Antara Belanda dan Malaysia
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Senin, 11 Oktober 2010 . in Rektor . 3952 views

Belum reda ketegangan hubungan bilateral Indonesia-Malaysia menyangkut wilayah perbatasan kedua negara, kini Indonesia harus berhadapan dengan bentuk ketegangan baru, yakni dengan negara kincir angin, Belanda. Permasalahannya tidak menyangkut batas wilayah, tetapi mengenai ulah kelompok separatis yang kini bermukim di Belanda yang menamakan diri sebagai RMS (Republik Maluku Selatan), sebuah organisasi  yang mendeklarasikan diri  kemerdekaannya dengan memisahkan diri dari NKRI pada 25 April 1950. Melalui pimpinannya, yang mengaku sebagai Presiden RMS John Wattilete, RMS meminta pengadilan Belanda menangkap Presiden SBY saat berkunjung ke Belanda. Pasalnya Presiden SBY dianggap orang yang paling bertanggung jawab terhadap pembasmian anggota RMS.

Atas ulah RMS itu, Presiden SBY sangat tersinggung dan secara tiba-tiba menggagalkan kunjungan resminya hanya beberapa menit sebelum pesawat kepresidenan yang membawanya terbang. Keputusan SBY membuat kerajaan Belanda tersinggung berat. Kabarnya Ratu Belanda Beatrix juga sangat kecewa. Sebab, kunjungan atas undangan kerajaan Belanda itu sudah dirancang lama dan diharapkan akan menjadi kunjungan bersejarah. Dikatakan bersejarah, sebab SBY akan merupakan presiden ke 2 yang berkunjung ke Belanda setelah Pak Harto pada tahun 1970 melakukan kunjungan ke negara yang pernah menjajahnya selama tiga setengah abad itu. Karena pembatalan itu, semua rencana jadi amburadul. Berbagai persiapan yang telah dilakukan pun sia-sia.

Selain diharapkan meningkatkan hubungan bilateral kedua negera, Presiden SBY diharapkan akan menandatangani beberapa nota kesepahaman (MOU) dan menyampaikan ceramah di Universitas Leiden. Yang lebih menarik, kabarnya kerajaan Belanda akan memberikan surat pengakuan resminya  mengenai hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 sekaligus pengakuan pelimpahan kedaulatan RI dari Belanda. Sebab, selama ini Belanda masih mempermasalahkan hari kemerdekaan RI tersebut.

Bagi kita, ulah Belanda itu aneh dan mengada-ada dan mungkin membuat sebagian kita terperangah. Sebab, kendati kedua negara selama ini sudah menjalin hubungan diplomatik dan masing-masing menempatkan perwakilannya, ternyata Belanda belum mengakui hari kemerdekaan Indonesia. Yang aneh lagi adalah apa hak Belanda memberikan pernyataan kedaulatan ke RI. Sebab, Indonesia merdeka bukan karena pemberian Belanda, melainkan lewat perjuangan panjang oleh para pahlawan kemerdekaan.

Menurut saya, sikap Belanda itu tidak lain dari arogansinya yang masih merasa belum puas setelah menjajah Indonesia selama berabad-abad dan meninggalkan luka begitu mendalam bagi masyarakat Indonesia hingga saat ini. Penjajahan Belanda yang begitu lama dianggap menyisakan berbagai persoalan bagi Indonesia, di antaranya adalah kebodohan dan keterbelakangan. Tidak seperti watak penjajah yang lain, misalnya Inggris, yang semua bekas jajahannya diorganisasi dalam wadah organisasi negara-negara persemakmuran (Common wealth) dan diproteksi secara politik, Belanda  menjajah tidak saja menguras kekayaan alam Indonesia, melainkan juga penjajahan secara kultural seperti pembodohan yang mengakibatkan pembodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Mental sebagai warga bekas terjajah pun seperti penakut, pemalas, tidak kreatif dan sejenisnya masih muncul pada sebagian warga negeri ini. Tak mengherankan jika sampai saat ini masih ada sikap anti-Belanda pada sebagian warga masyarakat Indonesia.

Kendati pengadilan Belanda akhirnya menolak permintaan RMS, pemerintah Indonesia menganggap Belanda memberikan ruang gerak kepada kelompok separatis yang mempipikan berdirinya negara merdeka di wilayah Maluku Selatan. Buktinya, kendati sejak era Orde Baru organisasi separatis itu ditekan pemerintah Soeharto, hingga kini RMS  masih hidup di Belanda. Maunya pemerintah Indonesia, Belanda tidak ‘mengakomodasi’ organisasi-organisasi semacam itu yang dapat mengganggu hubungan dan kedaulatan sebuah negara. Sikap pemerintah Indonesia dapat dipahami, sebab bagi bagi Indonesia NKRI,  tentunya termasuk wilayah Maluku Selatan, sudah final dan merupakan harga mati. Apa pun dipertaruhkan bagi keutuhan wilayah negara kesatuan Indonesia.

Tampaknya di sini terjadi perbedaan pemahaman apa yang dimaksud dengan memberikan ruang gerak  oleh Belanda ke RMS. Di negara-negara Barat , seperti Belanda, ada ruang begitu tegas antara otoritas pemerintah dan hak warga berdemokrasi. Pemerintah Belanda menganggap RMS yang anggotanya adalah warga keturunan Maluku dan berkewarganegaraan Belanda punya hak berserikat dan membentuk organisasi untuk menyuarakan pendapat dan cita-citanya. Karena itu, sulit bagi pemerintah Belanda untuk melarang anggota RMS  melakukan aksi. Yang bisa dilakukan oleh pemerintah paling banter hanyalah tidak bersimpati dengan gerakan RMS. Sebab, melarang warga untuk berserikat bisa  dianggap melanggar HAM. Pemerintah Belanda tentu tidak mau dianggap melanggar HAM.

Selain  itu, perlu diketahui bahwa sistem hukum di Belanda sangat tegas. Lembaga yudikatif steril dari pengaruh siapapun, termasuk eksekutif. Karena itu,  penolakan pengadilan Belanda untuk menangkap SBY sebagaimana diminta RMS merupakan keputusan murni pengadilan. Ada persyaratan tertentu bagiamana menangkap seseorang yang dianggap telah melakukan kriminal. Menurut pengadilan Belanda, SBY tidak bisa ditangkap karena selaku kepala negara dan pemimpin pemerintahan, SBY memiliki kekebalan politik, sehingga  penangkapan tidak bisa dilakukan. RMS pun harus menanggung beaya persidangan.

Bahwa SBY merasa sangat tersinggung atas ulah RMS bisa dipahami. Sejak memerintah, SBY sudah dua kali ‘digoda’ oleh kelompok RMS. Pertama waktu upacara peringatan  Hari Keluarga Nasional yang diselenggarakan di Ambon, 29 Juni 2007 ketika sekelompok penari yang belakangan diketahui sebagai aktivis  RMS yang tiba-tiba masuk ke lapangan upacara yang dikenal dengan persitiwa cakalele. Aksi itu tentu saja mempermalukan SBY yang memang hadir di upacara itu. Panitia dianggap kecolongan dan lengah. Yang kedua adalah kali ini, ketika SBY akan melakukan kunjungan  ke Belanda , aktivis RMS berulah-lagi.

Apa target RMS? Organisasi ini sebenarnya sudah lama tidak terdengar karena anggotanya sudah mulai berkurang. Saat ini diperkirakan jumlah populasi anggota RMS di pengasingan hanya 50 000 orang. Umumnya, masyarakat  Belanda sendiri tidak lagi bersimpati karena beberapa aksinya anarkis yang mereka lakukan, seperti penyanderaan, perampasan, pembunuhan dan sebagainya. Tetapi RMS memang organisasi laten. Buktinya sejak mendeklarasikan diri dan diberangus oleh Pak Harto sejak 14 Juli 1950, organisasi separatis ini masih eksis. Dengan pembatalan kunjungan SBY itu, RMS merasa di atas angin dan aksinya diketahui oleh masyarakat internasional. RMS sebenarnya pasti tahu bahwa SBY tidak bisa ditangkap karena memiliki kekebalan politik. Tetapi sebagai organisasi laten, RMS ingin menunjukkan bahwa dia masih ada dan hidup. Cita-cita kemerdekaan Maluku Selatan pun juga tidak pernah padam.  Dengan pembatalan kunjungan SBY tersebut, maka target RMS untuk menunjukkan eksistensinya di mata internasional telah tercapai.

Ketika berkunjung ke Belanda beberapa tahun lalu, saya juga sempat terkejut menemukan tulisan ‘Hidup RMS’ di beberapa tempat publik, seperti di stasiun, pasar, bandara dan jalan-jalan utama. Saya yang selama ini sudah lupa organisasi tersebut tersebut menjadi teringat kembali. Ketika saya bertemu orang Indonesia yang lama bermukim di Belanda, dia berceritera tentang RMS yang memang masih eksis di Belanda dan masih ada kontak secara intensif dengan anggotanya di Indonesia. RMS memiliki alasan historis dan politis tersendiri mengenai cita-cita yang diusung.

Di mata RMS wilayah Maluku Selatan memiliki sejarah yang berbeda dengan wilayah lain yang kemudian menjadi bagian NKRI. RMS yang cikal bakalnya KNIL (tentara Belanda) merasa dijanjikan kemerdekaan oleh Belanda karena membantu Belanda. Karena itu, ketika KNIL ditumpas habis dan anggotanya mengungsi ke Belanda, mereka semua dibeayai Belanda. Kalau begitu bisa dimengerti jika pemerintah Belanda memberikan ruang ke RMS atas alasan historis tersebut.

Kembali ke judul tulisan ini di atas, kalau begitu apa hubungan antara Malaysia dan Belanda? Sekilas tidak ada hubungan sama sekali, tetapi ada benang merah menyangkut kedaulatan NKRI. Jika dengan Malaysia gangguan NKRI akibat masuknya nelayan asing ke wilayah Indonesia dan ditangkapnya petugas laut Indonesia oleh polisi Diraja Malaysia, maka dengan Belanda adalah karena ulah RMS yang meminta pengadilan menangkap SBY pada saat berkunjung ke Belanda. RMS merupakan organisasi yang bercita-cita memerdekakan diri wilayah Maluku Selatan dan lepas dari NKRI. Jika demikian, maka berbagai gerakan separatis seperti GAM, RMS, OPM, dan sejenisnya menggambarkan bahwa bahaya laten untuk menggerogoti NKRI tidak pernah padam. Karena itu, pemerintah tidak boleh lengah sedikitpun. Sebab, NKRI sudah final dan merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Namun demikian, mencari jawaban mengapa ada sebagian dari masyarakat Indonesia ingin memisahkan diri juga tidak kalah penting dibanding dengan meredam manuver organisasi-organisasi separatis yang masih ada. !

 

_____________

Jakarta, 9 Oktober 2010

 

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up