LANDASAN TEORI
Dr. HM. Zainuddin, MA Jumat, 8 November 2013 . in Wakil Rektor I . 12429 views
BAB II LANDASAN TEORI A. INTENSI PROSOSIAL 1. Pengertian Intensi Prososial a. Pengertian Intensi Intensi adalah probabilitas subjektif yang dimiliki seseorang tentang akan melakukan sesuatu perilaku (Fishbein & Ajzen, 1975). Konsep tentang intensi diajukan oleh Fishbein dan Ajzen (1975), yang diartikan sebagai kemungkinan subjektif seseorang untnk melakukan suatu perilaku tertentu. Kemudian ditegaskan bahwa niat individu untuk melakukan sesuatu itu merupakan fiingsi dari (1) sikap terbadap perwujudan perilaku dalam situasi tertentu, sebagai faktor personal atau attitudional. Hal ini berhubungan dengan orientasi seseorang yang berkembang atas dasar keyakinan dan pertimbangan terhadap apa yang diyakini itu, dan (2) norma-norma yang berpengaruh atas perwujudan perilaku dan motivasi seseorang untuk patuh pada nonna itu, sebagai faktor sosial atau normative. Ini merupakan gabungan antara persepsi reference-group atau significant-person terhadap perwujudan perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975). Intensi adalah niat yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu perilaku (Ancok & Effendi, 1986). Intensi atau niat dalam kaitannya dengan mengikutsertakan individu dalam suatu aktivitas mempunyai keterkaitan yang erat dengan komponen keyakinan (belief) seseorang terhadap obyek, sikap 12 13 (attitude) terhadap obyek, dan perilaku (behavior) sebagai perwujudan nyata dari intensi. b. Pengertian Prososial Perilaku prososial adalah perilaku seseorang yang ditujukan pada orang lain dan memilih konsekuensi positif bempa keuntungan fisik maupun psikologis bagi orang yang dikenai tindakan tersebut. Sejalan dengan itu Mussen dkk (1979), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan menolong, bekerja sama, berbagi perasaan, bersikap jujur dan bertindak dermawan terhadap orang lain, pandangannya terhadap komponen prososial ini selanjutnya digunakan oleli penulis sebagai dasar teoritis penelitian ini. c. Pengertian Intensi Prososial Sebagaimana telah dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975), intensi adalah kemungkinan subjektif seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Niat adalah suatu awal terjadinya perilaku untuk melakukan perilaku tersebut. Sementara perilaku prososial adalah tindakan individu yang diarahkan pada orang lain dan memberikan manfaat bagi orang yang dikenai tindakan positif tersebut, baik secara fisik maupun psikologis. 14 2 Aspek-aspek Intensi Prososial Menurut Mussen, dkk (1979), aspek-aspek yang tennasuk dalam pengertian intensi prososial adalah: a. Intensi menolong, yaitu niatan membantu orang lain dengan cara meringankan beban fisik atau psikologis yang sedang dirasakan orang tersebut. b. Intensi berbagi rasa, yaitu kesediaan untuk ikut inerasakan apa yang dirasakan orang lain. c. Intensi kerjasama, yaitu niatan melakukan pekerjaan atau kegiatan secara bersama-sama berdasar kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama. d. Intensi menyumbang, yaitu niatan bermurali hati pada orang lain. e. Intensi memperhatikan kesejahteraan orang lain, yaitu niatan peduli terhadap pennasalahan orang lain (sosial society). 3. Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Prososial a. Tanggung jawab. Dalam keadaan sendiri, seseorang melihat orang lain membutuhkan pertolongan. Hal ini dikarenakan seseorang merasa tidak atau kurang dituntut tanggung jawabnya dengan kehadiran orang lain didekatnya, atau merasa ragu untuk bertindak karena orang lain mungkin lebih mampu untuk menolong. Dengan demikian orang tersebut cenderung menyerahkan tanggung jawab kepada orang lain. Darley dan Latane menyebutkan fenomena ini sebagai diffusion of responsibility (Lierbert, dalam Yuwono 1997). 15 b Tingkat ketergantungan. Semakin tinggi tingkat ketergantungan seseorang untul ditolong akan lebih tinggi intensi individu untuk melakukan tindakan tidak menolong orang lain. Menurut Berkowtiz dan Daniel (dalam Yuwono, 1998), persepsi tentang adanya ketergantungan akan merasakan perasaan ketergantungan tanggung jawab terhadap penderitaan orang lain. Sehingga timbul dorongan untuk memberikan pertolongan. c. Biaya menolong, bila biaya menolong baik mated maupun psikologis yang diperkirakan harus dikeluarkan terlalu banyak, maka kecil kemungkinan muncul niatan bagi individu untuk melakukan perilaku prososial dan akan cenderung menyerahkan tanggung jawab pada orang lain (Willian, dalam Wardani, I.D. 1996). d. Sosialisasi. Adanya model pola asuh, sosialisasi maupu ideologi yang diterima dan dipelajari individu akan sangat mempengaruhi perilaku individu untuk menolong sesama pada masa yang akan datang (Raven dan Rubin, 1983). e. Hubungan interpersonal. Semakin jelas dan dekat hubungan antara menolong orang yang membutuhkan pertolongan, semakin cepat dan semakin dalam pertolongan yang akan diberikan (Staub, dalam Turmudhi, 1991). f. Dampak. Semakin besar dampak negatif bagi orang yang membutuhkan pertolongan akibat tidak segera diberi pertolongan, akan menyebabkan individu cepat memberikan pertolongan (Staub dalam Turmudhi, 1991). g. Kejelasan stimulus. Semakin jelas stimulus tentang daruratnya suatu situasi akan semakin meningkat kesiapan individu untuk melakukan perilaku prososial. Sebaliknya, keadaan darurat yang bersifat ambiguous akan 16 membingungkan individu dan membuat ragu-ragu, bahkan dapat menurunkan niat i ntuk berperilaku prososial (Sampson dalam Turmudhi, 1991). B. Kepercayaan Terhadap Orang Lain 1. Pengertian Kepercayaan Terhadap Orang Lain Di dalam kamus umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976), kepercayaan dapat diartikan sebagai anggapan (keyakinan) balrwa sesuatu itu benar (ada, sungguh, dan sebagainya). Dalam pustaka psikologi dapat ditemukan bahwa pengertian kepercayaan sangat erat kaitannya dengan pengertian sikap. Fishbein dan Ajzen (1975) menyatakan bahwa untuk menjelaskan pembentukan dan perubahan sikap dan intensi, ditemukan proses pembentukan kepercayaan atau keyakinan. Kepercayaan terhadap suatu obyek menjadi dasar untuk pembentukan sikap terhadap obyek tersebut dan dasar sikap biasanya diukur sebagai jalan mengukur keyakinankeyakinan seseorang seorang (Fishbein dan Ajzen, 1975). Kaitannya dengan kepercayaan dapat adalah adanya definisi sikap yang dikemukakan oleh Rokeach (dalam Suryabrata, 1977) yang menyebutkan bahwa sikap merupakan organisasi keyakinan-keyakinan atau kepercayaan-kepercayaan. Meskipun sikap dan kepercayaan saling berkaitan, tetapi masing-masing didefinisikan secara terpisah. Sartain (1973) mengemukakan, secara definitif sikap berarti kecenderungan untuk bereaksi positif dan negatif terhadap obyek. Sedangkan kepercayaan adalah suatu keputusan (bervariasi dalam tingkatan kepercayaan) bahwa suatu hal adalah benar atau salah. 17 Khusus mengenai kepercayaan tersebut, Fishbein dan Ajzen (1975) telah mempelajari berbagai pendapat orang lain. Mereka raenyatnpaikan bahwa pada umvunnya kepercayaan menunjuk pada pendapat subjektif seseorang mengenai beberapa aspek yang berbeda-beda dari dunianya. Pada ahli tersebut menghubungkan dengan pemahaman-pemahaman tiap-tiap individu mengenai dirinya sendiri dan lingkungannya. Kemudian berdasarkan hal tersebut Fishbein dan Ajzen secara khusus membuat definisi bahwa kepercayaan adalah kemungkinan subjektif dari suatu hubungan antara obyek kepercayaan dan beberapa obyek yang lain, konsep, nilai atau sikap. Dengan demikian seseorang dapat percaya ia memiliki sifat-sifat tertentu (misalnya bahwa ia pandai, jujur, disiplin dan sebagainya), bahwa perilaku akan membawa konsekuensi bahwa peristiwa tertentu terjadi secara berdekatan dan sebagainya. Kepercayaan sering didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam melakukan hubungan sosial, yang didalamnya tercakup resiko yang berasosiasi dengan harapan itu. Artinya bila seseorang mempercayai orang lain maka ketika hal itu tidak terbukti ia akan menerima konsekuensi seperti merasa dikhianati, kecewa, dan marah (Lewicki & Bunker dalam Supratiknya, Faturochman, 2000 dalam Tantangan Psikologi Menghadapi Millenium Baru). Kepercayaan juga sering disamakan dengan kerjasama atau kooperasi (Mishra, 1996). Kedua konsep ini jelas berbeda, namun dalam kehidupan seharihari aplikasinya sering bersamaan. Keijasama yang baik pada umumnya dilandasai oleh kepercayaan yang tinggi. Melalui kerjasama kepercayaan dapat 18 dibangun, tetapi tanpa kepercayaan sama sekali kerjasama tidak akan bisa di ban gun. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan terhadap orang lain adalah harapan yang timbul antara kelompok luar atau orang lain, adanya kejujuran dan kerjasama, yang merupakan dasar dalam membagi dan menjadi bagian dari anggota dalam suatu kelompok. 2. Aspek-Aspek Kepercayaan Terhadap Orang Lain Kepercayaan pada orang lain dapat dibangun melalui berbagai cara. Dengan cara apapun kepercayaan dibentuk, proses ini harus menyentuh empat aspek pokok kepercayaan, yaitu kompetensi, keterbukaan, kepedulian dan reliabilitas (Mishra, 1996). Orang pada uiraunnya mempercayai pihak lain karena kompetensinya. Pasien yang berobat ke dokter atau duknn memiliki kemampuan untuk menyembuhkan sakit meskipun harus melalui media tertentu. Aspek ini, juga aspek yang lain, sangat kental dengan penilaian subjektif pihak yang mempercayainya. Orang yang menilai dukun memiliki kemampuan tinggi dengan mempercayai belum bisa diintervensi oleh pihak ketiga agar dia lebih mengerti bahwa dokter memiliki pengetahuan lebih tinggi sehingga kepercayaan berpindah dari dukun ke dokter. Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Aspek keterbukaan sering disejajarkan dengan kejujuran (honesty) meskipun keduanya secara konseptual berbeda. Keduanya memang berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Keterbukaan dan kejujuran sering digunakan oleh individu sebagai daya tarik atau untuk menunjukkan bahwa dirinya dapat 19 dipercaya. Berbeda dengan aspek kompetensi yang merupakan daya tarik untuk membangun kepercayaan dalam pola hubungan bisnis, keterbukaan merupakan d ya tarik yang mengandung nilai-nilai moral untuk membangun hubungan sosial. Dalam business-like relationship keterbukaan dan kejujuran yang terlalu tinggi sering menurunkan kepercayaan. Aspek kepedulian sebagai bagian dari kepercayaan inilah yang sebenarnya berkaitan langsung dengan keadilan sosial. Kepedulian tidak hanya merupakan bentuk kontrol terhadap oportunisme atau interest pribadi, karena secara moral pun memiliki interest pribadi dibenarkan, namun yang lebih penting adalah perannya sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan orang lain. Ketika keseimbangan ini tercapai maka resiko yang harus ditanggung oleh pemberi kepercayaan dinilai rendah sehingga ia akan berani meningkatkan lagi kepercayaannya. Kepercayaan memang bisa terbentuk melalui kesan pertama. Dalam psikologi sosial primacy effect terbukti besar pengaruhnya terhadap pembentukan opini termasuk dalam membangun kepercayaan (Van den Bos dalam Faturochman, 2000). Kepercayaan yang kuat terbentuk dari proses hubungan sosial yang terjalin lama dan terus menerus. Dalam kondisi yang demikian sangat dimungkinkan adanya tes terhadap pihak-pihak yang akan dipercayai. Dengan mengetahui reliabilitas pihak kedua maka resiko yang hams ditanggung pihak pertama, dengan jalan mempercayai pihak kedua, juga dinilai lebih kecil. Pada lingkungan sosial terkadang individu melakukan suatu tes dalam interaksinya, misalnya dengan menguji kepercayaan yang diberikan pada orang lain, apakah 20 orang tersebut dapat mempertahankan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Apabila hal tersebut terbukti dengan baik maka kepercayaan pada oranng tersebut akan meningkat dan menimbulkan suatu opini bahwa orang tersebut dapat d'percaya. Dan hal tersebut akan terus berlangsung selama individu berada dalam lingkungun sosial. 3. Proses Terbentuknya kepercayaan Terhadap Orang Lain Sarason dan Sarason (1993) menyatakan bahwa kepercayaan terbentuk dan berkembang melalui proses belajar secara individual maupun sosial. Proses pengalaman psikologik proses belajar secara sosial diperoleh melalui interaksi individu dengan aktivitas kegiatan bersama orang lain. Dari beberapa kemungkinan terbentuknya kepercayaan, ada tiga mekanisme dasar terbentuknya kepercayaan (Zucker dalam Creed & Miles, 1996), yaitu: a. Characteristic-based trust, merupakan ide dasar mengaitkan antara kepercayaan dengan latar belakang individu dan dengan stereotipe yang menyertainya. Proses terjadinya kepercayaan yang berdasarkan karakteristik ini merupakan proses yang berlangsung lama. b. Process - based trust, dalam proses ini kepercayaan tumbuh melalui pengalaman seseorang dalam melakukan pertukaran sosial, seperti berdagang, saling memberi hadiah dan kontrak kerja. Dasarnya adalah konsep resiprositas atau pertukaran yang seimbang. Tentu saja pembentukan kepercayaan melalui proses yang berjangka panjang, terkadang tidak cukup hanya sekali 21 melakukan transaksi sosial. Dalam proses memerlukan waktu itu, keterjaminan dan stabilitas akan hubungan yang resiprokal yang merupakan perekat yang menguatkan tinggi rendahnya kepercayaan. c. Institutional-based trust, atau dapat dikatakan sebagai kepercayaan fonnal. Kepercayaan tersebut terbentuk berdasarkan atribut resmi seperti ljasali, sertifikat, surat perayataan dan seterusnya. Creed dan Miles (1996) menilai bahwa perubahan kepercayaan terhadap pihak lain tergantung pada dua hal, yaitu kesamaan karakteristik dan pengalaman melakukan hubungan resiprok. Mekanisme di atas dapat difonnulasikan sebagai berikut: T = f (p,s,d) T : trust p : embedded predisposition to trust s : characteristic similarity r : experiences of resiprocity Secara sederhana komponen kepercayaan dalam hubungan dua pihak adalah mempercayai dan dipercayai yang masing-masing melekat pada pemberi kepercayaan dan penerima kepercayaan (Kipnis, dalam Faturchman, 2000). Namun dalam kehidupan sosial, kepercayaan tidak hanya melibatkan dua pihak, trustor dan trustee. Kadang-kadang kedua pihak itu membutuhkan pihak ketiga vang sering disebut penghubung (intermediary). Peran penghubung ini dapat 22 sebagai penasehat (advisor), penjamin (guarantor), atau enterpreneur. Secara skematis ketiganya dapat dibedakan perannya sebagai berikut: Penasehat Trustor J • Intermediary P • Trustee 2. Penjamin T7r ustor J • Intermediary P Trustee 3. Enterpreneur Trustor Trustee Intermediary Trustor Trustee 4. Tipe Kepercayaan Di samping ada komponen kepercayaan dan mekanisme terbentuknya kepercayaan, para ahli Lewinski & Bunker (dalam Faturochman, 2000) memilahmilah ke dalam tiga bentuk sebagai berikut: a. Calculus-based trust. Pada dasarnya hubungan antara individu, kelompok, atau lembaga, berusaha untuk dijaga keberlangsungannya melalui pemberian 23 kepercayaan. Namun pada sisi lain ada konsekuensi dari pemberian kepercayaan itu. Orang yang mengingkari kepercayaan akan raendapat punishment. Dengan demikian dimungkinkan adanya perhitungan-perhitungan dalam berhubungan sosial dan menjaga kepercayaan. Tipe kepercayaan ini dapat dikatakan paling cair karena mudah berubab-ubab. Ketika terjadi transaksi, pemberian kepercayaan dan penerimaan imbalan, dalam relasi sosial tidak lagi imbang, maka kepercayaan itu bisa berubah. Bila kepercayaan yang diberikan tidak sebanding dengan imbalan yang diterima, maka justru bisa terjadi ketidakpercayaan. Bagaimana orang melakukan perhitungan sebingga ia mempercayai atau tidak mempercayai orang lain? (Coleman, dalam Faturochman, 2000) membuat formulasi perhitungan yang terdiri dari tiga hal pokok, yaitu kemungkinan mendapatkan keuntungan bila mempercayai (P), potensi kehilangan (L), dan potensi keuntungan (G). Dari tiga untung ini dimungkinkan tiga hal Percaya bila L:G < p : (1-p) Tidak percaya bila L:G > p : (1-p) Ragubila L:G = p : (1-p) Knowledge-based trust. Kepercayaan dapat dibangun berdasarkan pengetaliuan atas pihak lain. Dengan kata lain, kepercayaan tergantung pada infonnasi tentang pihak lain itu. Pengetaliuan ini dapat digunakan untuk memprediksi perilaku pihak lain. Dengan demikian perkiraan akan perilaku, karakteristik, dan perkembangan pihak lain sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan kepadanya. Karena perilaku tidak selalu konsisten, pengetaliuan 24 akan hal itu juga harus selalu diperbaharui. Artinya, pengetahuan yang dimaksud juga meliputi pengetahuan tentang konsistensi atau reabilitas pihak lain. Untuk mendapatkan pengetahuan ini salah satu caranya adalah dengan melakukan interaksi berulang-ulang atau melalui proses yang berjangka panjang. c. Indentijication-based trust. Jenis kepercayaan ini banyak dijumpai dalam kelompok. Ketika suatu kelompok memiliki identitas yang kuat dan di dalamnya terdapat kohesivitas yang tinggi, maka secara teknis anggota yang satu dapat menggantikan anggota yang lain. Dengan demikian telali terjadi kepercayaan yang tinggi. Contoh lain adalah keluarga. Dalam keluarga terjadi saling pengertian dan saling percaya karena faktor identitas yang kuat ini. Pihak lain juga akan mempercayai anggota keluarga tersebut dengan referensi bahwa mereka adalah satu keluarga. Kepercayaan seperti ini dapat juga terbentuk di luar kelompok atau keluarga. Itu terjadi ketika dua pihak memiliki knowledge-based trust sekaligus memiliki kesamaan-kesamaan seperti kebutuhan, pilihan, dan preferensi. Dengan mengunakan teori conditioning memang dimungkinkan terbentuknya kepercayaan. Namun harus dicatat bahwa salah satu kelemahan mendasar dari konsep ini adalah menganggap manusia itu makhluk mindlesnes, sementara karakteristik utama kepercayaan justru menekankan pada peran pikir atau kognisi. Dari paparan sebelumnya jelas sekali bahwa kepercayaan justru banyak dibangun melalui kalkulasi (calcidus-based trust). 25 Terbentuknya kepercayaan pada individu tidak lepas dari perkembangan inanusia pada unuunnya, khususnya perkembangan kepribadiannya. Dalam mengembangkan suatu kepercayaan pada diri individu, lingkungan keluarga memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian individu, karena lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam perkembangan kepribadian seseorang (Brigner dalam Walgito , 1993) Dalam keluarga individu mulai mengadakan interaksi dengan orang-orang yang ad? disekitarnya, terutama dengan orang tuanya. Dalam interaksi tersebut masing-masing saling mempengaruhi satu dengan yang lain, masing-masing saling memberikan stimulus dan respon (Marx & Young dalam Walgito, 1993). Melalui interaksi tersebut maka terbentuklah sikap-sikap tertentu pada masingmasing pihak, sehingga menimbulkan suatu penghargaan pada orang lain dan juga dirinya. Dengan demikian adanya perasaan comfortable pada lingkungan sekitarnya yang menimbulkan kepercayaan pada lingkungan dan orang-orang yang berada pada lingkungan tersebut. C. HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN TERHADAP ORANG LAIN DENGAN INTENSI PROSOSIAL Dalam keliidupan bermasyarakat orang tidak akan dapat melepaskan diri dalam hubungannya dengan individu lain, karena salali satu sifat manusia adalah sebagai makhluk sosial. Dalam berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain, sudah selayaknya seseorang menghargai orang lain atau sebaliknya, sesuai dengan 26 apa yang acla dalam diri orang lain itu. Namun demikian disamping seseorang menghargai orang lain, seseorang juga perlu menghargai diri sendiri (Coopersmith dalam Walgito, 1993). Dari pandangan teori hirarki kebutuhan (the hierarchy of need theory) yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (dalam Ancok, 2001), kepercayaan adalah salah satu aspek kebutuhan yang berada pada hirarki ketiga, yaitu kebutuhan akan kasih sayang (need of love) dan hirarki keempat yaitu kebutuhan al an penghargaan (self esteem). Perasaan dipercaya (trust) akan membuat orang respek pada dirinya dengan menganggap orang lain adalah bagian darinya. Pemberian trust oleh lain akan membuat orang lain dipersepsi sebagai orang yang peduli dengan orang lain. Hal itu sama dengan harga diri (self esteem). Dengan dipercaya orang akan menumbuhkan harga diri. Harga diri yang positif akan dipertahankan dengan cara berbuat baik pada orang lain dan mencegah diri dari perbuatan tercela. Kepercayaan merupakan aspek dalam kepribadian yang terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungan, maka hal tersebut merupakan penilaian awal terhadap dirinya dan penilaian terhadap orang lain. Adanya keyakinan atau kepercayaan dalam diri individu terhadap lingkungannya menimbulkan suatu sikap pada individu untuk dapat berperilaku prososial sebagai perwujudan nyata dari intensi. Untuk dapat melakukan suatu perilaku prososial harus ada perilaku yang didasari oleh kepercayaan dan hasil evaluasi (behavioral belief and outcome evaluation) pada individu itu sendiri. R 27 Fishbein dan Ajzen (1975) mengatakan bahwa untuk menjelaskan pembentukan dan perubahan sikap dan intensi ditemukan proses pembentukan kepercayaan atau keyakinan. Dalam melakukan suatu perilaku yang diarahkan dan memberikan manfaat bagi orang yang dikenai tindakan positif tersebut, baik secara fisik maupun psikologis, hams ada suatu kepercayaan pada individu tersebut. Karena proses tersebu: merupakan konsep dasar untuk pembentukan sikap terhadap obyek tersebut. Sebaliknya tanpa kepercayaan kecenderungan menolong tidak terjadi. D. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan antara kepercayaan kepada orang lain dengan intensi prosial. Semakin tinggi tingkat kepercayaan pada orang lain semakin tinggi pula intensi prososial individu tersebut.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up