Dan, Mbah Maridjan pun akhirnya berpulang !
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Selasa, 2 November 2010 . in Rektor . 2612 views

Nama ‘Mbah Maridjan’ tiba-tiba mencuat tatkala gunung Merapi meletus pada tahun 2006. Saat itu dia menolak himbauan pemerintah dan keraton Yogyakarta untuk segera mengungsi karena berdasarkan laporan resmi Pusat Vukanalogi dan Klimatologi yang memantau aktivitas gunung tersebut, Merapi dinyatakan dalam kondisi sangat membahayakan. Tetapi Mbah Maridjan berpikiran lain. Menurutnya, berdasarkan pengalaman spiritual selama ini dengan gejala seperti itu gunung Merapi saat itu tidak akan meletus. Keyakinan Mbah Maridjan semakin kuat karena belum memperoleh wangsit dari langit bahwa akan terjadi letusan. Seolah menentang himbauan  pemerintah dan keraton Yogyakarta agar warga masyarakat yang tinggal dekat gunung untuk segara mengungsi, mbah Maridjan dengan gagah berani justru naik gunung yang sudah dinyatakan status bahaya tersebut.

Prediksi Mbah Maridjan terbukti benar. Merapi tidak meletus. Dia tenang-tenang saja. Karena itu, ada seorang kawan yang sempat berseloroh bahwa Mbah Maridjan lebih hebat ketimbang ahli vulkanologi karena prediksinya  sangat tepat. Dia layak diberi gelar doktor  bidang ‘vulkanologi’. Kendati hanya gurau, pernyataan seorang  kawan  tersebut sesungguhnya menggambarkan betapa sosok Mbah Maridjan sangat fenomenal. Di usia yang umumnya kebanyakan orang sudah sangat udzur, dia masih jernih berpikir dan memiliki pendirian yang kokoh. Karena itu, banyak orang mengunjunginya dan kabarnya bagi para pendaki gunung Merapi rasanya belum afdhol jika belum bertemu Mbah  Maridjan tersebut.

Kekokohan sikapnya tersebut semakin melambungkan namanya. Sejak saat itu banyak tokoh, termasuk tokoh-tokoh politik, mendatanginya. Mbah Maridjan juga kenal akrab dengan tokoh-tokoh nasional saperti mantan Ketua Umum PB NU,  KH. Hasyim Muzadi. Figur sebagai juru kunci gunung Merapi seakan hilang karena seolah Mbah Maridjan telah menjadi selebritis. Lebih-lebih tatkala membintangi iklan obat kuat hemaviton bersama juara dunia tinju Chris John dengan bahasa iklan ‘roso-roso’, yang artinya  kuat.  Mbah Maridjan yang sudah berusia 83 tahun itu memang masih tampak segar dan fisik yang kuat. Karena itu, obat kuat hemaviton tidak salah memilihnya untuk membintangi iklannya. Seingat saya Mbah Maridjan oleh seorang tokoh bahkan sempat ditawari untuk melihat langsung  pertandingan sepak  piala dunia bola di Jerman. Tetapi dia menolak, dengan alasan tidak bisa meninggalkan piaraannya, yang Merapi itu.

Apa yang bisa dipetik dari sikap Mbah Maridjan yang berbeda dengan sikap pemerintah dan keraton Yogyakarta?  Mbah Maridjan bukan membangkang, melainkan tawadu’ dan konsisten pada amanah yang pernah dia peroleh seorang yang diakui sebagai pemimpinnya. Buktinya, dia juga meminta warga untuk mengungsi sebagaimana himbauan pemerintah dan keraton. Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci gunung Merapi oleh almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Di mata Mbah Maridjan, Sri Sultan ke IX tersebut adalah segalanya. Dia adalah pemimpin sejati yang sampai kapan pun dia taati. Karena itu, apapun yang dikatakan Sri Sultan selalu ditaati  tanpa reserve, kendati berisiko tinggi. Konon, sampai saat ini Mbah Maridjan masih merasa bisa komunikasi secara rutin dengan mantan raja Yogyakarta tersebut, yang tentu sulit diterima nalar sehat. Salah satu petuah Sri Sultan HB IX adalah  tidak boleh meninggalkan  gunung  tersebut apapun  kondisinya.  Baginya Merapi adalah rumah yang harus dirawat dan dijaga.  Petuah itu dia jalankan, kendati harus berhadapan dengan maut.

Apa sebenarnya makna gunung Merapi bagi Mbah Maridjan? Wilayah gunung Merapi merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah Keraton Yogyakarta. Mbah Maridjan sendiri merupakan salah seorang abdi dalem keraton. Sebagaimana diketahui abdi dalem memiliki  kesetiaan dan ketaatan dengan raja secara total. Penunjukannya sebagai juru kunci Gunung Merapi bukan sembarang penunjukan. Orang yang ditunjuknya juga bukan sembarang orang. Keraton memiliki ukuran-ukuran tertentu untuk mengangkat seorang juru kunci. Sebab, juru kunci merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah spiritual keraton. Karena itu, wajar jika banyak yang antri untuk ditunjuk sebagai juru kunci. Sebagai juru kunci, dia lah penentu dan sekaligus penguasa wilayah fisik dan spiritual  gunung Merapi. Dia pula yang memberikan kata akhir seseorang boleh atau tidak boleh dan kapan mendakinya. Memberikan kata akhir semacam itu tentu kebahagiaan dan kebanggaaan tersendiri bagi seorang juru kunci. Selain itu, dengan menjadi juru kunci seseorang otomatis menjadi tokoh di wilayah kekuasaannya.

Bagi masyarakat sekitar wilayah gunung Merapi, Mbah Maridjan bukan sekadar orangtua  berusia 83 tahun, suka berpakain batik, selalu mengenakan songkok hitam dan bintang iklan obat kuat, dan yang membuka akses ke gunung Merapi, melainkan pula  wong tuwo (baca; orang tua) yang setiap petuahnya ditaati oleh masyarakat. Mbah Maridjan menjadi tempat bertanya dan mengadu bagi masyarakat tentang berbagai persoalan kehidupan, mulai persoalan keluarga, jodoh, pekerjaan, kesehatan hinggga ketenteraman hidup. Dalam masyarakat yang masih memegang nilai-nilai tradisional dan feodal seperti sekitar wilayah gunung Merapi, peran dan keberadaan tokoh seperti  Mbah Maridjan sangat penting. Masyarakat  lebih patuh pada petuah sang tokoh ketimbang petuah pemimpin formal dari pemerintah.  Maka dari itu wajar ketika masyarakat sekitar gunung Merapi tidak mau mengikuti anjuran pemerintah untuk meninggalkan rumahnya  sebelum Mbah Maridjan juga mengungsi. Kepergian Mbah Maridjan tentu kehilangan yang luar biasa bagi masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

Jika ditelusur, sosok manusia dengan kepribadian seperti Mbah Maridjan tidak banyak  di negeri ini.  Sebaliknya, yang kita saksikan adalah sikap pragmatis. Lihat saja para politisi kita yang begitu  gampangnya pindah dari satu partai politik  ke partai yang lain, hanya karena  partai yang lama tidak lagi menguntungkan baginya.  Seorang politisi sejati tentu tidak akan berbuat seperti itu. Ideologi yang sudah menancap dalam di hatinya tidak begitu saja mudah dialihkan ke yang lain hanya untuk kepentingan memperoleh kekuasaan dan jabatan.

Kesetiaan Mbah Maridjan untuk mengabdi kepada orang yang memberi amanah (HB IX) mestinya bisa menjadi tauladan bagi para pemimpin negeri ini. Mereka seharusnya mengabdi secara total pada kepentingan rakyat yang telah memberinya amanah dan memilihnya untuk menjadi pemimpin. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Mereka lebih memilih mengabdi untuk kepentingan diri mereka sendiri dan kelompoknya. Misalnya, adakah petinggi yang mengurusi masalah hukum dan keadilan di negeri ini sudah berpihak pada kepentingan masyarakat yang lebih luas? Jika ya, mengapa kasus seperti yang dialami Mbah Minah yang diduga mencuri (?) tiga buah cokelat terpaksa harus berurusan dengan lembaga pengadilan.

Kasus serupa Mbah Minah juga dialami oleh perempuan tua di Situbondo yang diduga mencuri buah asem sebanyak tiga kilo (1 kilogram hanya berharga Rp. 1. 500) ditahan di Kejaksaan selama 29 hari sambil menunggu keputusan pengadilan. Polisi yang menerima laporan pencurian tetap menahannya bukan berdasarkan ukuran jumlah banyaknya barang yang dicuri, melainkan berdasarkan tindakan melawan hukum, yakni pencurian. Siapa pun yang mendengar kasus itu mesti terasa pilu.

Sebuah tragedi yang memilukan di dunia hukum kita. Sepertinya, hukum hanya bisa diberlakukan bagi masyarakat kecil tak berdaya. Orang-orang yang jelas-jelas merusak tatanan hukum seperti para mafia (misalnya, Anggodo dan sejenisnya) begitu kuat hingga tidak bisa ditembus oleh piranti yuridis. Bagi bangsa yang merindukan keadilan tentu peristiwa-peristiwa hukum di negeri ini sungguh menyesakkan dada.

Begitu juga di bidang pendidikan. Apakah  kebijakan pendidikan oleh para petinggi  negeri ini juga sudah berpihak kepada masyarakat yang kurang mampu untuk memperoleh pendidikan yang layak? Dirasa beaya pendidikan semakin hari semakin melambung, khususnya di program studi tertentu. Dengan beaya yang tinggi tentu masyarakat kelas bawah tidak akan mampu mengenyam pendidikan bermutu. Padahal, pendidikan merupakan kebutuhan dasar  masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Negara mempunyai tugas menyediakan pendidikan yang baik dan mebuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan.

Layanan kesehatan juga tak lepas dari sorotan publik. Ingat kasus Pitasari yang harus juga berurusan dengan lembaga pengadilan karena menuangkan rasa jengkelnya atas pelayanan rumah sakit yang berlebel Rumah Sakit Internasional melalui face book. Pihak rumah sakit seperti  kebakaran jenggot karena ulah Pitasari itu dapat dianggap memberikan citra buruk bagi rumah sakit tersebut. Pengadilan memvonis Pitasari bersalah, dan karena itu dia harus membayar sejumlah uang. Masyarakat tidak tidur. Simpati kepada Pitasari meluas dari I berbagai kalangan melalui urunan uang recehan untuk diberikan ke rumah sakit. Simpati berupa urunan uang recehan sejatinya merupakan bentuk perlawanan simbolik  dari masyarakat  kelas bawah ke lembaga publik yang bertindak semena-mena. Begitulah senjata kaum lemah (weapon of the weak) yang kadang-kadang bisa sangat dahsyat melakukan perlawanan. Buktinya, pihak rumah sakit yang memperkarakan Pitasari keder dan akhirnya mencabut gugatannya.

Negeri ini memerlukan pemimpin yang berkepribadian kuat, dan sanggup mengabdi kepada kepentingan masyarakat luas. Tidak mudah  pindah partai hanya karena tidak lagi menguntungkan secara material. Dalam alam demokrasi seperti yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini kehidupan multi partai tidak bisa dihindari. Tidak ada niatan untuk mengembalikan iklim politik berasas mono partai, sebab itu kemunduran. Tetapi yang diperlukan saat ini adalah pemimpin yang tidak lagi mementingkan partai politik yang dinaungi, tetapi lebih pada kepentingan masyarakat luas. Saya merindukan kata bijak dari pemimpin Inggris yang sering dikutip untuk memberikan pembekalan bagi para politisi yang memulai tugas resminya di lembaga-lembaga negara, yakni “ My loyalty to my party ends, when my loyalty to my country begins”.

Mungkin Mbah Maridjan di dalam batinya juga punya kata-kata bijak seperti pemimpin Inggris itu, “My loyalty to myself  ends, when my loyalty to my leader begins”. Mbah Maridjan telah pergi untuk selamanya, dan telah mengorbankan kepentingan dirinya. Dia bertahan di rumahnya karena  perintah  dan amanah yang diperolehnya. Tetapi nilai-nilai  kepribadiannya yang sederhana, teguh dan kokoh berpendirian bisa kita teladani untuk menjadi bekal hidup baik secara individual maupun anggota masyarakat luas. Kita tidak bisa lagi mendengar dan melihat di tayangan TV iklan obat kuat hemaviton “Roso-Roso”. Sebab, lelaki tua yang ‘roso’ (baca: kuat) itu kini telah menyatu dengan tanah. Dia pergi untuk selamanya dalam keadaan  bersujud kepada-Nya,  mungkin sambil berdoa agar  si wedhus gembel tidak ngamuk.  Tetapi sang Kuasa berkehendak lain. Merapi meletus dan sang wedhus gembel melalap banyak korban, termasuk  Mbah Maridjan yang selama ini telah merawat dan menjaganya dengan setia. Selamat jalan Mbah Maridjan. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun !

_________

Malang, 1 November 2010

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up