Pada 13 sampai 20 September, 2010, saya berkesempatan mengunjungi Deakin University, Victoria bersama Dekan Fakultas Humaniora dan Budaya. Kunjungan ini merupakan realisasi undangan pihak Deakin University yang sejak beberapa tahun terakhir menjalin hubungan semakin akrab dengan UIN Malang, khususnya dengan Fakultas Humaniora dan Budaya. Perjalanan kami sangat lancar kendati harus melalui Bandara Antar-Bangsa Kuala Lumpur yang sangat megah. Dari Kuala Lumpur diperlukan waktu penerbangan kurang lebih 7 (tujuh) jam sampai di hotel tempat kami menginap di Melbourne. Jam menujukkan pukul 7. 00 waktu setempat ketika kami tiba di hotel Rendevous di tengah-tengah kota Melbourne, sekitar 30 menit dari bandara internasional Melbourne. Saat itu musim semi sedang tiba, tetapi suhu udara cukup membuat kami menggigil karena rata-rata cuaca sekitar 12- 13’ C.
Setelah keluar dari bandara, kami langsung dijemput oleh petugas dari Universitas Deakin yang khsusus diperintahkan untuk melayani kami selama kunjungan kami. Petugas itu bernama Errol, warga Australia yang orangtuanya imigran dari Turki. Orangnya ramah, bahasa Inggrisnya sangat baik, dan dapat menjelaskan dengan gamblang mulai masalah Australia secara umum, pendidikannya, sistem politiknya, Perdana Menteri perempuan yang baru saja terpilih, hingga Universitas Deakin tempat dia bekerja. Ketika saya Tanya mengapa dia dan keluarganya bermigrasi dari Turki yang amat sangat jauh ke Australia dan tidak memilih saja negera Eropa yang lain yang lebih dekat. Dengan tegas dia menjawab Australia damai, aman, sejahtera, rakyatnya bebas berkreasi apa saja tanpa rasa takut, dan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, kendati bukan warga asli, dia sangat bangga dengan Australia. Setelah yakin kami tinggal di hotel sesuai yang dipesan, petugas itu pamit dan selanjutnya kami akan dilayani petugas yang lain.
Selang beberapa saat setelah check in di hotel, datang petugas yang lain itu, yakni seorang perempuan bernama Anne, yang bekerja di Office of International Affairs dengan tugas khusus menangani tamu-tamu asing. Sebagai public relation, Anne menjalankan tugas dengan baik. Dia menampilkan diri sebagai representasi Universitas yang sangat menguasai medan tugas dengan mendalam. Apa yang saya tanyakan mengenai Universitas dan Australia secara umum dapat dijawab dengan baik. Dia juga menjelaskan bahwa nama Deakin diambil dari nama salah seorang Perdana Menteri Australia. Tetapi dia sempat bingung ketika saya tanya siapa nama Perdana Menteri Australia yang pertama.
Pihak Deakin University tampak sangat siap menerima kunjungan kami. Ini terbukti ketika kami datang semua orang yang berkepentingan dengan agenda kunjungan sudah siap menyambut kami. Kesan kami ketika mulai membahas agenda kunjungan adalah di Universitas itu telah tercipta apa yang disebut dengan quality culture, Indikatornya adalah penghargaan atas waktu, menghargai pendapat orang (apa pun yang disampaikan), komitmen yang tinggi terhadap janji, jujur, pembahasan diskusi sesuai yang direncanakan, tidak berbelit-belit, dan yang tidak terlewatkan adalah sangat mengorangkan orang. Saya pun membayangkan betapa indahnya hidup dalam tatanan masyarakat seperti itu.
Gambaran bahwa masyarakat Barat itu individualis dan tidak suka membantu orang lain sama sekali tidak ada. Semua pihak justru begitu helpful membantu kelancaran kunjungan kami. Suatu kali saya tersesat tidak bisa kembali ke hotel penginapan setelah mengunjungi rumah makan Indonesia. Ketika kami tampak bingung ada orang tua yang bertanya tentang tujuan kami. Saya tanya alamat hotel tempat kami menginap dengan menyebut nama jalan. Orang itu tampak sangat menyesal tidak bisa menunjukkan dengan jelas alamat yang saya maksud. Beberapa kali dia menyebut “I am so sorry and wish I could help you” dengan bahasa tubuh yang menggambarkan kekecewaannya. Orang berikutnya yang saya tanya mengenai tempat tinggal kami dapat menunjukkan dengan jelas. Dengan tulus dia menjelaskan bahwa sebanrnya kami berada dalam jalur yang benar, tetapi masih sangat jauh dengan alamat hotel kami. Yang sangat mengherankan adalah dia memberikan nomor telpon yang bisa dihubungi jika kami masih tersesat.
Di antara orang-orang yang berkepentingan dengan kunjungan kami adalah Bapak Alistair Welsch, seorang dosen bahasa Indonesia yang sangat fasih berbahasa Indonesia di jurusan Asian Studies. Di tengah kesibukannya sebagai dosen dan peneliti, dia melayani mulai kedatangan hingga kepulangan kami, bahkan masih memantau sampai menit-menit terakhir menjelang keberangkan ke Indonesia. Kami juga sempat diajak ke rumahnya, bertemu dengan keluarga, yang ternyata semua bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Istrinya ternyata guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah menengah. Kedua anaknya juga belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing di sekolahnya.
Di tengah-tengah keluarga itu, rasanya kami tidak merasa sedang di Australia. Apalagi ketika kami sedang berbelanja di pasar minggu sekadar cari oleh-oleh, banyak sekali orang Indonesia yang menjadi pelayan dan penjaga took. Oleh Pak Alistair kami diajak makan bersama mulai di restoran Universitas hingga restoran Meksiko di pinggiran kota Geelong, diajak keliling kota dan pantai untuk melihat pemandangan indah pantai selatan Australia, orang berselayar, mancing, bahkan juga melihat ratusan kanguru yang sedang makan rumput di lahan luas. Ketika kami bingung bagaimana kami berterimakasih, Pak Alistair dan Ibu justru tak hentinya-hentinya mengucapkan ‘Terima kasih atas kunjungan bapak semoga ada manfaatnya bagi kedua belah pihak. Semoga lain kali bisa kembali lagi dengan waktu kunjungan yang lebih lama”.
Sebagai negara dengan tingkat ekonomi dan kemakmuran yang sangat tinggi, wajar jika belakangan Austrlia menjadi negara tujuan utama para imigran dari berbagai negara, seperti Indonesia, Turki, Vietnam, Yaman, Cina, Malaysia, Nepal, dan warga negara Timur Tengah. Australia pun menjadi negara multikultural. Pemerintah Australai juga tampaknya ‘welcome’ dengan para imigran , terutama yang terdidik untuk mendukung industrialisasi yang tumbuh pesat. Sebab, pertumbuhan penduduk tidak imbang dengan kemajuan ekonomi. Konon, warga asing yang sedang studi di Australia banyak yang ditawari untuk menjadi permanent residents. Dalam jangka waktu beberapa tahun, mereka bisa menjadi warga negara.
Catatan penting yang saya peroleh dari kunjungan ini adalah nilai-nilai kemanusiaan itu bukan monopoli sebuah bangsa. Bangsa yang mengklaim dirinya sebagai bangsa yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan falsafah hidup yang begitu rinci justru bisa berbuat sebaliknya, seperti kekerasan, bahkan pembunuhan kepada warga lain dengan mudah dilakukan. Nyawa rasanya begitu murah.
Kendati ini bukan kunjungan saya yang pertama, saya masih menyimpan kenangan indah dari kunjungan saya ke Australia beberapa tahun silam dalam program yang berbeda. Sikap-sikap jujur, tepat waktu, menghargai orang dan sebagainya masih bersemai subur di sebuah negeri yang orang menyebutnya negeri sekuler di mana agama merupakan urusan privat. Kawan saya yang seorang kyai yang baru pertama kali berkunjung ke Australia bahkan sempat berkomentar ‘di sini justru tumbuh nilai-nilai Islami ya’. Orang begitu mudah mengucapkan ‘thank you ‘ dan ‘ sorry’ jika ada sesuatu yang dianggap mengganggu. Saya pun merespons ‘orang baik tidak hanya di satu tempat’. Ungkapan yang lebih tepat lagi adalah ‘ nilai-nilai kemanusiaan itu ada di mana-mana’. Begitu barangkali !
_________
Malang, 24 September 2010