Pluralisme semula merupakan terminologi filsafat yang berkembang di dunia Barat. Istilah ini muncul dari pertanyaan ontologis tentang ”yang ada” (what is being?). Dalam menjawab pertanyaan tersebut kemudian muncul empat aliran yaitu: monisme, dualisme, pluralisme dan agnotisisme. Monisme beranggapan, bahwa ”yang ada” itu hanya satu, yang serba spirit, serba roh dan serba ideal. Aliran ini kemudian dikenal dengan monisme-idealisme yang dipelopori oleh Plato. Dualisme beranggapan, bahwa ”yang ada” itu terdiri dari dua hekikat, yaitu materi dan roh. Aliran ini dipelopori oleh Descartes. Pluralisme beranggapan ”yang ada” itu tidak hanya terdiri dari materi dan roh atau ide, melainkan terdiri dari banyak unsur. Lalu agnotisisme mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat materi maupun rohani termasuk juga yang mutlak dan transenden.[1]
Dalam pandangan selanjutnya, pluralisme beranggapan, bahwa kebenaran tidak hanya datang dari sumber yang satu, yang serba ideal, melainkan juga berasal dari sumber lainnya, yang bersifat plural. Pandangan ini dipelopori oleh Leibniz dan Russel. Di Inggris pluralisme semakin populer pada awal abad 20 melalui para tokoh seperti F. Maitland, S.G. Hobson, Harold Laski, R.H. Tawney dan GDH Cole.[2]
Wacana pluralisme yang digulirkan oleh baik John Locke (1634-1704), Leibniz (1664-1716) maupun Rousseau (1712-1778) dilakukan untuk menetralisir kontroversi antara Gereja Anglikan dan Gereja Katolik serta kemunculan denominasi (sekte-sekte) yang ada dalam Protestan. Dari sinilah kemudian para filsuf itu menggagas perlunya kebebasan beragama, tanpa ada dominasi kelompok mayoritas Katolik terhadap minoritas Protestan di Perancis abad 17.[3]
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Haryatmoko,[4] bahwa ajaran toleransi dan kebebasan beragama yang digagas oleh Locke, terdapat tiga poin: pertama, hanya ada satu jalan atau agama yang benar; kedua, tidak seorangpun yang akan diselamatkan bila tidak percaya pada agama yang benar; ketiga, kepercayaan tersebut diperoleh manusia melalui akal budi dan argumen, bukan melalui kekuatan untuk mempropagandakan kebenaran dan keselamatan. Oleh karena itu tidak seorangpun, baik secara pribadi maupun kelompok dan bahkan lewat institusi berhak menggunakan kekuatan untuk tujuan tersebut. Sejalan dengan Locke, keprihatinan Leibniz terhadap konflik Katolik-Kristen yang berujung perang selama 30 tahun (1618-1645) mendorongnya untuk berpikir secara plural. Dalam pandangan Leibniz, dunia ini terdiri dari bagian-bagian kecil atau substansi-substansi sederhana yang disebut monade, setiap monade mencerminkan dunia secara keseluruhan (universal). Oleh sebab itu, konflik atau perang berarti berlawanan dengan harmoni universal dunia.[5]
Sementara itu menurut Muhammad Legenhausen, terdapat lima macam wajah pluralisme agama: pertama, pluralisme agama moral (moral-religious pluralism). Pluralisme agama ini menyeru kepada semua pihak, khususnya umat Kristiani untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan agama lain, menjauhkan arogansi dan menyebarkan toleransi. Tokoh pencetus pluralisme agama ini adalah Fridrich Schleiermacher, Rudolf Otto dan secara par-exellence adalah John Hick. Legenhausen menyebutnya sebagai pluralisme religius-normatif (religious-normative pluralism); kedua, pluralisme agama soteriologis (soteriological-relgious pluralism). Pluralisme agama ini berpandangan, bahwa selain umat Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Pluralisme agama ini merupakan lanjutan dari pluralisme religius-normatif; ketiga, pluralisme agama epistemologis (epistemological-religious pluralism). Pluralisme agama ini menegaskan, bahwa umat Kristiani tidak memiliki pembenaran (justification) yang lebih mantap atas keimanan mereka dibandingkan para penganut agama lain. Oleh kerena itu para penganut agama-agama besar di dunia ini memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi keyakinan agama --yang menurut Hick-- paling tepat ditemukan dalam pengalaman keagamaan (religious experience); keempat, pluralisme agama aletis (alethic-religious pluralism). Pluralisme agama ini menegaskan, bahwa kebenaran agama harus ditemukan dalam agama-agama selain Kristen dengan derajat yang sama sebagaimana yang dapat ditemukan dalam agama Kristen; kelima, pluralisme deontis (deontic-religious pluralism). Menurut pluralisme agama ini, bahwa pada beberapa daur sejarah tertentu (diachronic), Tuhan memberikan wahyu untuk umat manusia melalui seorang nabi atau rasul. Perintah dan kehendak Ilahi ini terus menyempurna dan melahirkan keragaman tradisi agama. Ditetapkannnya Muhammad sebagai pembawa risalah Islam terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi agama, sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu terakhir ini sebagai konsekuensi dari pengamalan dan pelaksanaan perintah Ilahi.[6]
Dalam konteks ini, terdapat dua kelompok pemikiran besar dalam merespon pluralisme agama tersebut. Kelompok pertama menganggap bahwa pluralisme agama sebagai sesuatu yang niscaya (conditio sin quanon), sedangkan kelompok kedua menganggap bahwa pluralisme agama sebagai paham dan bukan hal yang niscaya.
Menurut kelompok yang menolak pluralisme agama berpendapat, bahwa ”pluralitas agama” dan ”pluralisme agama” merupakan dua hal yang berbeda. Pluralitas agama adalah kondisi di mana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan ”pluralisme agama” adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan merupakan agenda penting globalisasi. Oleh karena itu menganggap ”pluralisme agama” sebagai sunnatullah adalah claim yang keliru dan berlebihan.[7]
Di Barat sendiri terdapat dua aliran besar terkait dengan hal di atas, yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan agama-agama (trancendent unity of religions), atau dengan istilah lain, paham ”modern” dan paham ”tradisional”. Munculnya kedua aliran di atas dilatarbelakangi oleh motif yang berbeda. Bagi aliran pertama (modern) yang pada umumnya diwarnai oleh perspektif sosiologis, motif utamanya adalah tuntutan modernisasi dan globalisasi. Atas dasar ini, maka agama harus dikaitkan dengan dua tuntutan dimaksud. Gagasan yang ditawarkan oleh kelompok ini adalah konsep dunia tanpa batas geografis, kultural, ideologis, teologis dan seterusnya. Artinya, semua identitas tersebut harus dilebur dengan zaman modern. Mereka yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan pada gilirannya akan saling mendekat, tidak ada perbedaan, alias ”semua agama sama”.[8]
Sementara aliran kedua (tradisional) yang pada umumnya menggunakan pendekatan filosofis dan teologis, justru menolak dua tuntutan modernisasi dan globalisasi tersebut yang cenderung mengetepikan agama. Kelompok ini berusaha mempertahankan eksistensi agama dan tradisi-tradisinya melalui pendekatan religius-filosofis. Agama tidak bisa begitu saja diubah sesuai tuntutan zaman, modernisasi atau globalisasi. Namun kelompok ini kemudian juga menawarkan konsep yang diambil secara paralel dari tradisi-tradisi agama. Salah satu konsep utamanya adalah ”Sophia-Perrenis” (al-hikmah al-khalidah), atau dalam Hindu disebut Sanata Dharma.[9]
Senada dengan penjelasan tentang latar belakang munculnya pluralisme agama ini, Anis Malik Thoha[10] mengungkapkan, bahwa pluralisme agama muncul dilatarbelakangi oleh maraknya pemikiran liberalisme di bidang sosial politik yang menandai tatanan dunia abad modern. Agama harus mampu menyesuaikan diri dengan wacana-wacana modern-global, seperti: HAM, demokrasi, egalitarianisme, dan pluralisme. Jika proses liberalisasi politik di Barat telah melahirkan ”pluralisme politik”, maka liberalisasi agama juga melahirkan ”pluralisme agama”, yaitu memposisikan semua agama sebagai sama benarnya. Dengan demikian menurut Anis, pluralisme agama lahir dari rahim liberalisme politik. Di antara tokoh pengusung mazhab pluralisme agama ini adalah Ernst Troeltsch (1865-1923), seorang teolog Kristen liberal yang menganggap bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam semua agama, alias bersifat relatif. Lalu diikuti oleh tokoh lain seperti William E. Hocking dan Arnold Toynbee (1889-1975).
Menurut Anis, pluralisme agama di dunia Islam masih merupakan wacana baru dan tidak memiliki akar ideologis atau teologis yang kuat. Ide pluralisme agama di dunia Islam adalah akibat dari pengaruh penetrasi Barat modern yang muncul pada masa perang dunia kedua, yaitu ketika para generasi muda Islam telah mengenyam pendidikan Barat.[11] Ide pluralisme ini kemudian menyusup ke pemikiran Islam melalui karya-karya mistikus Barat Muslim seperti Fritjhof Schuon,[12] Rene Guenon[13] dan seterusnya. Di Barat dikenal nama-nama seperti: John Hick, W.C. Smith, T.S. Eliot, Titus Burckardt, Hans Kung, Huston Smith, J.B. Cobb, Raimundo Panikkar, dan seterusnya.
Kritik Anis, bahwa pluralisme agama pada hakikatnya tidak lebih baik --kalau tidak malah lebih buruk-- dari claim-claim sebelumnya, karena claim pluralisme agama tidak saja merelatifkan claim-claim kebenaran agama yang ada, tetapi sebenarnya juga ingin menghegemoni claim-claim tersebut, sehingga hanya claim pluralisme saja yang dianggap mutlak benar dan justru tidak toleran. Oleh sebab itu claim pluralisme ini sangat problematik dan berbahaya bagi kehidupan religius dan spiritual manusia, karena istilah pluralisme agama selama ini telah dipahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal dan logika positivisme Barat. Akibatnya agama dianggap sebagai human response yang hanya bersifat sosiologis. Anis kemudian berkesimpulan, bahwa claim kebenaran pluralisme agama tidak saja inconsistent, tetapi malah inaplicable.[14]
Di kalangan agamawan Indonesia, baik Islam maupun Kristen, pluralisme agama juga direspon dan dimaknai secara berbeda-beda (terdapat pro dan kontra). Bagi kelompok Islam radikal seperti Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), dengan tegas mereka menolak pluralisme agama. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ismail Yusanto, juru bicara HTI, bahwa pluralisme agama adalah absurd. Senada dengan Anis, Yusanto menegaskan, bahwa pluralisme agama adalah paham dari Barat yang dikembangkan dari teologi inklusif yang bertentangan dengan QS. 3: 85; “Barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi”. Berdasarkan ayat tersebut, Yusanto yakin, bahwa kebenaran hanyalah milik dan monopoli umat Islam.[15] Di kalangan Kristen, pandangan ini sudah dikenal lama bahkan sejak abad pertama, sehingga dikenal ungkapan extra ecdesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja). Tokohnya antara lain Karl Bath dan Hendrick Kraemer dan pada umumnya para teolog evangelis.[16]
Sementara itu Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme agama adalah pluralisme dalam pengertian, bahwa "semua agama adalah sama". Karena menurut MUI, implikasi pemahaman seperti ini akan mengubah aspek-aspek baku dari suatu ajaran dengan mengikuti ajaran lain, yang demikian itu tidak dikehendaki oleh ajaran manapun.[17] Sejalan dengan MUI, Frans Magnis Suseseno[18]juga tidak setuju dengan paham relativisme agama-agama ini. Menurut Suseno, pluralisme bukanlah relativisme dan bukan pula paham yang mengakui bahwa semua agama adalah sama benarnya, melainkan pluralisme adalah suatu realitas yang harus diterima bahwa manusia hidup bersama dalam keberbedaan baik budaya maupun agama. Di sini Suseno meniscayakan “pluralisme”, tetapi tidak dalam pengertian “relativisme”.
Teologi inklusif dan pluralis dikembangkan untuk mendukung upaya dialog antar agama. Dari kalangan Kristen, nama-nama seperti Karl Rahner, Raimundo Panikkar, George Khodr dan Hans Kung dikenal sebagai tokoh-tokoh inklusif, sementara W.C. Smith, Paul Kritter dan John Hick dianggap sebagai tokoh-tokoh pluralis. Di kalangan Islam, teologi inklusif dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Thabathaba’i, dan Jawad Mughniyah. Mereka ini mendasarkan pandangannya pada Q.S. al-Baqarah (2): 62 dan al-Maidah (5): 69, yakni ayat-ayat yang menjanjikan keselamatan kepada penganut agama Kristen, Yahudi dan Shabi’in. Sementara itu Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan Fazlurrahman dianggap sebagai tokoh-tokoh yang mewakili pandangan pluralis. Sebagai contoh, Fazlurrahman yang berpegang pada semangat al-Qur’an surat al-Baqarah (2):148 dan al-Maidah (5):48 menegaskan tentang arti pentingnya perbedaan agama dan agar setiap pemeluk agama saling kompetitif untuk berbuat kebajikan bukan sebaliknya, saling bermusuhan, dan di akhirat kelak Tuhan akan menjelaskan perbedaan-perbedaan itu.[19] Di kalangan Muslim Indonesia, yang tergolong inklusif misalnya Mukti Ali, Alwi Shihab dan Abdurrahman Wahid, sementara yang tergolong pluralis seperti Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural ditinjau dari berbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya maupun agama. Ini artinya, bahwa pluralitas merupakan realitas dan keniscayaan bagi masyarakat Indonesia. Menurut Heldred Geertz, sebagaimana yang dikutip oleh Zada,[20] bahwa di Indonesia terdapat lebih dari tiga ratus etnis, masing-masing etnis memiliki budayanya sendiri dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa yang digunakan, dan hampir semua agama besar dunia terdapat di dalamnya selain dari ragam agama asli itu sendiri. Seperti pengamatan Coward,[21]bahwa setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Oleh sebab itu, pluralisme agama jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh masing-masing pemeluk agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.
Menurut Abu Rabi’,[22] meski Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos pluralisme keagamaan sejak Indonesia merdeka, namun potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen anti-Kristennya tetap terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu menurut Rabi’, aspirasi politik-keagamaan yang berkembang akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan moderasi, dan ini merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana keagamaan pasca-modern.
BIBLIOGRAFI
Abu Rabi’, “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century” Jurnal Studia Islamika (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998).
Anis Malik Thoha, “Wacana Kebenaran Agama dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Gagasan Pluralisme Agama)”, Makalah (Malang: UMM, 2005).
Budhy Munawar Rahman, “Pluralisme dan Teologi Agama-Agama Kristen-Islam”...,
Coward, ”Religious Pluralism and the Future of Religions” dalam Thomas Dean (ed), Religious Pluralism and Truth Essays on Cross Cultural Philosophy of Religion (State University of New York Press, 1995).
Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989).
Frans Magnis Suseno, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekerjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006).
Frans Magnis Suseno, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekserjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006).
Hamami Zada, “Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia” dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-Ford Foundation, 2006).
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2 (Jakarta: Kanisius, 1980).
Haryatmoko, Pluralisme Agama dalam Perspektif Filsafat, Diktat Kuliah Filsafat Ilmu (Yogyakarta: PPS IAIN Sunan Kalijaga, 1999).
http://id.wikipedia.org/wiki/polemik Pluralisme Agama di Indonesia.
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006).
Majalah Islamiya dalam Pengantar, Tahun I No. 3 (September-Nopember 2004).
Muhammad Legenhausen, Islam and Religious pluralism, terjemah Arif Mulyadi dan Ana Farida (Jakarta: Lentera Basritama, 2002).
Muhyar Fanani, “Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide Pluralisme Agama dan Nasionalisme di Barat’ dalam Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam (Salatiga: P3M STAIN Salatiga, 2003).
Nurcholish Madjid et.al., Fiqh Lintas Agama: Membangun Maysrakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004), 207. Bandingkan dengan Jamal al-Bana, Al-Ta’addudiyyah fi Mujtama Islamy (Kairo: Dar al-Fikr al-Ismay, 2001).
Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sari Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 2002).
Sumbulah, “Islam Radikal dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial Aktivis Hizbut Tahrir dan Majlis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi”, Disertasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2006).
[1]M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006), 25-26.
[2]Lihat pula Muhyar Fanani, “Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide Pluralisme Agama dan Nasionalisme di Barat’ dalam Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam (Salatiga: P3M STAIN Salatiga, 2003), 19.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2 (Jakarta: Kanisius, 1980), 36.
[4]Haryatmoko, Pluralisme Agama dalam Perspektif Filsafat, Diktat Kuliah Filsafat Ilmu (Yogyakarta: PPS IAIN Sunan Kalijaga, 1999).
[5] Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sari Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 2002), 370.
[6]Muhammad Legenhausen, Islam and Religious pluralism, terjemah Arif Mulyadi dan Ana Farida (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), 8-10.
[7]Majalah Islamiya dalam Pengantar, Tahun I No. 3 (September-Nopember 2004), 5-6.
[8]Ibid.
[9]Ibid., 7
[10]Anis Malik Thoha, “Wacana Kebenaran Agama dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Gagasan Pluralisme Agama)”, Makalah (Malang: UMM, 2005), 60-61.
[11]Ibid.
[12]Setelah masuk Islam berganti nama Isa Nuruddin Ahmad.
[13] Setelah masuk Islam berganti nama Abdul Wahid Yahya.
[14] Anis, Ibid, 67-72.
[15]Sumbulah, “Islam Radikal dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial Aktivis Hizbut Tahrir dan Majlis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi”, Disertasi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2006), 13.
[16]Budhy Munawar Rahman, “Pluralisme dan Teologi Agama-Agama Kristen-Islam”..., 171. Lebih detail pembahsan ini bisa dibaca dalam tulisan Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 31-86.
[17]http://id.wikipedia.org/wiki/polemik Pluralisme Agama di Indonesia.
[18]Lihat Frans Magnis Suseno, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekerjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006), 13-26.
[19]Nurcholish Madjid et.al., Fiqh Lintas Agama: Membangun Maysrakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004), 207. Bandingkan dengan Jamal al-Bana, Al-Ta’addudiyyah fi Mujtama Islamy (Kairo: Dar al-Fikr al-Ismay, 2001), 27.
[20]Hamami Zada, “Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia” dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam (Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-Ford Foundation, 2006), 184
[21]Coward, Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama... ,167. Lihat pula Coward, ”Religious Pluralism and the Future of Religions” dalam Thomas Dean (ed), Religious Pluralism and Truth Essays on Cross Cultural Philosophy of Religion (State University of New York Press, 1995), 45. Bandingkan dengan Frans Magnis Suseno, “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? (Diktis Depag RI bekserjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006), 13.
[22]Abu Rabi’, “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century” Jurnal Studia Islamika (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), 2.