Dalam konteks Indonesia, sejak berabad-abad yang lalu di Kepulauan Nusantara sudah terdapat berbagai agama: Hindu, Budha dan pelbagai kepercayaan, baik animisme maupun dinamisme. Kecenderungan sinkretisme yang mencampurkan berbagai agama yang ada juga menjadi warna tersendiri terutama di Pulau Jawa. Secara akademis membincangkan persoalan agama di keraton-keraton Jawa oleh elit agama juga merupakan tradisi yang tidak asing. Menurut Onghokham,
[1]mereka bersikap saling toleran, tanpa perasaan emosi. Namun di sisi lain perbedaan agama atau pendapat mengenai teologi juga seringkali mengakibatkan konflik berdarah.
Pola relasi antaragama pada masa lalu sangat dipengaruhi oleh politik stelsel dan politik keagamaan pemerintah kolonial. Masing-masing dibiarkan dalam sebuah relasi antitesis, persaingan. Sementara Pemerintah kolonial melakukan politik keagamaan yang hanya bertendensi pada dogma (ajaran) bukan etika (perilaku). Akibatnya kehidupan keagamaan kehilangan inspirasi bagi umatnya. Oleh elit penguasa kolonial, komunikasi antarumat beragama dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak berjalan secara bebas dan terbuka.
[2]
Sejak abad ke-19 M, agama-agama muncul dalam sebuah fase formatif yang ditandai oleh upaya untuk merumuskan ajaran-ajaran dan pendidikan yang dirasa cocok dengan tantangan yang muncul saat ini. Kontak hubungan dengan pusat-pusat keagamaan di luar negeri menyebabkan munculnya gerakan purifikasi agama. Ortodoksi agama-agama kemudian menjadi ciri yang menonjol, misalnya Kristen menjadi westernis, begitu pula Islam menjadi Arabis, Hindu menjadi Indianis, sementara Budha menjadi Srilangkais dan Thailandis. Kecenderungan semacam ini kemudian menimbulkan problem relasi antaragama, misalnya stigma sejarah yang pahit tentang Perang Salib turut terbawa-bawa ke Indonesia, begitu pula perang antara Protestan dan Katolik dalam sejarah Eropa yang sama-sama menimbulkan trauma sejarah. Daftar panjang ”perang agama” bisa ditambah dengan konflik-konflik di zaman modern sebagaimana yang terjadi di Irlandia Utara, Libanon, Israel, Bosnia dan lain-lain.
[3]
Ketika agama Kristen masuk ke Indonesia (dulu Nusantara), hampir sebagian besar penduduknya telah memeluk agama Islam. Kedua agama tersebut sama-sama merupakan agama pendatang bagi bangsa Indonesia. Agama Kristen masuk ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan bangsa Barat (kolonial) pada abad ke16-17 M, sedangkan agama Islam datang lebih awal (abad 9-10 M) melalui para pedagang Muslim dari Arab, Persia (Iran), atau India (Gujarat).
[4]
Sebetulnya akar konflik Islam-Kristen itu sudah terjadi sejak awal sebelum perjumpannya di Indonesia. Menurut Cooley,
[5] sejak awal hubungan antara umat Islam dan Kristen di Indonesia sudah menunjukkan ketegangan, karena sebelum masuk ke Indonesia kedua agama tersebut telah terlibat persaingan dan konflik di Asia Barat, Afrika Utara dan Eropa Barat. Konflik itu kemudian terbawa hingga kedua agama tersebut bertemu di Indonesia. Salah satu konflik itu menurut Nurcholish Madjid
[6] adalah karena faktor ekonomi. Kadatangan orang-orang Barat, baik Portugis, Inggris maupun Belanda ke wilayah Asia Timur, termasuk Indonesia tujuannya adalah untuk membebaskan ketergantungan ekonomi mereka kepada Dunia Islam, yang saat itu menguasai perekonomian dunia. Tetapi Cooley berkesimpulan, bahwa aspek politik merupakan faktor dominan yang mempengaruhi hubungan Islam dan Kristen di Indonesia.
Senada dengan Madjid dan Cooley, Siraj
[7] menegaskan, bahwa ketegangan hubungan Kristen-Islam bukanlah disebabkan oleh faktor akidah atau keyakinan. Namun seperti pada masa Perang Salib, faktor politis dan ekonomis lebih banyak berperan. Secara politis, posisi Kristen sebagai agama yang dibawa kolonialisme Belanda memberikan citra yang kurang menguntungkan bagi umat Islam. Dengan demikian, Kristen diidentikkan dengan penjajah. Ketegangan ini ditambah lagi dengan situasi politik di Indonesia sejak awal 1970-an. Untuk mengukuhkan
status qua, rezim Orde Baru memasukkan sebagian kalangan non-Muslim ke dalam lingkaran birokrasi dan sumber-sumber ekonomi. Pada saat yang sama, Orde Baru juga meminggirkan umat Islam dari lingkaran politik dan sumber daya ekonomi. Wajar jika kemudian muncul isu agama dalam situasi ketimpangan tersebut. Umat Islam pun secara politis menentang kebijakan negara, dan kadang meluap dalam bentuk gerakan Islam radikal. Kecurigaan pun kian menumpuk di antara umat Islam dan umat Kristiani. Di satu sisi, sejumlah kelompok mendapatkan keistimewaan negara sehingga lahirlah para konglomerat dan kelompok kaya baru yang banyak mendapat fasilitas penguasa saat itu. Sementara di sisi lain, mayoritas umat Islam tergeser ke pinggir, maka muncullah kesenjangan ekonomi yang berujung pada krisis berkepanjangan, yang sewaktu-waktu bisa meledak dalam sekian bentuk kerusuhan dan konflik bernuansa agama. Persoalan kian ruwet karena perpolitikan Indonesia masih jauh dari sistem demokrasi yang sesungguhnya. Dengan demikian, kekeruhan hubungan Islam-Kristen tidak jarang dilatarbelakangi nuansa politis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri.
Faktor lain yang memicu ketidakmesraan hubungan umat Islam dan Kritiani menurut Siraj,
[8] juga tak lepas dari problem pemahaman umat Islam yang masih dangkal terhadap ajaran yang dianut. Dengan pengetahuan agama yang sangat dangkal itu, mereka sering mengaku sebagai pemimpin umat yang mewakili mayoritas bangsa Indonesia. Salah satu contoh kedangkalan tersebut tampak dari upaya beberapa orang yang mengaku sebagai cendekiawan yang ingin mengganti Pancasila dengan asas Islam, sehingga baginya negara Islam itu haruslah diwujudkan. Pemikiran yang mengarah pada pembentukan negara teokrastis ini tentu perlu kita pertanyakan. Benarkah Nabi Muhammad sebagai sosok teladan umat Islam memiliki ajaran seperti itu?
Di sinilah, kedua agama tersebut saling menanamkan rasa kebencian. Barat, sebagai representasi Kristen sambil melakukan ekspansi ekonomi ke Indonesia membawa misi kristenisasi, sementara Islam melihat Barat di samping sebagai kolonial juga sebagai pembawa misi kristenisasi yang harus dihadapi. Keduanya sama-sama memiliki kepentingan dan membawa potensi konflik, baik pada masa kolonial, Orde Lama maupun Orde Baru.
Dengan demikian jika ditinjau dari perspektif sejarah, pada masa kolonial ketegangan hubungan antara umat Islam dan Kristen lebih dipicu oleh kegiatan penginjilan (misionaris) yang mendapat bantuan besar dari pemerintahan penjajah Belanda, baik bantuan politik maupun finansial. Sementara pada masa Orde lama ketegangan antarkedua komunitas umat beragama tersebut mencuat saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang Konstituante hasil Pemilu 1955. Dalam pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan ”tujuh kata”
[9] yang bernuansa Islami, yang oleh kaum Kristen dianggap sebagai upaya pembentukan negara Islam, lantas pada akhirnya dihapuskan.
[10] Namun demikian, menurut Rabi’, keputusan para pendiri Republik Indonesia --yang sebagian besar juga terdiri dari pemuka-pemuka agama Islam-- untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dapat ditunjuk sebagai upaya sungguh-sungguh dalam mencari sistem kenegaraan yang menjamin kerukunan dan pluralisme keagamaan.
[11]
[1]Onghokham, ”Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah” dalam Th Sumartana et.al.
Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 1993), 154.
[2]Th. Sumartana, “Dari Konfrontasi ke Dialog: Beberapa Aspek Landasan Historis-Teologis Hubungan Antaretnis dan Agama di Indonesia” dalam Th. Sumartana et.al.
Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: institut DIAN/Interfidei, 2005), 99.
[4]Sudarto,
Konflik Islam-Kristen: Menguak Akar Masalah Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 1999), 71-72.
[7]Lebih jauh terkait dengan pandangan relasi Islam-Kristen ini dapat dibaca karya Said Aqil Siraj, "Merumuskan Teologi Kerukunan: Pengalaman Islam-Kristen Mengelola Perbedaan di Indonesia" dalam Said Aqil Siraj,
Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006), 302-333. Dalam bab ini Siraj menjelaskan secara kronologis, bagaimana relasi antarkedua agama tersebut berjalan secara harmonis yang terbangun pada zaman Nabi Muhammad saw. bersama elit agama di masanya. Demikian pula relasi kedua agama smitik tersebut dilihat dalam pandangan sufistik.
[9]Tujuh kata tersebut adalah: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dari rangkaian kata dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu: “Negara didasarkan pada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
[10]Sudarto,
Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar umat Beragama di Indonesia, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 79-80. Secara mendetail, perjumpaan Kristen-Islam dari masa ke masa (dari Masa Portugis 1511-1799 hingga masa Reformasi 1998-2003) bisa dibaca dalam buku Pdt. Jan S. Aritonang,
Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004).
[11]Lihat Abu Rabi’, “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century” Jurnal
Studia Islamika. (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998). Secara mendetail, perjumpaan Kristen-Islam dari masa ke masa (dari Masa Portugis 1511-1799 hingga masa Reformasi 1998-2003) bisa dibaca dalam buku Pdt. Jan S. Aritonang,
Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004).