Di kalangan akademisi Islam kini telah muncul “kesadaran baru” bagi tumbuh dan berkembangnya pemikiran terbuka (inklusif) dalam pemahaman keagamaan. Munculnya pemikiran Islam transformatif, inklusif, liberal, kontekstual, dan apa pun istilahnya merupakan era baru bagi desakralisasi pemikiran Islam (alla taqdisiyyah). Apalagi kemudian pemikiran-pemikiran kontemporer liberal-inklusif seperti Hassan Hanafi, Arkoun, al-Jabiri, al-Naim dan seterusnya telah disosialisasikan oleh generasi intelektual muda di Indonesia. Ini memang merupakan keniscayaan (natural). Munculnya mata kuliah yang relatif baru, yaitu Metodologi Studi Islam (Islam Wissenschaft) di Perguruan Tinggi Islam juga pertanda adanya “kesadaran baru” dimaksud.
Problem Metodologis
Ditengarai, bahwa kajian Islam yang ada selama ini belum mampu berkembang seperti halnya kajian-kajian ilmu sosial. Kenapa ini terjadi? Setidaknya ada tiga faktor yang menjadikan model kajian Islam berwatak statis dan tertinggal: pertama, subject matter kajian Islam masih berorientasi ke masa lalu dan bersifat normatif serta tekstual; kedua, masih mengentalnya sistem pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan “menganggap selalu benar” terhadap warisan masa lalu[1]; ketiga masih ada pandangan dikotomis terhadap ilmu secara substansial (ilmu agama dan ilmu umum).
Kini, di kalangan NGO’s Islam telah terbuka terhadap masuknya dua corak pemikiran kritis sekaligus, yaitu tradisi pemikiran kritis ilmu-ilmu sosial (seperti Gramsci, Freire) dan tradisi kritis pemikiran Islam (seperti Hassan Hanafi, Arkoun, al-Jabiri dan seterusnya). Perjumpaan ilmu-ilmu sosial kritis dengan wawasan keislaman sejak tahun ‘90-an memang merupakan fenomena yang menarik di kalangan NGO’s Islam. Hal ini bersamaan dengan tumbuhnya keasadaran tentang pentingnya “civil Islam” dalam pembentukan demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, hubungan antara ilmu-ilmu sosial yang “memihak” (value bond) dengan teologi Islam yang juga “memihak” terhadap proses “pemerdekaan” dalam rangka otonomi sosial, menjadi wacana yang marak diperbincangkan.[2]
Secara umum Johan Hedrik Meuleman[3] melihat adanya beberapa kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim, yaitu pertama, adanya logosentrisme (tektualis). Akibat logosentrisme tersebut kemudian mengabaikan unsur tak tertulis dari agama dan kebudayaan Islam, seperti tindakan sosial, seni dan seterusnya.; kedua sikap apologetik terhadap aliran (teologi, tasawuf, fiqh dan seterusnya.); ketiga adanya kecenderungan yang verbalistik dan memberikan wibawa terlalu besar pada tradisi, yang berimplikasi pada sikap ekskulisivisme.
Dalam konteks orientasi studi, ST. Sunardi[4] menyarankan, agar kajian Islam diarahkan pada penegakan keadilan. Semangat pos-kolonialisme bisa menjadi inspirasi bagi kajian Islam, karena pos-kolonialisme mempersoalkan langsung produksi pengetahuan (wacana ilmiah) pada level global. Menurut Sunardi, jika tidak mampu menyentuh persoalan ini, maka kajian Islam tidak lebih daripada kelanjutan dari neo-orientalisme. Perlu dipertimbangkan pula pentingnya kajian Islam untuk menjadi bagian ---baik secara langsung maupun tidak— dari gerakan sosial-keagamaan yang plural. Oleh sebab itu, kajian Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks sosialnya. Dengan orientasi tersebut, maka kajian Islam bisa berfungsi ganda, yaitu melakukan otokritik atas kajian Islam (modern) yang ada, dan kritik atas demokrasi. Dalam konteks ini menurut kajian Islam dapat dilihat sebagai ilmu sosial kemanusiaan dengan fungsinya yang terus-menerus dapat dibumikan. Senada dengan ini, Hassan Hanafi juga menegaskan perlunya kajian keislaman yang berwawasan antropologis. Maka menurut Hassan Hanafi, teologi tidak saja sekadar membicarakan tentang Tuhan, namun juga manusia.
Perkembangan studi Islam di Indonesia nampaknya menjanjikan masa depan yang menggembirakan, sebab jika dilihat dari watak dasarnya, Islam adalah agama yang terbuka. Oleh sebab itu perkembangan semacam ini secara akademik akan menjanjikan. Karena itulah rekonstruksi Islam di Indonesia sebagai objek kajian, akan lebih banyak didominasi oleh ilmuwan Islam sendiri, yang kebanyakan mereka telah melakukan dekonstruksi orientalism ---yang menekankan watak konservatif, statis dengan disiplin filologi yang ketat-- menjadi lebih empiris, reflektif dan humanis.
PARADIGMA PENELITIAN SOSIAL
Secara garis besar paradigma penelitian social terbagi dalam tiga teori besar (grand theory):
- Paradigma Fakta Sosial
- Paradigma Definisi Sosial
- Paradigma Perilaku Sosial
- Paradigma Integratif (Multiple Paradigm)
Ad. I. Paradigma Fakta Sosial dimotori oleh Emil Durkheim. Paradigma Fakta Sosial memfokuskan kajiannya pada struktur social, pranata social dan sifat dasar hubungan interaksional dalam struktur dan institusi sosial.
Asumsi dasar dari paradigm ini adalah; 1). Bahwa terdapat keajekan (instable) dalam dunia kehidupan manusia; 2). Kehidupan manusia selalu berubah; 3). Setiap fakta selalu saling terkait dan memiliki hubungan sebab-akibat (causality). Ketiga asumsi inilah yang kemudian mendasari penggunaan metode kuantitatif.
Paradigma Fakta Sosial memiliki dua teori yang sangat dominan, yaitu:
1). Teori Struktural Fungsional
2). Teori Konflik.
- Teori Struktural Fungsional
Teori ini dimotori oleh Robert King Merton, Talcott Parson dan Neil Smelser. Secara umum teori struktural fungsional memliki tujuh asumsi untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat:
- Masyarakat harus dianalsis sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari berbagai elemen yang saling berinteraksi;
- Hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau timbal balik;
- Sistem social yang ada bersifat dinamis;
- Dalam suatu relasi antarmanusia dalam suatu masyarakat akan terjadi kegangan-ketegangan dan penyimpangan. Namun ketegangan dan penyimpangan tersebut dapat dinetralisir melalui proses pelembagaan;
- Perubahan dalam suatu masyarakat terjadi secara gradual sebagai suatu proses adaptasi dan penyesuaian;
- Perubahan adalah hasil penyesuaian dari luar yang tumbuh karena adanya diferensiasi dan inovasi;
- Sistem diintegrasikan melalui pemilikan nilai-nilai yang sama.
2. Teori Konflik
Teori ini diperkenalkan oleh Karl Marx dan menjadi mainstream analisis social yang sangat relevan dengan perkembangan suatu masyaraka, terutama di Negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini dikembangkan oleh para pengikut kemudian, seperti Ralf Dahrendorft, C. wright Mills, Randall Collin, Lewis Coser dan sebagainya.
Topik-Topik Penelitian:
- Kerukunan Umat Beragama: Tinjauan Aspek Pendidikan
- Kurikulum (buku ajar)
- PBM (penyampaian ajaran oleh Guru kepada Siswa)
- Pluralitas Siswa (multicultural)
- Dakwah (problem di Lapangan)
- Kebebasan beragama dan Berpendapat (Aspek UU, PP dst)
- Dialog Antarumat Beragama (Elitis-Populis)
- Debat di Seputar pluralisme Agama (Fundamentalisme vs Moderat)
[1]Namun, ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan semua warisan masa lalu. Warisan masa lalu sangat berharga nilainya karena ia merupakan mata rantai sejarah yang tidak boleh diabaikan. Prinsipnya: kita tetap memelihara tradisi warisan masa lalu yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik (al-muhafadhat ala ‘l-Qadim as-Shalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-Jadid al-Ashlah).
[2]Muslim Abdurrahman, Kajian Islam dalam Perubahan Sosial, makalah disampaikan dalam forum diskusi rutin dosen-dosen STAIN Malang, 2003: 6.
[3]Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi, Perta, 2002: 16-17