NU, POLITIK DAN PKB
Ketua Umum PB NU, K.H. Hasyim Muzadi menilai, bahwa warga NU selalu bernasib apes. Ketika warga NU mendukung partai lain, ternyata tidak banyak timbal balik yang diperoleh dari organisasi Islam terbesar ini. Sementara ketika warga NU mempunyai partai sendiri (PKB) selalu mencul konflik. Hingga saat ini terdapat dualisme kepemimpinan (kubu), yaitu kubu Alwi Shihab dan kubu Matori Abdul Jalil.
“NU memang serba repot. Tidak punya partai seperti nyangoni kere minggat, punya partai geger terus”. Ujar Hasyim saat menghadiri Harlah ke-78 NU di gedung Asrama haji Lamongan (Jawa Pos, 4/2/2002). Oleh sebab itu Hasyim mengingatkan supaya warga NU memperbaiki diri, baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial.
Salah satu kritik yang dilontarkan Hasyim terhadap para kiai NU yang menduduki kursi dewan intinya adalah terkait dengan keanggotaan mereka sebagai dewan yang tanpa melalui proses lumrah. Hasyim mencontohkan, sebelum menjadi anggota dewan mereka tidak berangkat dari kader politik tetapi hanya berdoa dan berzikir. Sehingga ketika menjadi dewan mereka tak banyak yang diperbuat.
Memang fenomena menarik yang terjadi di kalangan kiai akhir-akhir ini adalah menyangkut keterlibatan mereka di dunia politik praktis, terutama pada masa Pemerintahan Gus Dur yang lalu. Banyak para kiai yang secara sengaja melibatkan diri untuk menentukan kebijakan-kebijakan politik partai tertentu. Oleh sebab itu ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden, pertama kali yang beliau ingatkan kepada warga NU --terutama para kiainya-- adalah supaya mereka tidak berebut menduduki jabatan di pemerintahan. Peringatan Gur Dur itu disampaikan setelah muncul dari banyak kalangan kiai NU yang telah mendaftarkan diri sebagai calon bupati di beberapa daerah.
Keterlibatan Kiai dalam Politik
Persoalan keterlibatan kiai dalam berpolitik harus dilihat dalam perspektif relasi antara Islam dan politik sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dan secara konseptual bersifat polyinterpretable. Bahwa pilihan kiai untuk ikut atau tidak terjun ke dunia politik tergantung kepada persoalan konsep tersebut. Saya lebih suka menggunakan istilah kiai daripada ulama’ untuk persoalan ini karena untuk menghindari kerancuan istilah selama ini. Kiai adalah term sosiologis yang lebih tepat diberikan kepada seseorang yang memiliki pengaruh spiritual di masyarakat atau pesantren dan pada umumnya di pedesaan, tetapi tidak seorang intelektual yang berada di kota. Sementara term ulama’ adalah khas al-Qur’an yang kadang tidak tepat untuk disandangkan kepada seseorang yang dijuluki kiai. Dengan begitu, kiai belum tentu seorang ulama’ atau ‘alim, seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an, termasuk perilaku kiai yang selama ini terjun ke dunia politik hanya karena persoalan kepentingan pribadi dan demi legitimasi status quo.
Secara teoretis dijelaskan oleh Asfar (Prisma, 1995:34), bahwa keaktifan atau ketidakaktifan seseorang dalam berpolitik dapat diartikan sebagai ekspresi atau kepercayaan orang tersebut terhadap sistem yang ada. Jika tingkat kepercayaan kiai terhadap sistem pemerintahan rendah, maka mereka tidak akan aktif bermain politik. Di Amerika Serikat, ketidakaktifan atau kegagalan memilih diartikan sebagai kelompok yang “bukan mendukung” terhadap sistem yang ada.
Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya kiai bersikap dalam politik praktis? Lepas dari perdebatan konseptual soal poliiterpretasi terhadap relasi antara Islam dan politik tadi, seharusnya kiai tetap mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar. Tentu dengan caranya sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Jika dilihat dari basis sosio-kulturalnya, memang kebanyakan kiai memilih wadah politiknya ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sebagian ke PPP. Karena sesuai dengan khittah-nya, warga NU secara individual diberi kebebasan untuk memilih wadah politiknya, dengan ungkapan yang populer: “NU tidak kemana-mana tetapi berada di mana-mana”. Jika dilihat dari latarbelakang sosialnya, PKB sebagai partai bersimbol Islam memang memiliki basis sosial terbesar di Indonesia, Tetapi apakah kebesaran basis sosial tersebut mampu mengantarkan PKB pada peran politiknya? Itu yang terus dipertanyakan oleh kebanyakan pengamat selama ini. Karena --sebagai partai yang berbasis santri, kiai dan NU-- manajemen organisasinya sangat tidak rapi, sehingga sering disebut sebagai “organisasi yang massanya besar tetapi perannya kecil”, rentan konflik dan mudah dijadikan ajang permainan penguasa.
Setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi PKB saat ini. Pertama adalah tantangan internal; kedua, tantangan eksternal dari partai-partai yang ada. Tantangan internal jauh lebih berat dibanding dengan tantangan eksternal, karena tantangan internal menyangkut soal soliditas dan kredebilitas partai. NU sebagai basis massa PKB sarat dengan konflik internal. Misalnya konflik masa lalu antara kubu Idham Chalid (Cipete) dengan kubu Gus Dur (Jombang) yang berlangsung lama yang akhirnya sangat mempengaruhi jalannya roda organisasi; antara kubu Gus Dur dengan Abu Hassan, lepas konflik tersebut disetting oleh pemerintahan Orde Baru saat itu atau tidak, yang jelas massa NU mudah dijadikan ajang permaianan. Dan sekarang ini kita semua tahu bagaimana terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh PKB, antara kepemimpinan Alwi Shihab dan Matori Abdul Jalil yang sudah tidak bisa dicarikan jalan keluarnya, artinya sudah tidak ada jalan ishlah. Jelas ini berpengaruh besar terhadap kebesaran partai yang seharusnya menjadi wadah partai umat Islam Indonesia, paling tidak wadahnya massa NU dan kaum santri.
Tantangan eksternal PKB adalah bagaimana PKB mampu bersaing dengan partai berbasis Islam lain, seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB) dan partai nasionalis yang mamiliki komitmen tinggi terhadap kepentingan partainya.
Kembali kepada soal keterlibatan kia, sebagai figur yang menjadi panutan umat dan massa di bawah, seharusnya kia tetap mengemban misi dan prinsip amar ma’ruf nahi munkar tadi. Amar ma’ruf nahi munkar sebetulnya tugas yang paling utama seorang kiai dalam melakukan transformasi sosial. Di dalamnya menyangkut persoalan penegakan terhadap keadilan, penegakan hak-hak asasi manusia dan demokratisasi, serta perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dan segala macam bentuk tirani dan kezaliman. Di sinilah sebetulnya kiai harus bereperan. Jika konsep yang demikian ini dipahami, saya kira tidak ada lagi seorang “kiai” yang mau menjadi tangan panjang penguasa yang korup, yang disebut oleh al-Ghazali sebagai ulama su’ (ulama buruk).
Komitmen kiai terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan harus tetap dijaga sebagai bentuk dari sikap ketundukan terhadap Tuhan. Dengan demikian berpolitik—kalau boleh disebut demikian—adalah menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai inilah yang harus tegak di dalam setiap masyarakat sehingga jauh dari praktik-praktik KKN. Saya kira Gus Dur benar ketika menegaskan bahwa Islam menjadi besar jika mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi dan kepentingan pribadi. Dan itulah sesungguhnya yang diemban oleh Nabi dalam risalahnya. Apa pun namanya yang dipraktekan Nabi dalam memimpin umat di Madinah sebetulnya tidak lepas dari urusan penegakan moral tersebut (Innama buistu liutammima husn al-akhlaq).
Dalam setting sosial Indonesia yang begitu cepat berubah seperti sekarang ini, kesadaran masyarakat sudah sedemikian varian, seiring dengan terbukanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi dan proses globalisasi. Dari aspek ini seringkali melahirkan kesadaran baru terhadap persepsi kepemimpinan, yaitu dari kepemimpinan individual menuju kepemimpinan kolektif. Gambaran sikap masyarakat terhadap kepatuhan kiai dan penguasa juga tidak mudah untuk diukur secara pasti. Memang dalam hal-hal tertentu sebagian masyarakat masih memiliki kepatuhan terhadap kiai bahkan tanpa reserve, misalnya dalam soal fatwa agama (sebut saja misalnya soal memilih jodoh). Tetapi tidak demikian dengan politik, otoritas kiai sudah mulai bergeser. Pergeseran otoritas kiai ini juga diakibatkan oleh pemahaman masyarakat yang semakin kritis dalam merespon doktrin agama.
Dalam hal relasi antara masyarakat, elit agama dan penguasa, persoalannya sebetulnya ada pada “kerjasama antara kiai dan penguasa (“ulama” dan umara’). Jika kerjasama yang dilakukan adalah menyangkut persoalan sosial-kemasyarakatan (keumatan) --bukan kolusi dan legitimasi terhadap kemunkaran yang dilakukan penguasa --saya kira justru yang dibutuhkan sekarang ini. Itulah perlunya “reposisi ulama” seperti yang ditulis Hadzik (Republika, 22 /07/1999). Kiai harus memposisikan diri sebagai kontrol kekuasaan, penyeiimbang hegemoni penguasa, dan penegak moral sebagaimana posisi setiap utusan Allah itu. Jika kesadaran ini terwujud dalam setiap elit agama (kiai), maka kemungkinan untuk mengembalikan citra politik kiai yang selama ini minor akan segera sirna
______________
*Penulis adalah Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Umat (LSPU) GNOSIS Malang.
Nomor Rekening: 253000289078901
BNI Kantor Cabang UNIBRAW Malang a.n. Drs. M. Zainuddin, MA.
(Author)