Di tengah-tengah perubahan zaman yang demikian cepat, bahkan jauh lebih cepat dari prediksi para peramal masa depan, peran ilmu-ilmu humaniora yang meliputi : bahasa, seni, sastra, sejarah, kebudayaan, filsafat dan kepustakaan semakin hari semakin penting keberadaannya. Ditinjau dri sejarah peradaban manusia dan menggunakan Revolusi Industri sebagai titik tolak, peradaban manusia sudah sedemikan pesatnya. Berbagai temuan sains dan teknologi menjadikan manusia memperoleh kemudahan sedemikian rupa di berbagai hal kebutuhan hidup. Begitu besar pengaruh sains dan teknologi bagi kehidupan, wajar jika orang menyebut abad ini sebagai abad ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi di sisi yang lain, wajah peradaban manusia juga bergeser, dari sifat-sifat humanized yang santun, saling menghargai dan mencintai menjadi sifat-sifat dehumanized yang kasar, beringas, pemarah, dan perusak, dan bentuk-bentuk perilaku negatif yang lain.
Terjadi sebuah paradoks. Di tengah manusia memperoleh kemudahan fasilitas kehidupan yang seharusnya hidup semakin berkualitas dan bermartabat, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Logikanya manusia berilmu pengetahuan dan berkecukupan dalam kebutuhan hidup mengagungkan sikap-sikap mulia dan terpuji sebagai buah dari ilmu yang dimiliki. Dalam kondisi demikian, posisi dan peran ilmu-ilmu humaniora sangat strategis untuk memandu perilaku manusia menuju masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Sayangnya, masih ada kalangan yang memandang keberadaan ilmu-ilmu humaniora tidak secara komprehensif. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai ilmu ‘mengada-ada”, karena tidak mengkaji realitas secara empirik seperti halnya ilmu-ilmu keras (hard sciences) seperti biologi, kimia, fisika, dan seterusnya, dan ukuran-ukuran kebenarannya sangat subjektif. Anggapan seperti itu perlu diluruskan. Sebab, wilayah kajian ilmu-ilmu humaniora memang bukan objek empirik, melainkan wilayah abstrak yang meliputi perasan, kesan, pandangan hidup, cita-cita dan sebagainya. Sebagaimana diketahui berdasarkan filsafat ilmu ada dua macam realitas, yakni realitas empirik (yang dikaji oleh ilmu-ilmu alam atau eksakta), dan realitas abstrak (yang dikaji oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Khusus untuk bahasa, realitas yang dikaji berupa realitas simbolik, sebab pada hakikatnya bahasa adalah simbol, simbol bunyi. Karena itu, sebagian ada yang menganggap ada tiga macam bentuk realitas, yaitu konkret, abstrak, dan simbolik.
Apakah tiga jenis penggolongan realitas itu menggambarkan pula yang satu lebih tinggi daripada yang lain? Tentu sama sekali tidak. Ilmu-ilmu alam tidak lebih tinggi daripada ilmu-ilmu sosial dan humaniora, begitu sebaliknya. Yang jelas ketiga jenis penggolongan menggambarkan metode pengkajian dan pemerolehan yang berbeda. Tentu saja karena ontologinya berbeda, maka jelas cara mengkajinya juga berbeda. Misalnya, cara mempelajari dan meneliti ilmu fisika tidak sama dengan cara meneliti sejarah dan bahasa serta seni. Perbedaan tersebut tidak lalu berarti yang satu lebih tinggi atau rendah daripada yang lain. Semua ilmu memiliki kedudukan yang sama di hadapan manusia.
Timbul pertanyaan, apakah ilmu-ilmu humaniora tergolong ilmiah? Jika yang dimaksudkan ilmiah adalah empirik atau kasat mata, sebagaimana dianut oleh kaum positivistik, maka ilmu-ilmu humaniora tidak tergolong ilmiah. Tetapi jika ukuran ilmiahnya berpedoman pada filsafat ilmu bahwa yang disebut ilmiah harus memenuhi tiga syarat utama, yakni ada yang dikaji (ontology), ada cara atau metode untuk mengkajinya (epistemology), dan ada manfaatnya atau gunanya (axiology), maka ilmu-ilmu humaniora tergolong ilmiah. Sebab, tiga prasyarat tersebut terpenuhi semua.
Lalu bagaimana masa depan ilmu-ilmu humaniora tersebut di Indonesia, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Ilmu humaniora merupakan ilmu yang bertugas mengkaji aspek-aspek kemanusiaan secara holistik. Disebut holistik karena yang dikaji bukan hanya manusianya saja, melalui pikiran dan ide yang dimiliki, melainkan juga ciptaannya sebagai buah dari kreasi otak dan pikirannya.
Ilmu-ilmu humaniora memandang manusia sebagai makhluk berkehendak bebas (free will) yang bertindak karena memiliki kapasitas dan kemampuan untuk melakukan tindakan itu, bukan karena ada stimulus sebagai penyebab untuk bertindak. Dengan demikian, di hadapan ilmu-ilmu humaniora manusia adalah makhluk paling kreatif yang memiliki derajad dan martabat sangat tinggi. Misalnya, sebagi bagian dari ilmu humaniora, bahasa memandang manusia sebagai makhluk pemilik, pemroduksi dan pengguna bahasa. Sebab, hanya manusia yang memiliki bahasa. Dia pula yang bisa mengembangkan dan menggunakannya sesuai maksud yang dikehendaki. Karena bahasa tersebut, manusia bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban sebagaimana peradaban manusia saat ini.
Konon, sipanse merupakan salah satu jenis binatang yang memiki tingkat kecerdasan tinggi. Bahkan ada yang kecerdasannya mendekati manusia. Tetapi karena tidak bisa berbahasa, maka simpanse tidak mampu mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga peradabannya tidak berkembang sejak ia ada hingga hari ini. Sekadar gurau agar tidak tegang, ada kawan yang iseng mengatakan ‘andai saja simpanse bisa berbahasa, saya yakin ada simpanse yang pandai sekolah dan bahkan bisa menulis artikel di web semacam ini. Untung simpanse tidak bisa berbahasa, sehingga web hanya milik kita’.
Di tengah kemajuan sains dan teknologi yang demikian pesat sebagaimana dipaparkan di muka di mana berbagai fasilitas hidup dan kebutuhnnya terpenuhi, mestinya manusia dapat mengendalikan kehidupan yang lebih humanis dan beradab. Tetapi yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Berbagai praktik kekerasan seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, perusakan fasilitas publik dan sejenisnya menjadi pemandangan sehari-hari, lebih-lebih jika sudah menyangkut persoalan agama. Kekerasan agama sering terjadi. Orang menyebutnya telah terjadi anomali di masyarakat kita. Kita bertanya-tanya mengapa masyarakat kita menjadi pemarah. Apa yang salah dengan negeri ini? Pendidikan, falsafah hidup, pemimpinnya? Atau apanya? Untuk menjawabnya diperlukan kajian secara komprehensif dan mendalm.
Menyadari kondisi demikian, saya berkesimpulan ilmu-ilmu humaniora memiliki peran dan posisi strategis untuk menjadikan hidup lebih humanis dan bermakna. Adalah tugas para ilmuwan humaniora untuk mengkaji ulang ilmu-ilmu humaniora mulai dari wilayah kajiannya dan cara mengkajinya hingga kurikulum yang diperlukan. Rumusan body of knowledge lama mungkin sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman saat ini. Rekonstruksi ilmu-ilmu humaniora sudah sangat mendesak untuk dikerjakan.
Konferensi memang belum sampai merumuskan hal-hal tersebut, tetapi dari berbagai isu yang disampaikan para nara sumber ada benang merah yang bisa ditarik sebagai simpulan bahwa posisi dan peran ilmu-ilmu humaniora diakui sangat strategis. Di lingkungan perguruan tinggi Islam ilmu-ilmu humaniora justru diharapkan bisa bersinergis dengan ilmu-ilmu lain untuk misi kemanusian dan keilahian. Yang diperlukan saat ini ialah realisasi rumusan rekomendasi konferensi sehingga hajad ilmiah selama tiga hari tersebut punya makna.
Sukses untuk Fakultas Humaniora dan Budaya !
________
Malang, 20 Oktober 2010