TEOLOGI ANTROPOSENTRIK AJARAN KORBAN
Dr. HM. Zainuddin, MA Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 1778 views
Bangsa Indonesia sudah saatnya untuk introspeksi dan mawas diri, karena bencana yang telah ditimpakan kepada kita sudah hampir sempurna. Jika kita amati, dalam dasawarsa terakhir ini bencana yang menimpa kita sudah cukup banyak, mulai dari krisis ekonomi tahun 1997 hingga bencana alam, baik yang berupa: gunung meletus, banjir, gempa bumi, angin puting beliung, demam berdarah, flu burung, kecelakaan transportasi baik di darat, laut maupun udara, disusul dengan kerusuhan sosial dan teror bom di mana-mana yang mengakibatkan rasa tidak aman, pengungsian, kelaparan dan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Dan yang masih terngiang dalam ingatan kita adalah, bencana Tsunami di Aceh yang menelan korban ratusan ribu jiwa manusia. Belum selesai duka Aceh, kemudian disusul dengan gempa di Nias dan Yogyakarta yang tak kalah dahsyatnya. Lantas yang masih berlangsung hingga saat ini adalah musibah yang menimpa saudara-saudara kita di dua tempat: gempa di Mentawai, Sumatra Barat dan letusan gunung Merapi di Yogyakarta. Nampaknya sudah sempurnalah bencana yang menimpa bangsa ini. Berikutnya kita tidak tahu, bencana apalagi yang akan menimpa.   Dimensi Sosial Korban Dalam konteks ajaran korban (udhiyah), Nabi Ibrahim As. adalah figur manusia teladan yang bersedia berkorban untuk memberikan kemanfaatan kepada orang lain sebagai manifestasi tauhid. Ibadah korban merupakan manifestasi ajaran tauhid yang tidak terlepas dari semangat pemupukan jiwa solidaritas sosial di sekitar kita, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Hajj ayat 27-28: Dan berserulah kepada manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta (yang lurus) yang datang dari segenap penjuru  yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut asma Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah berikan kepada mereka, berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Memberi makan kepada orang-orang yang sengsara lagi fakir dalam konteks maraknya bencana seperti sekarang ini, adalah perbuatan yang amat terpuji. Ith’am al bais al-faqir, adalah merupakan satu kesatuan ayat yang tidak bisa dipisahkan dari inti ajaran tauhid dan sosial. Di samping itu, semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bagi setiap muslim merupakan tanggung jawab bersama yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun secara kolektif. Jika kita gali lebih dalam sesungguhnya ibadah korban itu lebih dari sekadar ibadah simbolik dengan menyembelih binatang ternak, tetapi ia sarat dengan nilai-nilai substansial dan fundamental. Umat Islam tidak diperintahkan berkorban dan kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir-miskin, begitu setiap tahun dilakukan ramai-ramai, tetapi pada saat yang sama mereka juga mengorbankan fakir-miskin tersebut untuk kepentingan pribadi, ambisi politiknya dan segala macam bentuk mengorbankan orang lainnya. Yang diperintahkan oleh Allah Swt kepada umat Islam adalah berkorban untuk melahirkan nilai-nilai takwa, bukan membuat orang lain jadi korban atau terkorbankan seperti yang terjadi selama ini. Itulah maka Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Bukan daging dan darahnya yang sampai kepada Allah, melainkan takwamu”. (QS. Al-Hajj:37). Jika kita perhatiakn secara cermat, bahwa semua amal ibadah dalam ajaran Islam  pada hakikatnya merupakan penjabaran dari pelaksanaan tanggung jawab sosial yang erat kaitannya dengan upaya hubungan kemanusiaan dan peningkatan kesejahteraan sosial, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji dan syariat korban ini. Misalnya ibadah puasa mengandung hikmah menumbuhkan rasa kasih sayang kepada kaum dhuafa’. Zakat, infaq dan shadaqah memiliki hikmah memberantas sifat kikir dan membantu kaum mustadh’afin dan mengentas kemiskinan. Demikian juga ibadah haji memupuk jiwa ketundukan kepada Tuhan dan memahami makna egalitarianisme dalam masyarakat. Dengan demikian semua ajaran dan ibadah dalam Islam selalu terkait dengan relasi vertikal dan horizontal, hablun minallah wa hablun minannas. Oleh sebab itu, orang Islam tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini Rasulullah saw. sangat benci terhadap orang Islam yang bersikap acuh terhadap kepentingan masyarakat dan mengabaikan perjuangan agamanya. Kesediaan orang mukmin meyembelih ternak korban sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi Ibrahim As. merupakan wujud implementasi iman untuk lebih mendekatkan diri  (taqarrub) kepada Allah Swt. dengan rasa taat dan ikhlas  karena Allah semata. Kemudian daging korban yang  dibagi-bagikan kepada fakir-miskin itu, secara kongkret telah menunjukkan kepedulian orang-orang beriman untuk turut melaksanakan ajaran keadilan sosial dan rasa kesetiakawanan yang diajarakan oleh Islam. Sebab, ibadah korban jelas merupakan pengamalan ajaran  Islam yang melambangkan rasa solidaritas dan kasih sayang antarsesama manusia. Perintah korban juga merupakan manifestasi kongkret seberapa jauh Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa memiliki kepedulian sosial di sekelilingnya. Di samping itu semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap muslim merupakan tanggung jawab bersama yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun kolektif, terutama bagi para pemimpin bangsa. Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka dituntut untuk berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan lahir dan batin, pembangunan manusia seutuhnya, bukan dalam slogan-slogan, tetapi diwujudkan secara kongkret dalam masyarakat. Dalam konteks relasi sosial-Islam, Rasulullah Saw. sangat membenci terhadap orang Islam yang bersikap acuh terhadap kepentingan masyarakat dan mengabaikan perjuangan agamanya. Ibadah korban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim juga sejatinya lebih dari sekadar menyembelih ternak korban untuk dibagi-bagikan kepada fakir dan msikin, tetapi secara substansial ia merupakan ibadah memerangi egoisme dan menyerahkan jalan hidup ini hanya kepada Tuhan semata. Tidak akan pernah terjadi seorang ayah yang karena perintah Allah Swt. bersedia menyembelih anak kesayangannya untuk dijadikan korban sebagaimana Nabi Ibrahim. Demikian pula Ismail As, yang dengan ikhlas dan lapang dada menerima perintah tersebut untuk dikorbankan. Karena kesabaran dan keteguhan imannya itulah kemudian Allah Swt. menggantikannya dengan seekor ternak sembelihan. Peristiwa tersebut merupakan ujian yang amat berat yang harus ditanggung oleh pemimpin keluarga. Itulah profil pemimpin yang mampu memerangi sikap egoisme demi memenuhi perintah Allah Swt. dan karena kekuatan imannya. Dari deegoisme inilah kemudian melahirkan sikap toleran dan peduli sosial dari figur seorang pemimpin. Kita perlu belajar dari peristiwa korban seperti yang dialami oleh Nabi kita Ibrahim As. seorang figur pemimpin yang jauh dari sikap egois, dan bebas dari  godaan dan rayuan materi. Nabi Ibrahim saat itu sempat tergoda oleh rayuan dan bujukan syetan, supaya membatalkan niat berkorban. Tetapi karena kekokohan imannya itulah beliau mampu mengatasi segala macam godaan dan cobaan tersebut dan berhasil melepaskan kepentingan pribadinya dan individualnya untuk tujuan yang lebih mulia, yaitu nilai-nilai kemanusiaan universal.***           ______________ *Penulis adalah Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up