Pluralisme agama merupakan issu yang sangat popular di kalangan agamawan maupun para akademisi. Sejak pulralisme agama dieksternalisasi oleh agama Kristen Protestan di Barat, sejak itu issu tersebut sangat fenomenal dan menyejarah. Tidak hanya di kalangan agamawan Kristen, tetapi juga di kalangan agamawan Islam.
Di Indonesia, issu pluralisme agama menjadi marak setelah diusung oleh Nurcholish Madjid, Mukti Ali, Djohan Efendi, dan pada tahun-tahun terakhir ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, Budhy Munawar Rahman dengan Paramadina-nya, Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya. Di kalangan agamawan Indonesia, baik Islam maupun Kristen, pluralisme agama juga direspon dan dimaknai secara berbeda-beda (terdapat pro dan kontra).
Dalam konteks relasi antarumat beragama, kota Malang memiliki ciri khas tersendiri, misalnya terlihat adanya relasi dan komunikasi yang terjalin antarelit agama (kiai, pendeta, pastur dan sebagainya) dan intelektual (dosen, kalangan profesional dan mahasiswa). Relasi ini termanifestasi dalam keterlibatan mereka secara aktif dalam dialog dan kerjasama sosial maupun akademik. Hal ini dilakukan sebagai upaya penyadaran akan pemahaman ritual dan tradisi di antara kedua agama besar tersebut. Namun di sisi lain, hubungan yang disharmonis di antara umat Islam dan Kristiani di kota Malang ini juga masih terjadi, sehingga perselisihan pun tak dapat terelakkan, misalnya kasus VCD training doa yang mencaci-maki al-Qur’an oleh sebuah Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI) di hotel Asida, Batu beberapa waktu lalu, yang sempat memicu kemarahan keras umat Islam di Malang. Oleh karenanya dalam konteks relasi antarumat beragama di kota ini masih menyisakan problem dan sekaligus tantangan yang harus dihadapi bersama oleh elit agama. Salah satunya adalah bagaimana sesungguhnya konstruksi elit agama tentang pluralisme dan dialog antarumat beragama?
Formasi Sosial Elit Agama
Terdapat dua formasi sosial elit agama di Malang, yaitu
fundamentalis dan
moderat. Dari kedua formasi elit agama tersebut, maka melahirkan konstruksi tentang pluralisme dan dialog antarumat beragama yang bervariasi, yaitu:
Pertama, bagi kelompok elit Islam
fundamentalis, konstruksi pluralisme agama berwajah
deontic-diachronic/ non-reduksionis, artinya bahwa ditetapkannnya Muhammad saw. sebagai pembawa risalah Islam terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi agama, sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu terakhir ini sebagai konsekuensi dari pengamalan dan pelaksanaan perintah Ilahi
.
Sementara itu terdapat dua wajah pluralisme elit agama
moderat. Bagi elit Islam moderat, pluralisme agama mereka berwajah
normatif (
normative-religious pluralism), artinya mereka tetap menyeru toleransi dan menjauhkan arogansi
. Sedangkan bagi elit Kristen moderat (baik Protestan maupun Katolik) pluralisme agama yang mereka konstruk berwajah
normatif-soteriologik (
normative-soteriological-religious pluralism), artinya mereka menyeru toleransi dan menjauhkan arogansi
, dan menurut mereka, penganut agama-agama besar di dunia memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi keyakinan agama
. Atau dengan kata lain, mereka memandang bahwa kebenaran agama bersifat nisbi; kebenaran setiap agama memiliki nilai yang sama dan tidak satupun berada di atas yang lainnya, dan setiap agama tidak bisa dipaksa bersatu dan meniadakan agama yang lain.
Kedua, bahwa sikap keberagamaan elit agama di Malang juga bervariasi. Bagi Islam fundamentalis sikap keberagamaan mereka bercorak
eksklusif-Islamsentris dan bagi elit Islam moderat ada yang bercorak
inklusif-Islamsentris di satu sisi, dan bercorak
inklusif-teosentris di sisi lain. Sementara itu, bagi elit agama moderat dari kalangan Kristen bercorak
plural.
Ketiga, bahwa pola relasi
dan dialog antarumat beragama elit agama di Malang juga bervariasi. Bagi elit Islam fundamentalis, pola relasi mereka bercorak ko-eksistensi, artinya bahwa mereka bisa menerima kehadiran agama lain (toleran). Hanya saja toleransi mereka lebih menunjukkan pada tataran permukaan, belum menyentuh pada subsatansinya. Sementara bagi elit agama moderat (baik Islam maupun Kristen) bercorak pro-eksistensi, yaitu mereka beranggapan, bahwa agama-agama eksistensinya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan keberadaannya untuk kehidupan bersama. Agama-agama berjuang bersama untuk mengatasi masalah kemanusiaan bersama, misalnya kebodohan, kemiskinan, korupsi dan sebagainya. Semua agama bersama-sama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan dan memberantas kebatilan dan kezaliman. Sementara itu orientasi dialog antarumat beragama yang dibangun oleh elit agama di Malang (baik elit Islam maupun Kristen) pada umumnya berorientasi kemasyarakatan (
dialogue in community/ dialogue of life),
kecuali dari elit Islam fundamentalis yang berorientasi
teologis-islamisasi (lihat tabel di bawah ini):
Formasi Sosial, Sikap Keberagamaan, Pola Relasi dan Dialog,
dan Wajah Pluralisme Elit Agama di Malang
Formasi Sosial Keagamaan
|
Pluralisme
Agama
(Hick&L.Hausen)
|
Sikap Keberagamaan
(Panikkar)
|
Pola Relasi
(Hans Kung)
|
Dialog Antaragama
(Kimball)
|
Fundamentalis |
Deontic-diachronic religious pluralism/non-reduksionis |
Ekslusif-Islam sentris |
Koeksistensi
|
Dialogue in community/dialogue of life |
Fundamentalis |
Deontic-diachronic religious pluralism/non-reduksionis |
Ekslusif-Islam sentris |
Koeksistensi
|
Dialogue in community/dialogue of life |
Fundamentalis |
Deontic-diachronic religious pluralism/non-reduksionis |
Ekslusif-Islam sentris |
Koeksistensi
|
Dialog teologis-islamisasi |
Fundamentalis |
Deontic-diachronic religious pluralism/non-reduksionis |
Inklusif-Islam sentris |
Koeksistensi |
Dialogue in community/dialogue of life |
Moderat |
Normative-religious pluralism |
Inklusif-Islam sentris |
Proeksistensi |
Dialogue in community/dialogue of life |
Moderat |
Normative-religious pluralism |
Inklusif-Teosentris |
Proeksistensi |
Dialogue in community/dialogue of life |
Moderat |
Normative-religious pluralism |
Inklusif-Islam sentris |
Proeksistensi |
Dialogue in community/dialogue of life |
Moderat |
Normative-
soteriological-religious pluralism |
Plural- teosentris |
Proeksistensi |
Dialogue in community/dialogue of life |
Moderat |
Normative-soteriological-religious pluralism |
Plural-teosentris |
Proeksistensi |
Dialogue in community/ dialogue of life |
Moderat |
Normative-soteriological-religious pluralism |
Plural- teosentris |
Proeksistensi |
Dialogue in community/dialogue of life |
Moderat |
Normative-soteriological-religious pluralism |
Plural- teosentris |
Proeksistensi |
Dialogue in community/dialogue of life |
Moderat |
Normative-soteriological-religious pluralism |
Plural- teosentris |
Proeksistensi |
Dialogue in community/dialogue of life |
Dari tabel di atas dapat dilihat, bahwa di kalangan elit Islam terdapat dua kecenderungan, yaitu fundamentalis di satu sisi, dan moderat pada sisi lain, atau inklusif dan teosentris di satu sisi, dan fundamentalis-ekslusif di sisi yang lain. Kenapa elit Kristen cenderung moderat dan plural tidak sebagaimana elit Islam? Demikian pula, kenapa elit Katolik tidak mengikuti kelompok evangelis yang ekslusif, namun mereka justru mengikuti pola pikir dan tindakan yang diambil oleh para tokoh pluralis yang Calvinis dan Lutherian? Hal ini, karena doktrin
extra ecclesiam nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja atau di luar agamanya) sudah diganti dengan "doktrin keselamatan umum" oleh Konsili Vatikan II pada tahun 1962. Dalam konteks ini juga bisa dilihat pernyataan Romo Armada (1999: 30) sebagai berikut:
...Berangkat dari skema Yerusalem-Atena, muncul sebuah perubahan yang digambarkan sebagai peziarahan sebuah konsep iman Katolik yang berjalan dari kekerasan pemikiran yang sempit menuju pemikiran yang terbuka untuk jalan pemikiran yang lain sehingga kesimpulan
extra ecclesiam nulla salus dikesampingkan. Gagagasan Konsili Vatikan telah mengubah wajah Gereja Katolik dan membuka dialog dengan dasar persahabatan dan persaudaraan. Armada mengutip Filosof Fransiscus dari Asisi yang mengemukakan, bahwa dialog dilakukan bukan untuk memperdebatkan masalah substansial iman, tetapi dilakukan dalam rangka kerjasama yang mengubah wajah dunia.
Sebagaimana pengamatan penulis, bahwa pada umumnya hampir semua elit Kristen --khususnya di Malang-- memiliki pandangan yang plural. Hal ini bisa dimaklumi, karena istilah pluralisme agama selama ini dipahami sebagai
human response yang hanya bersifat sosiologis. Inilah yang memang membedakan antara Islam dan Kristen di satu sisi.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Legenhausen, bahwa pluralisme agama menurut Legenhausen merupakan kelanjutan dari Reformasi dan Liberalisme (Protestanisme Liberal) yang berusaha mencari landasan teologis menuju toleransi beragama. Tokoh pluralisme agama ini antara lain Frederick Schleirmacher (1768-1834), Rudolf Otto (1869-1987) dan kemudian dipopulerkan oleh John Hick di dunia modern sekarang. Legenhausen sendiri menganggap pluralisme agama ini memiliki kelemahan mendasar jika dikaitkan dengan pemikiran Islam, karena pemisahan agama dari tatanan sosial didasarkan pada asumsi bahwa pemisahan tersebut sesuai dengan semua sekte, padahal yang demikian itu secara langsung bertentangan dengan Islam.
Konstruksi sosial elit agama tentang pluralisme dan dialog antarumat beragama tidak terlepas dari teks-teks dan pola pikir yang digunakan oleh para tokoh pendahulunya. Mereka berargumentasi dengan dasar-dasar teks yang dapat menguatkan pendapatnya. Dalam konteks ini, elit agama di Malang memposisikan teks-teks tersebut sebagai posisi sentral dan sebagai instrumen pandangan hidup (
world view) mereka. Mereka juga beradaptasi dengan tindakan dan interpretasi para pendahulunya yang diikuti. Sebagaimana kata Ibn Khaldun (tt: 29) bahwa manusia mengikuti pola tindakan pemimpinnya (
al-Na>s 'ala> Di>ni Mulu>kihim). Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh elit agama di Malang tidak dapat terlepas dari pendapat para pendahulunya. Dalam konteks ini maka, jika mereka dari anggota atau pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka mereka akan mengikuti fatwa dan pola pikir MUI, jika mereka dari pesantren atau NU, maka mereka akan mengikuti pola pikir pesantren atau NU. Jika mereka dari pesantren, NU dan MUI, maka mereka akan memilih di antara pilihan-pilihan yang ada. Dalam konteks penelitian ini, maka kelompok elit fundamentalis Islam lebih memilih dan mengikuti pola pikir MUI. Sementara itu, kelompok elit moderat Islam lebih memilih dan mengikuti para pendahulunya, para ulama Sha>fi'iyyah dan NU yang
tasa>muh, tawassut} dan
tawa>zun. Demikian pula jika mereka dari Kristen atau Katolik, maka mereka akan mengikuti pola pikir Kristen atau Katolik. Maka, pola pikir (
model for reality) dan juga pola tindakan tersebut (
model of reality) --menggunakan istilah Tibbi-- akan terkait dengan tokoh pendahulunya dan institusi di mana ia berada.
________________
*)
Penulis adalah Peneliti Pada Lembaga Kajian, Penelitian dan Penerbitan Lintas Agama “Toleransi”. Tulisan ini disarikan dari disertasi penulis berjudul “Relasi Islam-Kristen Konstruksi Sosial Elit Agama tentang Plurarisme dan Dialog Antarumat Beragama di Malang.