“Awas Ada Malaikat”
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Senin, 4 Oktober 2010 . in Rektor . 9140 views

Tulisan seperti judul itu terpampang dengan jelas di salah satu dinding lantai 5 Gedung Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian  Pendidikan Nasional, Jl. Jend. Sudirman Jakarta.  Siapa pun yang melewati ruang itu pasti akan melihat tulisan itu bersamaan dengan pengumuman dan informasi lain dari Kantor  Kementerian Pendidikan Nasional, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Saya sudah beberapa kali masuk ke kantor tersebut untuk urusan dinas, tetapi baru kali in melihat tulisan itu. Saya tidak tahu kapan dan siapa yang memasangnya.  Tampaknya,  tulisan itu menarik untuk direnungkan sejenak.

Pertanyan kapan dan siapa yang memasang tidak begitu penting bagi saya. Yang penting justru  maknanya. Menurut saya,  yang punya inisiatif membuat dan memasang tulisan itu cukup cerdas. Kata kuncinya adalah ‘malaikat’. Bagi  orang beragama, terminologi ‘malaikat’  tidak asing. Semua agama percaya adanya makhluk ciptaan Tuhan yang disebut malaikat yang memiliki tugas, sifat, dan bentuk tertentu. Dalam agama Islam dikenal ada sekian banyak malaikat dengan tugas masing-masing, tidak pernah ingkar terhadap tugas yang diembannya.

Misalnya, ada malaikat yang khusus bertugas sebagai pencabut nyawa, pembagi rezeki, penyampai wahyu, penjaga pintu surga dan neraka, pencatat amal kebaikan dan keburukan manusia, penyiksa dan sebagainya. Ada juga malaikat yang selalu menangis jika mengetahui manusia berbuat dosa, sebab malaikat membayangkan siksa Allah amat pedih.  Di dalam sebuah kitab diceriterakan ada juga malaikat yang diberi tugas khusus oleh Allah mencatat siapa saja yang suka bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW  untuk selanjutnya melaporkannya  kepada Nabi dan mereka itulah yang kelak memperoleh syafaat di hari kiamat.

Malaikat dikenal sebagai makhluk Allah  yang  paling jujur, tidak menjadi tua dan muda, tidak makan dan minum,  selalu bertasbih, sujud  dan patuh kepada Allah, dan tidak punya nafsu. Karena itu,  Alllah mempercayai seratus persen data dan informasi apa pun yang disampaikan oleh malaikat. Dia adalah aparat Allah yang tidak bisa disuap untuk menutupi tindak kejahatan, tidak seperti aparatur negara kita yang begitu mudah tergoda oleh iming-iming suap. Akibatnya, di era reformasi ini begitu banyak aparatur penegak hukum dan pejabat  pemerintah seperti  bupati, walikota, gubernur, bahkan menteri  terjerat hukum dan akhirnya masuk penjara.  Ingat Jaksa Urip yang sekarang mendekam di penjara, dan Gayus Tambunan yang perkaranya  saat ini sedang digelar?

Pertanyaannya adalah efektifkah tulisan di dinding Ditjen Dikti tersebut?  Saya tidak tahu karena belum melakukan penelitian mengenai  hal itu.  Bagi saya yang menarik bukan efektivitas maksud tulisan tersebut , melainkan ide  di balik penulisannya. Bisa jadi tulisan itu dimaksudkan untuk memberi peringatan terakhir kepada aparat di kantor Kemendiknas untuk disiplin, kerja keras, dan lebih dari itu tidak melanggar hukum, termasuk korupsi, yang merugikan masyarakat luas. Disebut ‘peringatan terakhir’ karena, mungkin berbagai upaya pencegahan tindakan penyelewengan sudah dilakukan oleh pimpinan lembaga negara yang khusus mengurusi pendidikan tersebut dan tidak menimbulkan efek jera sama sekali.

Merenungkan maksud tulisan di atas, saya teringat pada masa-masa akhir era Orde Baru pemerintah pernah menggunakan sistem pengawasan melekat (Waskat) sebagai model pengawasan pelaksanaan pembangunan, khususnya keuangan negara untuk mencegah tindakan korupsi. Caranya masing-masing warga negara terutama aparatur penyelenggara negara saling melakukan pengawasan ke samping (kanan dan kiri) dan ke atas serta ke bawah terhadap koleganya di lingkungan kerja masing-masing, dimulai dengan cara mengingatkan sampai tingkat melaporkan jika diketahui ada aparat yang melakukan penyelewengan keuangan negara. Secara khusus, tugas itu dibebankan kepada Wakil Presiden. Pertanyaannya adalah efektifkah model tersebut ?. Ternyata tidak.  Buktinya praktik korupsi di negeri ini sejak dulu hingga era pemerintahan SBY --- walau janji politiknya akan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya dan akan memimpin sendiri gerakan memberantas korupsi --- angka korupsi masih sangat tinggi, bahkan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Begawan ekonomi Indonesia dan salah satu arsitek pembangunan ekonomi nasional, Prof. Soemitro Djojohadikusumo (alm), pernah mengingatkan bahwa tingkat kebocoran anggaran negara (baca: korupsi) di negeri ini mencapai angka 30 %. Sangat fantastis.  Korupsi sudah sedemikian besar, dan  tidak sekadar tindak kejahatan, melainkan sudah masuk sebagai budaya bangsa ini. Karena sudah menjadi bagian dari budaya, maka betapa sulitnya memberantas korupsi di negeri ini. Begitu peringatan Prof. Soemitro yang pernah memegang berbagai jabatan  menteri  di  era  Orde Baru. Banyak mata terbelalak, ada yang mendukung dan ada pula yang melakukan counter terhadap pernyataan tersebut, terutamna dari pihak pemerintah. Tetapi tampaknya masyarakat lebih percaya pada pernyataan Prof. Soemitro ketimbang pernyataan pemerintah, lebih-lebih dengan dikeluarkannya pengumumuan oleh lembaga independen internasional yang khusus mengamati korupsi di berbagai negara dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Mengapa memberantas korupsi di negeri ini begitu sulit? Berbagai literatur yang pernah saya baca menyebutkan salah satu penyebab yang paling utama adalah sanksi hukum bagi pelaku korupsi dianggap terlalu ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera. Belum ada koruptor yang dihukum mati di negeri ini. Para koruptor mungkin telah menghitung-hitung dengan korupsi Rp. 5 miliar, misalnya, dan dihukum selama 2 tahun penjara jauh lebih beruntung dibanding dengan kerja normal selama 2 tahun yang tidak mungkin memperoleh keuntungan sebanyak Rp. 2 miliar, kecuali jika seluruh hartanya yang dimiliki disita oleh negara dan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan semua uang yang dikorupsi. Andai saja pelaku korupsi harus mengembalikan semua uang yang dikorupsi, semua hartanya disita oleh negara, membayar kerugian akibat tindak korupsinya dan dihukum berat sampai seumur hidup bahkan sampai hukuman mati bagi koruptor dengan jumlah uang tertentu, seperti  Cina, misalnya, saya yakin korupsi bisa ditekan sampai tingkat minimum.  Sekali lagi sanki hukum bagi koruptor di negeri ini terlalu ringan, sehingga Indonesia dianggap sebagai lahan subur praktik korupsi.

Penyebab-penyebab lainnya adalah adanya kesempatan melakukan tindakan korupsi  di berbagai lembaga pemerintah, penghasilan yang tidak memadai, pola hidup pragmatis yang mengejar keuntungan dan kemewahan sesaat, dan rendahnya nilai moral. Koruptor tidak sadar bahwa yang mereka lakukan menyengsarakan rakyat banyak, karena uang yang mestinya bisa dipakai membangun berbagai sarana dan prasarana pendidikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pengentasan kemiskinan yang jumlahnya masih puluhan  juta, penciptaan lapangan kerja, bantuan beaya pendidikan dan sebagainya  jatuh ke tangan-tangan orang tak bertanggung jawab. Selain itu, yang lebih menyakitkan  adalah budaya korupsi  menggambarkan rendahnya martabat dan peradaban bangsa yang bersangkutan. Siapa yang mau menyandang sebagai bangsa yang  bermartabat dan berperadaban rendah?

Menutup tulisan ini, saya berharap bahwa tulisan “Awas Ada Malaikat” di kantor Ditjen Dikti Kemendiknas  bisa efektif menekan angka korupsi di negeri ini. Jika efektif,  saya usul tulisan yang sama hendaknya  dipajang di lembaga-lembaga pemerintah yang lain. Sebab, yang mengawasi bukan lagi aparat pemerintah, melainkan makhluk Allah swt yang paling jujur dan taat menjalankan apapun yang diperintahkan kepadanya. Saya tidak tahu  jika  dengan malaikat saja --- yang jelas-jelas merupakan aparat Allah --- sudah tidak  takut, lalu dengan siapa lagi bangsa ini masih takut?  Mungkin para pembaca bisa membantu  saya  menjelaskannya!

 

__________

Malang, 3 Oktober, 2010

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up