Andai saja tidak ada bencana banjir bandang yang memakan banyak korban dan merusak sarana umum, tidak banyak masyarakat di Indonesia, terutama di luar Provinsi Papua, yang mengenal nama Wasior sebagai salah satu nama kecamatan di Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Akibat kerusakan hebat, Wasior bagaikan daerah mati karena semua sarana dan prasarana umum tidak berfungsi. Karena itu, banyak yang mengusulkan ibu kota kecamatan itu direlokasi ke tempat lain.
Menurut versi pemerintah Provinsi Papua Barat, sebagaimana disampaikan Gubenurnya dalam wawancara dengan salah satu stasiun TV swasta, banjir terjadi secara tiba-tiba akibat hujan yang sangat deras. Bahkan dua hari sebelumnya masyarakat sudah melihat ada awan hitam menggelantung di atas bumi Wasior. Awan itulah yang diduga sebagai penyebab utama banjir bandang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di masyarakat mana pun, lanjut Gubernur Papua, yang turun hujan sederas itu pasti akan terjadi banjir. “Jadi tidak perlu mencari kambing hitam siapa yang salah dalam musibah Wasior”, jelasnya. Saat ini yang sangat penting adalah bagaimana memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh para korban, berupa obat-obatan, makanan, tempat teduh yang memadai dan membangun kembali sarana dan prasarana publik.
Berbeda dengan penjelasan resmi Gubernur, aktivis WALHI menuding banjir disebabkan oleh ulah manusia karena penebangan hutan besar-besaran selama ini sehingga praktis menjadikan hutan sekitar wilayah Wasior gundul. Diduga banyak mafia di balik penebangan kayu secara besar-besaran itu. Entah mana yang benar, yang jelas bencana Wasior telah memakan ratusan korban mati sia-sia. Harta benda yang mereka miliki juga hanyut terbawa banjir. Tulisan ini tidak akan membahas siapa dan apa penyebab banjir bandang itu, tetapi akan mengurai musibah Wasior dari aspek sosial.
Musibah atau bencana, apa pun bentuknya, sering membuat orang, terutama korban sangat sensitif dan bertindak emosional. Ini mudah dimengerti karena mereka kehilangan sanak saudara, harta dan aset yang selama ini mereka kumpulkan sehingga seolah merasa paling menderita. Sensitivitas masyarakat Wasior tampak dari pernyataan ketua adatnya dan beberapa anggota masyarakat biasa yang mengaku sangat kecewa dengan kegagalan kunjungan Presiden SBY.
gSebagaimana diberitakan, Presiden SBY sedianya akan mengunjungi Wasior dan melihat secara langsung kerusakan dan korban akibat banjir tersebut. Tetapi entah mengapa rencana kunjungan itu akhirnya digagalkan dan sebagai gantinya SBY mengirim para menteri yang terkait langsung dengan penanganan musibah, seperti Menkokesra dan Mensos. Kepada para pejabat itu, SBY meminta penanganan secara cepat dan memberikan bantuan apa saja yang diperlukan oleh para korban dan masyarakat Wasior pada umumnya.
Karena kegagalan kunjungan SBY, masyarakat Wasior tampaknya kecewa. Lbih kecewa lagi karena ada pejabat negara yang mengatakan musibah Wasior tidak begitu besar, seperti tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Karena itu, Presiden SBY tidak perlu datang ke Papua. Pada peristiwa tsunami Aceh, Presiden SBY yang pada saat itu berada di Papua terbang langsung dari Papua ke Aceh untuk melihat secara langsung apa yang sesungguhnya terjadi.
Begitu juga pada saat terjadi gempa di Yogyakarta, Presiden SBY malah berkantor di Istana Yogyakarta untuk memimpin penanggulangan musibah dan menunjukkan empati yang mendalam kepada korban. Para elit negeri ini seperti berbondong-bondong mengunjungi tempat bencana. Peristiwa jebolnya waduk Situ Gintung juga mengundang perhatian pejabat negara secara cepat dan serius.
Membandingkan perhatian elit negeri ini pada bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, dan jebolnya Waduk Situ Gintung yang begitu tanggap dengan apa yang terjadi di Wasior membuat masyarakat Wasior seperti merasa sebagai anak tiri. Mereka berpikir mengapa di hampir semua tempat yang terjadi bencana alam Presiden SBY selalu mengunjunginya, tetapi di Wasior tidak mau datang?. Begitu kira-kira pertanyaan yang ada di benak masyarakat Wasior. Selain dianggap tidak begitu atentif, pemerintah juga dituding terlalu lamban menangani bencana Wasior.
Bisa jadi masyarakat Papua membandingkan rasa empati dan kesigapan Presiden Cile Pirera dalam upayanya menyelamatkan 33 orang penambang yang terjebak longsor. Pirera tidak melihat berapa jumlah korban, melainkan menyelamatkan nyawa warganya, walaupun jumlahnya hanya satu orang. Untuk menunjukkan keseriusannya, Pirera terjun langsung memimpin upaya penyelamatan dan akhirnya berhasil. Karena keberhasilannya itu, simpati ke Pirera tidak saja datang dari para korban dan keluarganya serta masyarakat Cile secara umum, tetapi juga masyarakat internasional. Pirera yang baru memerintah Cile selama tujuh bulan telah menepati janjinya untuk memberikan pelayanan publik secara maksimal kepada masyarakat Cile. Tak pelak Pirera menjadi pemimpin yang sangat dicintai rakyatnya.
Kekecewaan masyarakat Wasior bisa dimengerti dan harus dipahami secara makro dalam perspektif sosial politik masyarakat Papua secara keseluruhan. Sudah bukan rahasia bahwa masyarakat Papua selama ini merasa termarginalkan dalam pembangunan nasional sehingga dibanding dengan masyarakat Indonesia lainnya, terutama Jawa, mereka tertinggal sangat jauh di berbagai bidang. Akibat ketertinggalan tersebut, masyarakat Papua sangat sensitif dan mudah sekali diajak melakukan gerakan perlawanan ke pemerintah pusat di Jakarta.
Sebagai bagian integral dari NKRI, masyarakat Papua menginginkan perlakuan yang sama dan adil dengan masyarakat lainnya di Indonesia sehingga pembangunan berkembang sebagaimana diharapkan agar mereka bisa hidup bermartabat. Tetapi selama ini mereka merasa tidak memperoleh perhatian selayaknya dari pemerintah. Malah mereka merasa sumber-sumber alamnya dieksploitasi secara besar-besaran oleh para pengusaha yang dilindungi oleh elit penguasa.
Umumnya masyarakat Papua merasa kurang memperoleh effect langsung yang seharusnya dari pengolahan sumber-sumber kekayaan alam yang ada. Akibatnya, mereka tetap miskin dan terbelakang. Janji-janji politik dan kebijakan pembangunan dari satu penguasa ke penguasa yang lain tidak terbukti. Lihat saja apa yang terjadi di perusahaan pengolahan emas di Free Port. Berbagai aksi memprotes perusahaan itu sering terjadi. Lengkap sudah kekecewaan masyarakat Papua terhadap pemerintah selama ini. Belajar dari Presiden Pirera, semestinya SBY datang untuk meninjau langsung kerusakan Wasior, dan tidak menganggap bencana Wasior sebagai bencana kecil.
Masyarakat Papua yang secara fisik jauh dari ibu kota negara tentu ingin melihat dari dekat pemimpinnya. Kunjungan ke Papua malah bisa dimanfaatkan untuk mendengar dan berdialog langsung dengan masyarakat tentang isu-isu pembangunan yang mereka harapkan, sehingga mereka merasa diperhatikan dan diperlakukan sama dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Bencana Wasior telah membuka mata masyarakat luas bahwa pemerintah harus betul-betul memberi perhatian penuh ke masyarakat Papua dan bertindak arif dalam menanggapi dan menyelesaikan setiap masalah apa pun yang terjadi di Papua. Tindakan represif seperti yang dijalankan rejim Orde Baru terbukti tidak efektif. Justru gerakan separatisme seperti OPM tumbuh. Karena kondisinya demikian khusus, maka Papua dengan berbagai isu dan persoalannya mesti diselesaikan dengan cara yang berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Dilihat dari konteks sosial, geografis dan politis, bencana Wasior memiliki kekhususan dan karenanya harus diselesaikan secara khusus pula. Dibanding dengan jumlah korban tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta, korban Wasior memang lebih sedikit. Tetapi karena terjadi di wilayah yang masyarakatnya sensitif, kehadiran Presiden sangat penting untuk menunjukkan bukti rasa empatinya. Wal hasil di balik bencana Wasior tampaknya ada hikmah bagi kita semua. !
_________
Jakarta, 16 Oktober 2010