LANDASAN TEORI
BAB II
LANDASAN TEORI
A. INTENSI PROSOSIAL
1. Pengertian Intensi Prososial
a. Pengertian Intensi
Intensi adalah probabilitas subjektif yang dimiliki seseorang tentang akan
melakukan sesuatu perilaku (Fishbein & Ajzen, 1975). Konsep tentang intensi
diajukan oleh Fishbein dan Ajzen (1975), yang diartikan sebagai kemungkinan
subjektif seseorang untnk melakukan suatu perilaku tertentu. Kemudian
ditegaskan bahwa niat individu untuk melakukan sesuatu itu merupakan fiingsi
dari (1) sikap terbadap perwujudan perilaku dalam situasi tertentu, sebagai faktor
personal atau attitudional. Hal ini berhubungan dengan orientasi seseorang yang
berkembang atas dasar keyakinan dan pertimbangan terhadap apa yang diyakini
itu, dan (2) norma-norma yang berpengaruh atas perwujudan perilaku dan
motivasi seseorang untuk patuh pada nonna itu, sebagai faktor sosial atau
normative. Ini merupakan gabungan antara persepsi reference-group atau
significant-person terhadap perwujudan perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975).
Intensi adalah niat yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu
perilaku (Ancok & Effendi, 1986). Intensi atau niat dalam kaitannya dengan
mengikutsertakan individu dalam suatu aktivitas mempunyai keterkaitan yang
erat dengan komponen keyakinan (belief) seseorang terhadap obyek, sikap
12
13
(attitude) terhadap obyek, dan perilaku (behavior) sebagai perwujudan nyata dari
intensi.
b. Pengertian Prososial
Perilaku prososial adalah perilaku seseorang yang ditujukan pada orang
lain dan memilih konsekuensi positif bempa keuntungan fisik maupun psikologis
bagi orang yang dikenai tindakan tersebut.
Sejalan dengan itu Mussen dkk (1979), menekankan bahwa perilaku
prososial mencakup tindakan-tindakan menolong, bekerja sama, berbagi perasaan,
bersikap jujur dan bertindak dermawan terhadap orang lain, pandangannya
terhadap komponen prososial ini selanjutnya digunakan oleli penulis sebagai dasar
teoritis penelitian ini.
c. Pengertian Intensi Prososial
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975), intensi
adalah kemungkinan subjektif seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Niat
adalah suatu awal terjadinya perilaku untuk melakukan perilaku tersebut.
Sementara perilaku prososial adalah tindakan individu yang diarahkan pada orang
lain dan memberikan manfaat bagi orang yang dikenai tindakan positif tersebut,
baik secara fisik maupun psikologis.
14
2 Aspek-aspek Intensi Prososial
Menurut Mussen, dkk (1979), aspek-aspek yang tennasuk dalam
pengertian intensi prososial adalah:
a. Intensi menolong, yaitu niatan membantu orang lain dengan cara
meringankan beban fisik atau psikologis yang sedang dirasakan orang
tersebut.
b. Intensi berbagi rasa, yaitu kesediaan untuk ikut inerasakan apa yang
dirasakan orang lain.
c. Intensi kerjasama, yaitu niatan melakukan pekerjaan atau kegiatan secara
bersama-sama berdasar kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama.
d. Intensi menyumbang, yaitu niatan bermurali hati pada orang lain.
e. Intensi memperhatikan kesejahteraan orang lain, yaitu niatan peduli terhadap
pennasalahan orang lain (sosial society).
3. Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Prososial
a. Tanggung jawab. Dalam keadaan sendiri, seseorang melihat orang lain
membutuhkan pertolongan. Hal ini dikarenakan seseorang merasa tidak atau
kurang dituntut tanggung jawabnya dengan kehadiran orang lain didekatnya,
atau merasa ragu untuk bertindak karena orang lain mungkin lebih mampu
untuk menolong. Dengan demikian orang tersebut cenderung menyerahkan
tanggung jawab kepada orang lain. Darley dan Latane menyebutkan fenomena
ini sebagai diffusion of responsibility (Lierbert, dalam Yuwono 1997).
15
b Tingkat ketergantungan. Semakin tinggi tingkat ketergantungan seseorang
untul ditolong akan lebih tinggi intensi individu untuk melakukan tindakan
tidak menolong orang lain. Menurut Berkowtiz dan Daniel (dalam Yuwono,
1998), persepsi tentang adanya ketergantungan akan merasakan perasaan
ketergantungan tanggung jawab terhadap penderitaan orang lain. Sehingga
timbul dorongan untuk memberikan pertolongan.
c. Biaya menolong, bila biaya menolong baik mated maupun psikologis yang
diperkirakan harus dikeluarkan terlalu banyak, maka kecil kemungkinan
muncul niatan bagi individu untuk melakukan perilaku prososial dan akan
cenderung menyerahkan tanggung jawab pada orang lain (Willian, dalam
Wardani, I.D. 1996).
d. Sosialisasi. Adanya model pola asuh, sosialisasi maupu ideologi yang diterima
dan dipelajari individu akan sangat mempengaruhi perilaku individu untuk
menolong sesama pada masa yang akan datang (Raven dan Rubin, 1983).
e. Hubungan interpersonal. Semakin jelas dan dekat hubungan antara menolong
orang yang membutuhkan pertolongan, semakin cepat dan semakin dalam
pertolongan yang akan diberikan (Staub, dalam Turmudhi, 1991).
f. Dampak. Semakin besar dampak negatif bagi orang yang membutuhkan
pertolongan akibat tidak segera diberi pertolongan, akan menyebabkan
individu cepat memberikan pertolongan (Staub dalam Turmudhi, 1991).
g. Kejelasan stimulus. Semakin jelas stimulus tentang daruratnya suatu situasi
akan semakin meningkat kesiapan individu untuk melakukan perilaku
prososial. Sebaliknya, keadaan darurat yang bersifat ambiguous akan
16
membingungkan individu dan membuat ragu-ragu, bahkan dapat menurunkan
niat i ntuk berperilaku prososial (Sampson dalam Turmudhi, 1991).
B. Kepercayaan Terhadap Orang Lain
1. Pengertian Kepercayaan Terhadap Orang Lain
Di dalam kamus umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1976),
kepercayaan dapat diartikan sebagai anggapan (keyakinan) balrwa sesuatu itu
benar (ada, sungguh, dan sebagainya).
Dalam pustaka psikologi dapat ditemukan bahwa pengertian kepercayaan
sangat erat kaitannya dengan pengertian sikap. Fishbein dan Ajzen (1975)
menyatakan bahwa untuk menjelaskan pembentukan dan perubahan sikap dan
intensi, ditemukan proses pembentukan kepercayaan atau keyakinan. Kepercayaan
terhadap suatu obyek menjadi dasar untuk pembentukan sikap terhadap obyek
tersebut dan dasar sikap biasanya diukur sebagai jalan mengukur keyakinankeyakinan
seseorang seorang (Fishbein dan Ajzen, 1975). Kaitannya dengan
kepercayaan dapat adalah adanya definisi sikap yang dikemukakan oleh Rokeach
(dalam Suryabrata, 1977) yang menyebutkan bahwa sikap merupakan organisasi
keyakinan-keyakinan atau kepercayaan-kepercayaan.
Meskipun sikap dan kepercayaan saling berkaitan, tetapi masing-masing
didefinisikan secara terpisah. Sartain (1973) mengemukakan, secara definitif sikap
berarti kecenderungan untuk bereaksi positif dan negatif terhadap obyek.
Sedangkan kepercayaan adalah suatu keputusan (bervariasi dalam tingkatan
kepercayaan) bahwa suatu hal adalah benar atau salah.
17
Khusus mengenai kepercayaan tersebut, Fishbein dan Ajzen (1975) telah
mempelajari berbagai pendapat orang lain. Mereka raenyatnpaikan bahwa pada
umvunnya kepercayaan menunjuk pada pendapat subjektif seseorang mengenai
beberapa aspek yang berbeda-beda dari dunianya. Pada ahli tersebut
menghubungkan dengan pemahaman-pemahaman tiap-tiap individu mengenai
dirinya sendiri dan lingkungannya. Kemudian berdasarkan hal tersebut Fishbein
dan Ajzen secara khusus membuat definisi bahwa kepercayaan adalah
kemungkinan subjektif dari suatu hubungan antara obyek kepercayaan dan
beberapa obyek yang lain, konsep, nilai atau sikap. Dengan demikian seseorang
dapat percaya ia memiliki sifat-sifat tertentu (misalnya bahwa ia pandai, jujur,
disiplin dan sebagainya), bahwa perilaku akan membawa konsekuensi bahwa
peristiwa tertentu terjadi secara berdekatan dan sebagainya.
Kepercayaan sering didefinisikan sebagai harapan pihak lain dalam
melakukan hubungan sosial, yang didalamnya tercakup resiko yang berasosiasi
dengan harapan itu. Artinya bila seseorang mempercayai orang lain maka ketika
hal itu tidak terbukti ia akan menerima konsekuensi seperti merasa dikhianati,
kecewa, dan marah (Lewicki & Bunker dalam Supratiknya, Faturochman, 2000
dalam Tantangan Psikologi Menghadapi Millenium Baru).
Kepercayaan juga sering disamakan dengan kerjasama atau kooperasi
(Mishra, 1996). Kedua konsep ini jelas berbeda, namun dalam kehidupan seharihari
aplikasinya sering bersamaan. Keijasama yang baik pada umumnya
dilandasai oleh kepercayaan yang tinggi. Melalui kerjasama kepercayaan dapat
18
dibangun, tetapi tanpa kepercayaan sama sekali kerjasama tidak akan bisa
di ban gun.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan terhadap
orang lain adalah harapan yang timbul antara kelompok luar atau orang lain,
adanya kejujuran dan kerjasama, yang merupakan dasar dalam membagi dan
menjadi bagian dari anggota dalam suatu kelompok.
2. Aspek-Aspek Kepercayaan Terhadap Orang Lain
Kepercayaan pada orang lain dapat dibangun melalui berbagai cara.
Dengan cara apapun kepercayaan dibentuk, proses ini harus menyentuh empat
aspek pokok kepercayaan, yaitu kompetensi, keterbukaan, kepedulian dan
reliabilitas (Mishra, 1996). Orang pada uiraunnya mempercayai pihak lain karena
kompetensinya. Pasien yang berobat ke dokter atau duknn memiliki kemampuan
untuk menyembuhkan sakit meskipun harus melalui media tertentu. Aspek ini,
juga aspek yang lain, sangat kental dengan penilaian subjektif pihak yang
mempercayainya. Orang yang menilai dukun memiliki kemampuan tinggi dengan
mempercayai belum bisa diintervensi oleh pihak ketiga agar dia lebih mengerti
bahwa dokter memiliki pengetahuan lebih tinggi sehingga kepercayaan berpindah
dari dukun ke dokter. Hal sebaliknya juga bisa terjadi.
Aspek keterbukaan sering disejajarkan dengan kejujuran (honesty)
meskipun keduanya secara konseptual berbeda. Keduanya memang berkaitan erat
satu dengan yang lainnya. Keterbukaan dan kejujuran sering digunakan oleh
individu sebagai daya tarik atau untuk menunjukkan bahwa dirinya dapat
19
dipercaya. Berbeda dengan aspek kompetensi yang merupakan daya tarik untuk
membangun kepercayaan dalam pola hubungan bisnis, keterbukaan merupakan
d ya tarik yang mengandung nilai-nilai moral untuk membangun hubungan sosial.
Dalam business-like relationship keterbukaan dan kejujuran yang terlalu tinggi
sering menurunkan kepercayaan.
Aspek kepedulian sebagai bagian dari kepercayaan inilah yang sebenarnya
berkaitan langsung dengan keadilan sosial. Kepedulian tidak hanya merupakan
bentuk kontrol terhadap oportunisme atau interest pribadi, karena secara moral
pun memiliki interest pribadi dibenarkan, namun yang lebih penting adalah
perannya sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan antara kepentingan pribadi
dengan kepentingan orang lain. Ketika keseimbangan ini tercapai maka resiko
yang harus ditanggung oleh pemberi kepercayaan dinilai rendah sehingga ia akan
berani meningkatkan lagi kepercayaannya.
Kepercayaan memang bisa terbentuk melalui kesan pertama. Dalam
psikologi sosial primacy effect terbukti besar pengaruhnya terhadap pembentukan
opini termasuk dalam membangun kepercayaan (Van den Bos dalam
Faturochman, 2000). Kepercayaan yang kuat terbentuk dari proses hubungan
sosial yang terjalin lama dan terus menerus. Dalam kondisi yang demikian sangat
dimungkinkan adanya tes terhadap pihak-pihak yang akan dipercayai. Dengan
mengetahui reliabilitas pihak kedua maka resiko yang hams ditanggung pihak
pertama, dengan jalan mempercayai pihak kedua, juga dinilai lebih kecil. Pada
lingkungan sosial terkadang individu melakukan suatu tes dalam interaksinya,
misalnya dengan menguji kepercayaan yang diberikan pada orang lain, apakah
20
orang tersebut dapat mempertahankan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Apabila hal tersebut terbukti dengan baik maka kepercayaan pada oranng tersebut
akan meningkat dan menimbulkan suatu opini bahwa orang tersebut dapat
d'percaya. Dan hal tersebut akan terus berlangsung selama individu berada dalam
lingkungun sosial.
3. Proses Terbentuknya kepercayaan Terhadap Orang Lain
Sarason dan Sarason (1993) menyatakan bahwa kepercayaan terbentuk
dan berkembang melalui proses belajar secara individual maupun sosial. Proses
pengalaman psikologik proses belajar secara sosial diperoleh melalui interaksi
individu dengan aktivitas kegiatan bersama orang lain.
Dari beberapa kemungkinan terbentuknya kepercayaan, ada tiga
mekanisme dasar terbentuknya kepercayaan (Zucker dalam Creed & Miles, 1996),
yaitu:
a. Characteristic-based trust, merupakan ide dasar mengaitkan antara
kepercayaan dengan latar belakang individu dan dengan stereotipe yang
menyertainya. Proses terjadinya kepercayaan yang berdasarkan karakteristik
ini merupakan proses yang berlangsung lama.
b. Process - based trust, dalam proses ini kepercayaan tumbuh melalui
pengalaman seseorang dalam melakukan pertukaran sosial, seperti berdagang,
saling memberi hadiah dan kontrak kerja. Dasarnya adalah konsep resiprositas
atau pertukaran yang seimbang. Tentu saja pembentukan kepercayaan melalui
proses yang berjangka panjang, terkadang tidak cukup hanya sekali
21
melakukan transaksi sosial. Dalam proses memerlukan waktu itu,
keterjaminan dan stabilitas akan hubungan yang resiprokal yang merupakan
perekat yang menguatkan tinggi rendahnya kepercayaan.
c. Institutional-based trust, atau dapat dikatakan sebagai kepercayaan fonnal.
Kepercayaan tersebut terbentuk berdasarkan atribut resmi seperti ljasali,
sertifikat, surat perayataan dan seterusnya.
Creed dan Miles (1996) menilai bahwa perubahan kepercayaan terhadap
pihak lain tergantung pada dua hal, yaitu kesamaan karakteristik dan pengalaman
melakukan hubungan resiprok. Mekanisme di atas dapat difonnulasikan sebagai
berikut:
T = f (p,s,d)
T : trust
p : embedded predisposition to trust
s : characteristic similarity
r : experiences of resiprocity
Secara sederhana komponen kepercayaan dalam hubungan dua pihak
adalah mempercayai dan dipercayai yang masing-masing melekat pada pemberi
kepercayaan dan penerima kepercayaan (Kipnis, dalam Faturchman, 2000).
Namun dalam kehidupan sosial, kepercayaan tidak hanya melibatkan dua pihak,
trustor dan trustee. Kadang-kadang kedua pihak itu membutuhkan pihak ketiga
vang sering disebut penghubung (intermediary). Peran penghubung ini dapat
22
sebagai penasehat (advisor), penjamin (guarantor), atau enterpreneur. Secara
skematis ketiganya dapat dibedakan perannya sebagai berikut:
Penasehat
Trustor J • Intermediary P • Trustee
2. Penjamin
T7r ustor J • Intermediary P Trustee
3. Enterpreneur
Trustor Trustee
Intermediary
Trustor Trustee
4. Tipe Kepercayaan
Di samping ada komponen kepercayaan dan mekanisme terbentuknya
kepercayaan, para ahli Lewinski & Bunker (dalam Faturochman, 2000) memilahmilah
ke dalam tiga bentuk sebagai berikut:
a. Calculus-based trust. Pada dasarnya hubungan antara individu, kelompok,
atau lembaga, berusaha untuk dijaga keberlangsungannya melalui pemberian
23
kepercayaan. Namun pada sisi lain ada konsekuensi dari pemberian
kepercayaan itu. Orang yang mengingkari kepercayaan akan raendapat
punishment. Dengan demikian dimungkinkan adanya perhitungan-perhitungan
dalam berhubungan sosial dan menjaga kepercayaan. Tipe kepercayaan ini
dapat dikatakan paling cair karena mudah berubab-ubab. Ketika terjadi
transaksi, pemberian kepercayaan dan penerimaan imbalan, dalam relasi sosial
tidak lagi imbang, maka kepercayaan itu bisa berubah. Bila kepercayaan yang
diberikan tidak sebanding dengan imbalan yang diterima, maka justru bisa
terjadi ketidakpercayaan. Bagaimana orang melakukan perhitungan sebingga
ia mempercayai atau tidak mempercayai orang lain? (Coleman, dalam
Faturochman, 2000) membuat formulasi perhitungan yang terdiri dari tiga hal
pokok, yaitu kemungkinan mendapatkan keuntungan bila mempercayai (P),
potensi kehilangan (L), dan potensi keuntungan (G). Dari tiga untung ini
dimungkinkan tiga hal
Percaya bila L:G < p : (1-p)
Tidak percaya bila L:G > p : (1-p)
Ragubila L:G = p : (1-p)
Knowledge-based trust. Kepercayaan dapat dibangun berdasarkan
pengetaliuan atas pihak lain. Dengan kata lain, kepercayaan tergantung pada
infonnasi tentang pihak lain itu. Pengetaliuan ini dapat digunakan untuk
memprediksi perilaku pihak lain. Dengan demikian perkiraan akan perilaku,
karakteristik, dan perkembangan pihak lain sangat mempengaruhi tingkat
kepercayaan kepadanya. Karena perilaku tidak selalu konsisten, pengetaliuan
24
akan hal itu juga harus selalu diperbaharui. Artinya, pengetahuan yang
dimaksud juga meliputi pengetahuan tentang konsistensi atau reabilitas pihak
lain. Untuk mendapatkan pengetahuan ini salah satu caranya adalah dengan
melakukan interaksi berulang-ulang atau melalui proses yang berjangka
panjang.
c. Indentijication-based trust. Jenis kepercayaan ini banyak dijumpai dalam
kelompok. Ketika suatu kelompok memiliki identitas yang kuat dan di
dalamnya terdapat kohesivitas yang tinggi, maka secara teknis anggota yang
satu dapat menggantikan anggota yang lain. Dengan demikian telali terjadi
kepercayaan yang tinggi. Contoh lain adalah keluarga. Dalam keluarga terjadi
saling pengertian dan saling percaya karena faktor identitas yang kuat ini.
Pihak lain juga akan mempercayai anggota keluarga tersebut dengan referensi
bahwa mereka adalah satu keluarga. Kepercayaan seperti ini dapat juga
terbentuk di luar kelompok atau keluarga. Itu terjadi ketika dua pihak
memiliki knowledge-based trust sekaligus memiliki kesamaan-kesamaan
seperti kebutuhan, pilihan, dan preferensi.
Dengan mengunakan teori conditioning memang dimungkinkan
terbentuknya kepercayaan. Namun harus dicatat bahwa salah satu kelemahan
mendasar dari konsep ini adalah menganggap manusia itu makhluk mindlesnes,
sementara karakteristik utama kepercayaan justru menekankan pada peran pikir
atau kognisi. Dari paparan sebelumnya jelas sekali bahwa kepercayaan justru
banyak dibangun melalui kalkulasi (calcidus-based trust).
25
Terbentuknya kepercayaan pada individu tidak lepas dari perkembangan
inanusia pada unuunnya, khususnya perkembangan kepribadiannya. Dalam
mengembangkan suatu kepercayaan pada diri individu, lingkungan keluarga
memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian individu, karena
lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam
perkembangan kepribadian seseorang (Brigner dalam Walgito , 1993)
Dalam keluarga individu mulai mengadakan interaksi dengan orang-orang
yang ad? disekitarnya, terutama dengan orang tuanya. Dalam interaksi tersebut
masing-masing saling mempengaruhi satu dengan yang lain, masing-masing
saling memberikan stimulus dan respon (Marx & Young dalam Walgito, 1993).
Melalui interaksi tersebut maka terbentuklah sikap-sikap tertentu pada masingmasing
pihak, sehingga menimbulkan suatu penghargaan pada orang lain dan juga
dirinya. Dengan demikian adanya perasaan comfortable pada lingkungan
sekitarnya yang menimbulkan kepercayaan pada lingkungan dan orang-orang
yang berada pada lingkungan tersebut.
C. HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN
TERHADAP ORANG LAIN DENGAN INTENSI PROSOSIAL
Dalam keliidupan bermasyarakat orang tidak akan dapat melepaskan diri
dalam hubungannya dengan individu lain, karena salali satu sifat manusia adalah
sebagai makhluk sosial. Dalam berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain,
sudah selayaknya seseorang menghargai orang lain atau sebaliknya, sesuai dengan
26
apa yang acla dalam diri orang lain itu. Namun demikian disamping seseorang
menghargai orang lain, seseorang juga perlu menghargai diri sendiri
(Coopersmith dalam Walgito, 1993).
Dari pandangan teori hirarki kebutuhan (the hierarchy of need theory)
yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (dalam Ancok, 2001), kepercayaan
adalah salah satu aspek kebutuhan yang berada pada hirarki ketiga, yaitu
kebutuhan akan kasih sayang (need of love) dan hirarki keempat yaitu kebutuhan
al an penghargaan (self esteem). Perasaan dipercaya (trust) akan membuat orang
respek pada dirinya dengan menganggap orang lain adalah bagian darinya.
Pemberian trust oleh lain akan membuat orang lain dipersepsi sebagai orang yang
peduli dengan orang lain. Hal itu sama dengan harga diri (self esteem). Dengan
dipercaya orang akan menumbuhkan harga diri. Harga diri yang positif akan
dipertahankan dengan cara berbuat baik pada orang lain dan mencegah diri dari
perbuatan tercela.
Kepercayaan merupakan aspek dalam kepribadian yang terbentuk melalui
interaksi individu dengan lingkungan, maka hal tersebut merupakan penilaian
awal terhadap dirinya dan penilaian terhadap orang lain. Adanya keyakinan atau
kepercayaan dalam diri individu terhadap lingkungannya menimbulkan suatu
sikap pada individu untuk dapat berperilaku prososial sebagai perwujudan nyata
dari intensi. Untuk dapat melakukan suatu perilaku prososial harus ada perilaku
yang didasari oleh kepercayaan dan hasil evaluasi (behavioral belief and outcome
evaluation) pada individu itu sendiri.
R
27
Fishbein dan Ajzen (1975) mengatakan bahwa untuk menjelaskan
pembentukan dan perubahan sikap dan intensi ditemukan proses pembentukan
kepercayaan atau keyakinan. Dalam melakukan suatu perilaku yang diarahkan dan
memberikan manfaat bagi orang yang dikenai tindakan positif tersebut, baik
secara fisik maupun psikologis, hams ada suatu kepercayaan pada individu
tersebut. Karena proses tersebu: merupakan konsep dasar untuk pembentukan
sikap terhadap obyek tersebut. Sebaliknya tanpa kepercayaan kecenderungan
menolong tidak terjadi.
D. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah: Ada hubungan antara kepercayaan kepada orang lain dengan
intensi prosial. Semakin tinggi tingkat kepercayaan pada orang lain semakin tinggi
pula intensi prososial individu tersebut.
(Author)