteraan, dan kejayaan duniawi dan ukhrawi. Peran Islam sebagai rahmatan lil'alamin menjadi relevan karena sifat Islam yang serba mencakup (all sufficient), dan dengan sendirinya-sebagaimana keyakinan umat-sebagai ajaran kehidupan Islam mengajarkan segala yang diperlukan untuk hidup secara baik dan benar. Dalam kehidupan umat Islam memperlakukan Islam sebagai sumber inpirasi sekaligus sebagai frame of reference. Ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan as-Sunnah menempati posisi sentral bagi kehidupan. Dengan demikian Islam bersifat universal, dan inilah sifat universalitas Islam, yang serba mencakup, dan berlaku bagi setiap orang, setiap tempat, dan setiap waktu dalam keseluruhan perjalanan hidup manusia. Islam menjamin ajaran-ajarannya membimbing manusia ke arah kehidupan yang paling baik dan benar untuk mencapai keselamatan duniawi dan ukhrawi.
Universitas Islam inilah yang harus dapat diimplementasikan oleh lembaga pendidikan Islam yang disebut universitas. Universitas Islam, dengan demikian, merealisasikan sifat universal Islam, yang membekali generasi muda dengan ilmu pengetahuan tentang segalanya, dan untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kendatipun secara ideologis-atau lebih tepat secara filosofis-konsepsi mengenai universitas Islam itu mudah dipahami; namun, rumusan konseptual-operasionalnya masih dalam pencarian, yakni masih perlu dirumuskan secara gamblang agar dapat dipahami dan dihayati oleh semua pihak yang terkait. Menyusun konsep operasional-sebagaimana pengalaman UIN Malang-yang dapat dipahami semua pihak ini ternyata tidak gampang. Pada garis besarnya, dengan kelahiran universitas Islam ini, UIN Malang ingin membangun dan mewujudkan integrasi ilmu agama dan ilmu umum, yang pada akhir-akhir ini sudah diwacanakan sebagai "kurang relevan" lagi dengan tuntutan zaman. Cara memandang ilmu secara dikotomik-yang memisahkan ilmu umum dan ilmu agama-dinilai kurang memadai. Orang mulai sadar bahwa semua ilmu berasal dari Tuhan yang bisa digali melalui ayatayat qawliyyah dan ayat-ayat kawniyyah. Pespektif dikotomik seperti itu justru hanya melahirkan pandangan yang parsial, tidak holistik, dan kurang sempurna. Itu adalah ironi, sekaligus ketidaktepatan cara pandang terhadap Islam. Kitab suci (al-Qur'an) dan Hadis Nabi yang menjadi sumber ajaran Islam, tidak saja berisi norma dan tata cara ritual, melainkan penuh berisi petunjuk-petunjuk tentang fenomena alam, sosial dan kemanusiaan (humaniora), yang kesemuanya belum digali secara memadai.
Terkait dengan persoalan tersebut di atas, dan yang selalu dijadikan diskursus adalah persoalan epistimologinya, yakni bagaimana memadukan kembali kedua jenis pengetahuan-pengetahuan agama dan sains-yang sudah terlanjur dipisahkan itu. Konsep islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge) yang sebagian orang menganggap bagus, ternyata masih mengundang perdebatan di kalangan para ahli dan tak kunjung berakhir. Akhirnya, melalui pemikiran dan perenungan mendalam, yang menyita waktu yang panjang, serta dilanjutkan dengan beberapa kali diskusi dan perdebatan di kalangan warga kampus, maka kami berhasil menemukan perspektif yang lebih sesuai dengan semangat dan jiwa Islam, yakni perspektif ilmu yang terintegrasi dan holistik. Perspektif ini, secara epistemologis, tidak membedakan ataupun memisahkan ilmu agama dan ilmu umum. Tidak ada dikotomi atau dualisme. Yang ada hanyalah kategori-kategori.
Sekedar membandingkan dengan perguruan tinggi umum, untuk mendapat kan kejelasan tentang Universitas Islam Negeri, perbedaannya dalam mengem bangkan keilmuannya terletak pada sumber yang digunakan. Perguruan tinggi umum dalam mengembangkan ilmu serta kebenaran-kebenaran ilmiahnya bersumber pada hasil-hasil riset, observasi, eksperimentasi, dan yang secara epistemologis mengandalkan kekuatan akal atau rasio. Berbeda dengan itu, Universitas Islam Negeri menggali kebenaran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan selain sebagaimana perguruan tinggi pada umumnya yang bersumber pada hasil-hasil observasi, eksperimen dan akal atau rasio, juga terlebih dahulu melihat atau mengkaji ayat-ayat qawliyyah yakni al-Qur'an dan al-Hadis. Universitas Islam Negeri mengembangkan ilmu pengetahuan dengan mengambil dua sumber sekaligus yaitu ayat-ayat qawliyyah yakni al-Qur'an dan al-Hadis serta ayat-ayat kawniyyah yang lazim dikenal dengan pendekatan ilmiah (scientific approachs). Contoh sederhana, suatu kajian tentang penciptaan manusia, seorang biologi di perguruan tinggi Islam sebelum yang bersangkutan melakukan kajian laboratorium, ia akan melihat dulu, bagaimana al-Qur'an dan al-Hadis berbicara tentang penciptaan manusia itu. Ternyata al-Qur'an juga berbicara tentang penciptaan ini. Hanya saja, karena al-Qur'an bersifat universal, tentu saja informasi yang dapat diperoleh bersifat garis besar, yang selanjutnya memerlukan pengembangan yang lebih detil yang hal itu bisa digali melalui laboratorium itu.
C. STRUKTUR KEILMUAN YANG DIKEMBANGKAN
Salah satu hal yang menjadi kegelisahan bagi kalangan perguruan tinggi Islam pada akhir-akhir ini adalah menyangkut cara memandang agama (ad-dn) dan ilmu (al-'ilm) yang bersifat dikotomik, yakni yang menempatkan masing-masing-agama dan ilmu-secara terpisah. Ajaran Islam yang secara ideologis diyakini bersifat universal, ternyata pada tataran implementasi justru diposisikan secara marginal dan dipandang kurang memberikan kontribusi yang signifikan kepada pengembangan peradaban umat manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang gegap gempita, yang dapat kita saksikan saat ini, dipandang bukan merupakan sumbangan perguruan tnggi Islam, melainkan produk karya perguruan tinggi yang tidak membawa-bawa label "Islam". Perguruan tinggi Islam, khususnya di Indonesia, masih sibuk mengurus pengembangan ilmu-ilmu keagamaan an sich, seperti ushuluddin, ilmu syariah, ilmu tarbiyah, ilmu adab dan ilmu dakwah. Jika sebatas bidang ilmu "keagamaan" itu saja yang dikembangkan, maka hal itu akan mengundang perspesi bahwa Islam yang disebut-sebut bersifat universal itu ternyata sesempit itu, dan karenanya idealisme Islam universal itu tidak pernah menjadi kenyataan. Diskusi atau seminar seperti ini, menurut hemat saya, akan menjadi lebih bermanfaat jika berhasil ditemukan format baru mengenai bentuk integrasi kedua jenis pengetahuan (pengetahuan keagamaan-devine knowledge-dan sains-scientific knowledge), di mana yang satu kebenarannya bersifat mutlak, karena bersumber dari Yang Maha Tahu; sedangkan yang lainnya-yakni sains-adalah temuan ilmiah yang kebenarannya bersifat relatif, karena merupakan hasil temuan manusia dari kegiatan riset dan kekuatan akalnya yang setiap saat dapat diverifikasi.
Lewat hasil perenungan yang cukup lama dan mendalam, tatkala dihadapkan oleh problem cara pandang dikotomik, yakni pemisahan agama (khususnya Islam) dan ilmu, sehubungan dengan peran saya sebagai pimpinan STAIN Malang pada waktu itu, akhirnya saya menemukan format yang mungkin tepat dijadikan bahan diskusi kali ini. Selama ini, kajian ilmu ke-Islaman (Islamic studies) keluar dari mainstream pembidangan ilmu yang berlaku pada umumnya. Setahu saya, ilmu dapat dikategorisasikan menjadi tiga, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan humaniora. Ketiga jenis ilmu pengetahuan itu memiliki konsep, obyek kajian, serta metodologi pengembangannya masing-masing. Ilmu-ilmu alam pada garis besarnya terdiri atas ilmu fisika, biologi, kimia dan matematika. Berangkat dari ketiga ilmu murni ini selanjutnya berkembang ilm-ilmu terapan (applied sciences), seperti ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu kelautan, ilmu pertambangan, ilmu pertanian dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini pun berkembang membentuk cabang yang lebih spesifik dan beraneka ragam. Demikian pula ilmu-ilmu sosial, yang pada awal mula mencakup ilmu sosiologi, ilmu psikologi, ilmu antropologi, dan sejarah, kemdian berkembang pesat sehingga melahirkan jenis atau bidang ilmu yang lebih bersifat terapan, seperti ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu administrasi, ilmu politik dan lain-lain. Ilmu humaniora terdiri atas filsafat, bahasa dan sastra, dan seni.
Sementara itu, ilmu agama Islam yang dijadikan bahan kajian di IAIN/STAIN, ditempatkan pada posisi yang berbeda dengan-atau bahkan di luar-tiga jenis ilmu pengetahuan yang telah disebutkan di atas. Akibatnya, kemudian disusun cabag ilmu tersendiri sebagaimana yang kita kembangkan selama ini, yaitu ilmu-ilmu kegamaan, atau ilmu-ilmu yang kita anggap ilmu-ilmu ke-Islaman, seperti ilmu ushuluddin, ilmu syariah, ilmu tarbiyah, ilmu dakwah, dan ilmu adab. Ilmu-ilmu "ke-Islaman" ini kemudian terlembaga di perguruan tinggi agama Islam dalam bentuk berbagai jurusan dan program studi. Akibat selanjutnya adalah terjadinya apa yang disebut cara pandang dikotomik terhadap ilmu pengetahuan, yaitu memisahkan ilmu agama Islam dari ilmu umum atau ilmu modern. Terma "ilmu agama Islam" dan "ilmu umum" atau "ilmu modern" itu sendiri sesungguhnya seringkali melahirkan perdebatan panjang. Sebab, kategori agama dan umum dipandang kurang tepat. Kata "umum" semestinya dibedakan dengan kata "khusus"; namun, anehnya, kata "umum" dikontraskan dengan "agama". Kesan yang muncul adalah bahwa "agama" bukanlah "umum", "ilmu-ilmu agama" menjadi bukanlah "ilmu-ilmu umum", dan akhirnya "agama" bukanlah "ilmu".
Persoalan ini tampaknya sederhana. Namun, menurut hemat saya, cara pandang dikotomik tersebut membawa implikasi yang cukup luas. Islam kemudian menjadi terkesan sempit, dan tidak tergambar sifat universalnya, seperti yang kita yakini selama ini. Bahkan, dalam diri kita, boleh jadi timbul kesan seolah-olah Islam tidak banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban umat manusia ini, termasuk bagi kemajuan-kemajuan hidup kita. Dengan Islam, kita kemudian merasa tertinggal, kuno dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Padahal, seharusnya tidak demikian. Menurut hemat saya, ilmu-ilmu ke-Islaman tidak perlu diletakkan pada mainstream kategori ilmu pada umumnya itu. Yang membedakan ilmu yang dikembangkan oleh perguruan tinggi Islam dengan ilmu yang dikembangkan perguruan tinggi pada umumnya terletak bukan pada jenis ilmu, melainkan pada sumber kajian (sources of knowlede)-nya. Perguruan tinggi Islam, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, menurut hemat saya, bersumber pada ayat-ayat qawliyyah dan ayat-ayat kawniyyah sekaligus. Ayat-ayat qawliyyah yang dimaksud adalah al-Qur'an dan al-Hadis; sedangkan ayat-ayat kawniyyah-nya adalah hasil-hasil observasi, eksperimen dan kekuatan akal atau rasio. Berbeda dengan perguruan tinggi agama Islam, perguruan tinggi pada umumnya mengembangkan ilmu sebatas yang bersumber pada ayat-ayat kawniyyah itu saja. (periksa lampiran).
Dalam perspektif kurikulum, pengembangan keilmuan di Perguruan Tinggi Agama Islam, sebagai upaya untuk memperjelas integrasi 'agama dan ilmu umum' itu, yang istilah ini sesungguhnya saya kurang menyukai, saya gunakan metafora sebuah pohon yang tumbuh subur, kuat, rindang, dan berbuah sehat dan segar. Akar yang kukuh menghujam ke bumi, saya gunakan untuk menggambarkan ilmu alat yang harus dikuasai secara baik oleh setiap mahasiswa, yaitu ilmu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, logika, ilmu alam, dan ilmu sosial. Batang pohon yang kuat itu saya gunakan untuk menggambarkan kajian dari sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur'an, al-Hadis, pemikiran Islam, sirah nabawiyah, dan sejarah Islam. Sedangkan dahan yang jumlahnya cukup banyak saya gunakan untuk menggambarkan sejumlah ilmu pada umumnya dengan berbagai cabangnya, seperti ilmu-ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora. Sebagai sebuah pohon, ia harus tumbuh di atas tanah yang subur. Tanah subur, di mana pohon itu tumbuh, saya gunakan untuk menggambarkan adanya keharusan menumbuh-kembangkan kultur kehidupan kampus yang berwajah Islami, seperti kehidupan yang dipenuhi oleh suasana iman, akhlak yang mulia, dan kegiatan spiritual. Sedangkan pohon itu sendiri menggambarkan bangunan akademik yang akan menghasilkan buah yang sehat dan segar. Buah yang dihasilkan oleh pohon saya gunakan untuk menggambarkan produk pendidikan Islam, yaitu imn, amal shlih dan akhlkul karmah.
Konsep tersebut, menurut hemat saya, cukup ideal. Oleh karena itu, implementasinya tidak akan mencukupi jika hanya mengikuti ukuran yang dikembangkan oleh pemerintah-dalam hal ini Kementarian Agama, atau juga Kemenristek Dikti, dengan menggunakan sistim SKS sebagaimana yang berjalan selama ini. Agar mahasiswa benar-benar mampu menggali pengetahuan yang bersumberkan ajaran Islam yaitu al-Qur'an dan al-Hadis serta sumber-sumber ilmiah, maka perguruan tinggi Islam seharusnya dapat memadukan tradisi perguruan tinggi dengan tradisi pesantren. Sebab, pada kenyataannya, input perguruan tinggi Islam (sebagai contoh UIN Malang) sekalipun mereka berasal dari lulusan Madrasah Aliyah kemampuan untuk melakukan kajian Islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab itu masih sangat terbatas. Apalagi mereka yang berlatar belakang sekolah umum, SMA misalnya. Saya yakin, niat mulia UIN untuk mengintegrasikan agama dan ilmu, jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang strategis dan inovatif, tidak akan membawa hasil yang memuaskan. Yang terjadi kemudian hanyalah seperti yang dialami oleh perguruan tinggi Islam swasta selama ini, antara ilmu agama dan umum masih saja terpisah dan belum terintegrasi. Yang membedakan dengan perguruan tingi pada umumnya hanya sebatas berupa mata kuliah agama Islam ditambah bobot sksnya. Jika demikian, menurut saya, tidak akan memenuhi harapan idealisme mengintergrasikan agama dan ilmu selama ini.
Selain menyangkut restrukturisasi pembidangan ilmu pengetahuan, sebagaimana dikemukaan di atas, mungkin perlu juga dikritisi kembali tentang apa yang disebut dengan ilmu ke-Islaman selama ini. Dalam perspektif konservatif, yang disebut sebagai ilmu ke-Islaman tidak lebih dari fiqh, tawhid, akhlak/tasawwuf, tafsir dan hadis, tarikh dan bahasa Arab. Selain itu ilmu-ilmu itu, dipandang bukan bagian dari ilmu yang terkait dengan Islam. Sebagian orang menyebutnya sebagai ilmu sekuler, atau ilmu yang terpisah dari agama. Mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan kembali, apakah cara pandang seperti ini masih harus dipertahankan?
Lagi-lagi, jika ajaran Islam bersifat universal, penyebutan bidang ilmu ke-Islaman seperti itu tampaknya sudah tidak memadai. Jika kita lakukan kajian secara saksama, al Qur'an dan al-Hadis memuat pesan/informasi/penjelasan yang amat luas dan mengenai berbagai hal. Qs. Al-An'm 38-yang penggalannya menyebutkan: "Tiada suatu apa pun yang Kami pisahkan dari atau lupakan dalam al-Qur'an." Al-Quran yang berfunsgi sebagai al-hud (atau petunjuk, misalnya dalam Qs. Al-Baqarah 1 dan 85, Muhammad 7, al-Jtsiyt 11, al-Luqman 5, Fushshilt 44, al-Mu'min 54 dan lain-lain); sebagai tibyn (tibynan li kulli syai'in, dalam hal apa saja, seperti dalam Qs. An-Nahl 89); sebagai furqn (pembeda yang benar dari yang salah, seperti dalam Qs. li 'Imrn 4); rahmah (seperti dalam Qs. An-Nahl 89), as-syif'(obat penyakit spiritual-atau bahkan obat penyakit fisik, seperti dalam Qs. Al-Isra' 82) ; sebagai al-busyr (kabar gembira, seperti dalam Qs. An-Nahl 89; dan lain-lain. sudah barang tentu tidak cukup memadai jika hanya dicover dari aspek fiqh, tauhid, akhlak/tasawwuf dan sejenisnya. Saya tatkala membaca misalnya ayat Qs. Al-Ghasiyah 17-21: أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ (17) وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَت ْ(18) وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ (19) وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (20) فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ(21), pikiran saya tertuju pada hayalan-hayalan: bukankah kita semua dianjurkan untuk memperhatikan bagaimana persoalan biologi, fisika, kimia, dan lain-lain. Artinya, sesungguhnya al-Qur'an melalui potongan surah itu memberikan inspirasi dan dorongan untuk melakukan kajian pada obyek tidak saja persoalan fiqih, tawhd, akhlak dan tasawwuf serta tarikh itu.
Secara saksama saya mencoba mengkaji dan memahami al-Qur'an, sampai saya faham bahwa ternyata kitab suci itu memuat informasi yang luar biasa luasnya. Al-Qur'an ternyata bicara tentang Tuhan, penciptaan, manusia dengan berbagai sifat dan ciri-cirinya, berbicara tentang alam beserta hukum-hukumnya, berbicara tentang makhluk baik yang dapat dikenali oleh panca indera maupun yang abstrak (ghaib), seperti malaikat, jin, dan setan. Al-Qur'an juga berbicara tentang jagad raya (kosmos, al-'lam)), berbicara tentang bumi atau tanah (al-'ardh), matahari (as-syams), bulan (al-qamar), bintang (an-nujm), air (al-m'), gunung (al-jabal), petir (al-barq), laut (al-bahr), binatang (al-'an'm, al-bah'm) dan tumbuh-tumbuhan (an-nabtt), dan lain-lain. Al- Qur'an juga berbicara tentang keselamatan (an-najt, al-falh), baik di dunia dan di akhirat. Keselamatan dapat diraih oleh siapa saja asal mengikuti jalan Allah (as-shirat al-mustaqm), yaitu beriman, ber-Islam dan ber-ikhsan. Selain harus melakukan amal shalih serta berakhlakul karimah. Semua ini diterangkan dalam al-Qur'an maupun Hadis Nabi.
Berangkat dari pemikiran itu, sesungguhnya tidak akan sulit mengintegrasikan antara apa yang disebut dengan agama dan ilmu (sains) itu. Melalui al-Qur'an dan al-Hadis, akan diperoleh penjelasan dan petunjuk tentang alam dan jagat manusia, yang selanjutnya dapat dijadikan titik tolak (starting point) untuk melakukan eksperimentasi, observasi, dan juga kontemplasi. Demikian pula, hasil-hasil kajian ilmiah bisa digunakan untuk memperluas wawasan dalam rangka memahami kitab suci maupun Hadis Nabi tersebut. Cara berpikir seperti ini, mungkin dapat dijadikan sebagai pintu untuk melihat Islam dalam wilayah yang amat luas dan universal itu. Nasihat paling baik untuk ini bisa mengikuti apa yang dinasihatkan kepada Nabi Yusuf oleh ayahnya, seperti dalam penggalan Qs. Yusuf 67, yaitu: لَا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ (Janganlah kalian masuk hanya melalui satu pintu; Sebalknya, masukilah melalui berbagai pintu!)
Lewat contoh sederhana, sewaktu saya belajar agama di sekolah menengah. Ketika guru saya menerangkan tentang air, rupanya hanya dilihat dari aspek fiqhnya, yakni air sebagai alat atau bahan thaharah. Memang, fungsi air sal.ah satunya adalah untuk bersuci. Akan tetapi, al-Qur'an juga mengatakan bahwa air juga sebagai sumber kehidupan (وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ : Dan Kami buat segala sesuatu menjadi hidup dengan air; apakah kalian tidak percaya?). Informasi bahwa air sebagai sumber kehidupan ini kurang memperoleh penjelasan yang cukup, dan bahkan tidak memberikan inspirasi apa-apa. Padahal, dalam kontek kehidupan, betapa hal itu amat penting termasuk juga untuk memperkokoh keimanan kita. Biji-bijian yang kadangkala sedemikian keras, ternyata dapat pecah ketika terkena air. Sebagian bumi ini begitu subur oleh karena terdapat air yang cukup, dan sebaliknya tanah-tanah menjadi mati dan tandus oleh karena tidak ada air. Petunjuk al-Qur'an ini semestinya memberikan inspirasi bagaimana mengembangkan wilayah yang tandus. Menurut al-Qur'an, mestinya segera saja umat Islam membangun irigasi agar tanah yang mati dan tandus itu menjadi hidup subur yang selanjutnya memakmurkan penghuninya, baik manusia atau hewan. Uraian ini adalah sekedar contoh bagaimana belajar dari kitab suci, yang dapat difungsikan sebagai hudan lin ns dan tibynan li kulli syai'in itu.
D. KETERPADUAN KONSEP PERGURUAN TINGGI DAN MA'HAD
Konsep intergasi ilmu-yang selama ini bersifat dikotomik antara ilmu agama dan ilmu umum-pada tataran implementatif tentunya tidak akan mudah dilaksanakan. Persoalan itu merupakan beban berat yang dihadapi oleh semua warga kampus. Melakukan integrasi keilmuan dengan sendirinya berarti menyangga dua beban sekaligus, yaitu mengembangkan kajian ilmu yang bersumber dari kitab suci (al-Qur'an) dan Hadis Nabi, juga secara lebih luas dan berkualitas mengembangkan kajian ilmu 'modern' (yang bertumpu pada ayat-ayat kawniyyah) secara memadai. Padahal, diakui atau tidak, selama ini pengembangan kajian ayat-ayat qawliyyah yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis saja belum berhasil ditingkatkan kualitasnya. Oleh karena itu, semangat mengintegrasikan kedua jenis ilmu yang terkesan berbeda ini dijadikan sebagai momentum untuk memacu dan sekaligus mengubah diri secara radikal. Kebiasaan lama belajar dan bekerja seadanya diubah menjadi belajar dan bekerja secara maksimal, untuk memperoleh hasil yang maksimal pula. Semua warga kampus menyadari, jika cara berpikir dan bekerja konvensional dipertahankan, hal itu tidak akan mungkin dapat mewujudkan cita-cita besar seperti yang dikehendaki. Alih-alih berhasil mengintegrasikan ilmu, menyelesaikan persoalan lama berupa meningkatkan kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris) saja tidak akan terselesaikan. Kesadaran dan semangat baru tersebut akhirnya harus pula diikuti oleh langkah-langkah serta penyusunan berbagai program baru.
Agar mahasiswa mampu memahami ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadis yang akan diposisikan sebagai sumber kajian seluruh bidang ilmu yang dikembangkan di UIN Malang, kampus ini mengembangkan kemampuan Bahasa Arab dengan pendekatan pembelajaran intensif (intensive course). Mengkaji kitab suci (Al-Qur'an) dan al-Hadis, pada level perguruan tinggi tampaknya tidak akan mungkin terjadi jika para mahasiswa tidak dibekali kemampuan Bahasa Arab. Oleh karena itu, agar mahasiswa benar-benar menguasai Bahasa Arab, UIN Malang menyelenggarakan program pembelajaran Bahasa Arab pada setiap hari (Senin sampai dengan Jum'at) dari jam 14.00 sampai jam 20.00. Program ini wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa-tanpa terkecuali-yang mengambil jurusan apa pun. Lebih daripada sekedar menentukan program dan mewajibkannya bagi mahasiswa, UIN Malang memandang hal tersebut belum memadai, sehingga UIN Malang melengkapinya dengan fasilitas Ma'had, di mana seluruh mahasiswa diwajibkan bertempat tinggal di sana. Dalam rangka persiapan menjadi universitas, juga dalam rangka menyediakan fasilitas belajar Bahasa Arab, serta membangun basis integrasi agama dan sains, kampus ini membangun Ma'had yang bisa menampung seluruh mahasiswa tahun pertama yang berjumlah sekitar 1.500 orang. Saat ini, Uin Malang telah mulai membangun Ma'had tahap kedua yang mampu menampung lebih dari 2.000 orang.
Selain itu, Ma'had-yang diberi nama Ma'had Sunan Ampel Al-Aly UIN Malang-dimaksudkan pula sebagai fasilitas mengembangkan kultur keberagamaan, seperti shalat berjamaah pada setiap waktu shalat fardhu, sholat malam, membaca al-Qur'an bersama-sama, pelatihan kepemimpinan mahasiswa dan lain-lain. Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh UIN Malang untuk melahirkan bibit "ulama intelektual yang profesional" serta "intelektual ulama yang profesional" harus dikembangkan dua ranah sekaligus, yaitu pengembangan ranah intelektual dan profesional serta ranah kultural sekaligus. Ma'had, selain mendukung pengembangan Bahasa Asing, juga dipandang relevan untuk mengembangkan ranah kulturalnya.
E. KONSOLIDASI INTERNAL
Banyak di antara warga kampus yang merasa pesimis mendengar rencana pengusulan perubahan status kelembagaan STAIN Malang menjadi Universitas Islam Negeri. Rasa pesimis ini dari sudut pandang tertentu memiliki argumen, salah satunya status STAIN Malang sendiri masih tergolong baru, yakni berdiri sendiri berpisah dari induknya, IAIN Sunan Ampel yang baru terjadi pada awal tahun 1997. Perubahan status, kalau pun harus terjadi, menurut kebanyakan orang, yang paling wajar dan sesuai dengan kelaziman, adalah berubah menjadi IAIN, bukan universitas. Mereka yang pesimis itu mungkin juga mudah dipahami keberatan-keberatannya; sebab, di samping perubahan itu harus melompat, juga selama ini amat jarang terjadi di Indonesia-lebih-lebih di lingkungan Kementerian Agama-sebuah sekolah tinggi berubah menjadi universitas. Oleh karena kelangkaan seperti ini, mereka memandang cita-cita dan perjuangan menjadi universitas itu sebagai "langkah aneh", "gerakan orang bingung", bahkan dipandang sebagai "ambisi gila!".
Saya, pada waktu itu sebagai ketua STAIN Malang, yang baru saja menjabat beberapa bulan, berpandangan bahwa melakukan perubahan radikal dan menyeluruh merupakan keniscayaan. Saya menganggap bahwa perguruan tinggi Islam ini harus dimajukan. Sebab, secara konseptual, bagi Bangsa Indonesia, menurut pandangan saya, lembaga pendidikan tinggi Islam ini amat ideal. Masyarakat Indonesia yang religius membutuhkan lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan pemahaman dan penghayatan agama secara baik sekaligus mengembangkan ilmu-ilmu modern. Saya menangkap aspirasi dan kehendak masyarakat, khususnya kaum santri, yang menghendaki agar putra-putrinya menguasai ilmu agama dan ilmu umum sekaligus. Hanya saja sayangnya, keadaan lembaga pendidikan tinggi yang secara konseptual ideal tersebut belum ditunjang oleh dana yang mencukupi serta kerangka konseptual ilmu yang tepat. Kelemahan itu, menurut hemat saya, dapat diatasi misalnya dengan mempersyaratkan terlebih dahulu perubahan pada jiwa dan mentalitas, yakni tumbuhnya keberanian untuk mengambil keputusan, kerja keras, kebersamaan, dan pengorbanan.
Perubahan yang mendasar harus dimulai dari upaya membangun tekad bersama untuk menjadikan kampus ini lebih besar dan maju. Bentuk sekolah tinggi (STAIN) saya pandang tidak mencukupi, apalagi program studi yang dikembangkan hanya sebatas pendidikan agama dan ditambah beberapa jurusan tadris. Jurusan terakhir inipun, ketika itu, belum memperoleh ijin dari Kementerian Agama, apalagi dari Departemen Pendidikan Nasional. Agar lembaga pendidikan tinggi ini menjadi besar, maka lembaga ini pun harus diubah menjadi lembaga yang lebih besar, yaitu bentuk universitas. Dengan berbentuk universitas maka peluang membuka beraneka-ragam fakultas atau program studi menjadi lebih mungkin. Jargon besar yakni "ulama yang intelek profesional" tidak akan mungkin diraih maksimal jika hanya mengembangkan jurusan yang ada itu. Apalagi, peminat masuk STAIN Malang tampaknya sudah semakin menyusut. Rupanya masyarakat sudah mulai mengetahui gelagat bahwa lulusan perguruan tinggi ini tidak memiliki harga jual dan bahkan tidak memiliki gengsi yang tinggi.
Untuk meraih keberhasilan rencana perubahan itu, saya sadari betul akan menghadapi berbagai tantangan baik yang datang dari internal maupun dari eksternal kampus. Tantangan dari internal kampus berasal dari orang-orang yang pesimis bahwa program itu adalah terlalu ambisius dan mengada-ada. Mereka yang pesimis itu tidak sepenuhnya salah. Perubahan menjadi universitas semestinya didukung oleh pendanaan, sarana dan prasarana yang cukup serta jumlah dan kualitas tenaga dosen terpenuhi. Sedangkan pada kenyataannya dukungan itu-kalau pun ada-sangat terbatas sekali jumlahnya. Kekayaan yang dimiliki hanyalah berupa niat, tekat dan kepercayaan diri yang kukuh. Menurut pandangan saya, ketika itu hanya ada dua pilihan, yaitu antara saya harus menunggui lembaga pendidikan tinggi Islam yang tidak menarik lagi bagi masyarakat atau saya harus mengubahnya secara radikal dengan berbagai tantangan keras. Sudah barang tentu saya bertekad memilih alternatif yang kedua, mengubahnya segera dan bersifat radikal itu. Saya bertekad, tidak akan mau memimpin lembaga pendidikan tinggi yang tidak menarik dan bahkan tidak banyak dibutuhkan oleh masyarakat, apalagi sudah mulai disindir-sindir banyak orang atas ketidak-adanya kemajuannya. Kegelisahan-kegelisahan saya seperti itu selalu saya ungkap dalam berbagai kesempatan dengan maksud agar apa yang saya rasakan juga dirasakan oleh seluruh warga kampus. Inilah yang saya maksudkan dengan sebagian proses konsolidasi internal.
Sebagai upaya memenuhi persyaratan sebagai perguruan tinggi yang berbentuk universitas, untuk membuka berbagai program studi yang dibutuhkan, sejak awal sekali (yakni tahun 1998) telah dilakukan berbagai persiapan secara bertahap. Persiapan-persiapan dimaksud antara lain adalah pengangkatan dosen baru yang diarahkan untuk memenuhi tuntutan program-program studi baru yang akan dikembangkan, seperti jurusan eksakta dan ilmu sosial. Sebalknya, pengangkatan dosen bidang studi agama dihentikan. Penambahan dosen, tentu saja sangat lambat karena jatah pengangkatan dari Kementerian Agama pada waktu itu amat terbatas. Menghadapi persoalan ini, sudah barang tentu taktik dan strategi meminta tambahan dan juga mencari peluang-peluang lain, misalnya pindahan dari perguruan tinggi lain, terus diupayakan. Semangat menunggu peluang dan pemberian jatah sekedarnya harus dihindari. Sebaliknya, yang dilakukan adalah mencari dengan gigih, ulet, pantang mundur, dan bahkan menempuh kompetisi secara sportif. Dengan semangat dan taktik seperti ini, ternyata membuahkan hasil. Tenaga dosen, laboratorium, koleksi buku perpustakaan secara bertahap dan berangsur-angsur dapat diadakan sekalipun belum mencukupi. Target yang diinginkan berkenaan dengan aneka kebutuhan dan tuntutan itu adalah "sampai pada pemenuhan batas minimal."
Dengan keberhasilan-keberhasilan yang diraih secara bertahap ini, ditambah lagi dengan upaya memerankan seluruh staf yang ada, hal ini telah menggeser semangat pesimis dan tidak percaya diri kepada semangat supportif (mendukung). Bahkan kesan pesimitis itu telah sirna dengan sendirinya. Mereka menjadi bangga dan percaya bahwa rencana besar itu jika dihadapi dengan semangat kebersamaan akhirnya akan berhasil juga. Setelah mereka melihat bahwa kampus ini mengalami kemajuan, yang sesungguhnya sudah lama diinginkan, mereka menjadi bersemangat, bekerja keras, serta semakin mencintai kampusnya. Kebiasaan lama, dosen hadir di kampus hanya ketika ada jadwal mengajar, sudah berubah. Mereka sudah menempatkan kehadiran mereka di kampus sebagai sebuah kebutuhan, tempat mereka mengaktualisasikan diri, tempat mereka bersosialisasi, tempat mereka saling mengisi, tempat mereka bernegosiasi, bahkan tempat mereka menenangkan diri. Mereka merasa in home di kampus, sehingga mereka menyimpulkan, jika tidak ke kampus, takut akan ketinggalan informasi. Maka selanjutnya, lahirlah kebersamaan, kerja keras, tanggung-jawab bersama dan bahkan juga kemauan untuk berkorban demi perubahan kampus ke arah kemajuan.
F. PENYELESAIAN PROSEDUR PERIZINAN
Semua orang saya kira memahami bahwa menyelesaikan perubahan status STAIN menjadi Universitas Islam Negeri Malang tidaklah mudah. Pekerjaan itu memerlukan berbagai persyaratan, ketelatenan, keuletan, kerja keras, ketrampilan meyakinkan orang dan juga pengorbanan. Usaha-usaha itu tidak pernah berhasil dilakukan sekali jadi. Pengajuan surat baik ke Kementerian Agama, apalagi ke Kementerian Pendidikan Nasional, dan juga ke departemen lain yang terkait harus diselesaikan secara telaten, sabar dan tekun serta tidak boleh putus asa sekali pun berkali-kali dituntut memenuhi kekurangan dan penambahan persyaratan yang diperlukan. Mengurus persoalan besar, semacam perubahan status kelembagaan ini, harus menghadapi pejabat birokrasi yang kadang tidak bersahabat. Semua itu harus diterima dan dipahami sekalipun melelahkan, dengan pertimbangan, dan ini penting untuk menghibur diri, bahwa kebutuhan perubahan itu berasal dari pihak kampus masing-masing dan bukan berasal dari birokrat tingkat atas. Oleh karena itu, sikap menunggu apalagi hanya pasrah, tidak akan pernah berhasil.
Proses penyelesaian izin perubahan status STAIN menjadi UIN Malang memerlukan waktu tidak kurang dari enam tahun. Rencana itu dimulai tahun 1998 sampai berhasil keluar Keputusan Presiden No. 50 tanggal 21 Juni 2004. Dalam waktu sepanjang itu, sebagian besar kekuatan dan konsentrasi diarahkan untuk mengurus penyelesaian perizinan itu. Jalan yang ditempuh memang tidak linier, mengikuti tahap-tahap yang wajar, melainkan berliku-liku. Sekalipun semestinya program studi baru dibuka setelah memperoleh izin dari Kementerian Agama dan juga setelah memperoleh rekomendasi dari Kementerian Pendidikan Nasional, aturan itu sedikit atau banyak diabaikan, bahkan dilanggar. Sebelum ada izin resmi pembukaan program studi, STAIN Malang memberanikan diri menerima mahasiswa baru, dengan harapan Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional akan mengeluarkan izinnya. Namun, kenyatannya, tidak semudah itu. Bisa dibayangkan, bagaimana seorang pimpinan perguruan tinggi kemudian terhimpit oleh dua kekuatan sekaligus, yaitu mahasiswa yang menuntut kejelasan statusnya di satu pihak, dan pihak lain Kementarian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional tidak segera mengeluarkan izinnya. Rasa-rasanya, amat sulit mengungkapkan betapa beban pikiran dan perasaan tatkala menghadapi persoalan serumit itu, dan lebih-lebih lagi, hal ini terjadi pada masa reformasi yang semua orang dengan bebas menuntut dan memperjuangkan hak-haknya, bahkan dengan cara-cara yang lebih keras dan lebih demonstratif.
Mengurus perubahan status perguruan tinggi dari STAIN atau IAIN menjadi UIN tidak semudah dilakukan untuk perguruan tinggi swasta. Perubahan dan pengajuan perizinan di lingkungan perguruan tinggi swasta cukup melalui Kopertis bagi perguruan tinggi umum atau Kopertais bagi perguruan tinggi Agama Islam dan perijinan itu cukup dikeluarkan Dirjen Pendidikan Tinggi. Sedangkan perubahan status perguruan tinggi negeri harus melewati proses dan prosedur yang lebih panjang, sebab perizinan untuk perguruan tinggi negeri harus berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres). Untuk menyelesaikan Kepres harus melewati beberapa departemen, yaitu Kementerian Agama, Kkementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), Sekneg dan terakhir, jika disetujui, diterbitkan menjadi Keputusan Presiden. Tahapan-tahapan itu harus ditempuh, dan kadangkala harus menunggu persetujuan dalam waktu yang lama. Itulah sebabnya, benar kata orang, memperjuangkan perubahan status kelembagaan ini tidak mudah dan selalu memerlukan waktu lama. Akan tetapi, jika diyakini bahwa perubahan itu didorong oleh tekad dan niat yang kokoh untuk membangun lembaga pendidikan Islam yang lebih menjanjikan dan akan menjadi pilar perdaban yang lebih mulia, serta diniatkan berharap memperoleh ridha Allah Swt., sekuat apa pun tantangan, akan dihadapi; seberat apapun beban, akan dipikul; seriskan apa pun risikonya, akan ditanggung; serta seruwet apa pun prosedur dan tahapan-tahapannya, akan ditempuh juga. Prinsip hidup dan mentalitas yang selalu dipegang teguh adalah: "Tidak ada hal yang tidak bisa dilakukan; semuanya bisa!" Prinsip ini dibangun berlandaskan keyakinan bahwa Yang Mahakuasa senantiasa menyertai perjuangan kita: "Innallha ma'an!"
G. PENUTUP
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan pandangan bahwa berkhitmah di bidang pendidikan pada hakekatnya adalah mengelola kehidupan anak manusia yang akan hidup pada masa depan. Oleh karena itu harus dilakukankan dengan penuh perhitungan dan kesungguhan. Saya berpandangan bahwa mempertahankan model pendidikan yang sesungguhnya sudah usang dan tidak diperlukan lagi bagi kehidupan mendatang adalah sia-sia dan mungkin juga berdosa. Oleh sebab itu, menjadi sebuah keniscayaan jika pengelolaan pendidikan-meminjam istilah Prof. A. Malik Fadjar, M.Sc.-mantan Menag dan Mendiknas-dalam penyelenggaraan pendidikan harus selalu dilakukan reform, change dan growth secara terus menerus. Dunia ini selalu berubah, maka konsekuensinya perubahan dalam pendidikan juga harus selalu dilakukan, baik menyangkut kelembagaannya, kurikulum, kapabilitas tenaga pengajarnya, leadership dan manajerialnya dan tidak terkecuali instrumen pendukungnya.
Banyak orang mengatakan bahwa tatkala lembaga perguruan tinggi akan melakukan perubahan, selalu saja menyarankan untuk memperbaiki dulu apa saja yang ada. Tetapi, bagi saya, perubahan itu sesungguhnya harus dimaknai sekaligus sebagai pendekatan strategis untuk meningkatkan mutu. Mestinya, prakarsa perubahan seperti itu memunculkan sikap pesimis yang bertolak belakang dengan maksud-maksud perubahan. Sikap pesimis bukanlah sikap kebesaran. Pesimisme merupakan ekspresi ketidak mampuan kita mengelola perubahan. Mereka yang mengambil sikap pesimis biasanya menyembunyikan ketidakmampuannya dengan menyodorkan pernyataan meremehkan, seperti: "mengurus yang kecil saja tidak berhasil, apalagi yang besar!." Pandangan seperti itu dari sudut pandang tertentu mungkin ada benarnya; tetapi, suatu hal yang perlu diingat bahwa tidak selamanya kegagalan menyelesaikan persoalan kecil, mengalami kegagalan pula menyelesaikan persoalan yang lebih besar. Kita harus selalu ingat bahwa di balik kesulitan ada kemudahan (inna ma'al 'usri yusran). Dalam kitab suci pun ada sindiran, bahwa kendatipun jalan mendaki itu mulia, namun sedikit sekali orang yang mau menempuh pendakian.
Idealisme yang besar harus dimaknai sebagai cita-cita yang ditempuh dengan proses pendakian. Cita-cita yang agung dan besar hanya mungkin dilakukan dengan pikiran dan kerja keras, serta perubahan-perubahan besaar. Lembaga pendidikan yang ditangani secara asal-asalan, dan tidak bersedia melakukan perubahan, maka dampaknya tidak saja dialami oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan, berupa dianggap stagnan, mundur dan ketinggalan zaman, melainkan konsekuensi itu akan dialami pula oleh peserta didiknya. Mereka boleh jadi justeru menjadi korban idealisme, kebijakan, serta perilaku kita yang seharusnya kita hindarkan. Mengelola pendidikan sama artinya mempersiapkan kehidupan masa depan, sehingga menuntut kecermatan, ketelatenan, ketekunan, kerja keras dan bersungguh-sungguh, tanggung jawab, serta pengorbanan semaksimal mungkin. Dalam hal ini, Ali bin Abi Tholib pun pernah menyindir: "Didiklah anak-anakmu untuk masa depan mereka, yang bukan masa depanmu!"
Terakhir, untuk memenuhi harapan IAIN Imam Bonjol Padang agar saya sebagai orang yang cukup lama memimpin UIN Maulana Mailk Ibrahim Malang berbagi pengalaman, maka penuturan liku-liku pengalaman dalam merampungkan perubahan status kelembagaan menjadi universitas ini, kiranya akan dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi warga IAIN Imam Bonjol Padang untuk melangkah ke depan, menjadikan kampusnya sebagai perguruan tinggi yang maju, yang pada gilirannya akan membuka peluang yang lebih besar untuk mengabdi kepada dan untuk memajukan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Awal perjuangan yang baik harus dimulai dari niat yang kokoh, yang kemudian ditopang oleh kerjasama dan kerja keras dari seluruh warga kampus. Perubahan-perubahan besar, apa pun bentuknya, dan apa pun risikonya, harus diciptakan. Tidak ada salahnya jika manusia yang kecil meniru karya Tuhan yang maha agung, yang maha indah, dan yang bermanfaat bagi kehidupan. Manusia, kendatipun kecil secara fisik di alam semesta ini; namun, hanya manusia yang mampu melahirkan karya besar untuk menyelamatkan alam semesta. Inilah makna status kekhalifahan Allah yang dipegang manusia di bumi; demikian juga, inilah makna bahwa kita-dalam hal ini para ulama-menyandang status sebagai waratsatul anbiy', yang berperan dalam mewujudkan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil 'alamn!)
*) makalah disampaikan dalam seminar Di IAIN Imam Bonjol Padang.