Beda Tipis Antara Menyontek dan Korupsi
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Senin, 9 Desember 2013 . in Dosen . 10177 views

Pada hari ini, tanggal 9 Desember 2013, diperingati hari anti korupsi di seluruh dunia. Penetapan dan peringatan sebagai hari anti korupsi ini kiranya bermaksud mulia. Yaitu untuk mengingatkan siapapaun di seluruh dunia akan besarnya bahaya yang diakibatkan oleh tindak kejahatan korupsi itu sendiri. Korupsi mengakibatkan kemiskinan, kesengsaraan, kemunduran, kekacauan, dan bahkan runtuhnya sebuah tatanan birokrasi yang seharusnya dipelihara dan dikembangkan.

Sekalipun bahaya korupsi itu sudah diketahui sedemikian besar bagi kehidupan bersama, namun lejahatan itu tetap saja dilakukan oleh kalangan luas. Mereka yang berkesempatan dan memiliki niat jahat, maka mereka melakukannya. Para pelakunya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan, jabatan, dan juga instansi tertentu, melainkan merata di semua bidang. Bahkan pihak-pihak yang semestinya bertugas memberantas korupsi pun juga ada saja yang terlibat melakukannya. Oknum polisi, jaksa, hakim, politisi, kepala sekolah, pimpinan daerah, Perbankan, BUMN, dan bahkan menteri pun, tidak terbebas dari perilaku menyimpang ini. Korupsi bisa dilakukan di mana saja dan oleh siapa saja.

Perilaku menyimpang Sebagaimana digambarkan tersebut, sebenarnya telah dilakukan sejak usia dini, yaitu oleh anak-anak ketika masih sedang belajar di sekolah. Di tempat belajar atau pendidikan, sejak kecil, anak-anak sudah mengenal dan berperilaku menyimpang, misalnya menyontek. Prilaku itu sama atau mirip dengan berbuat bohong atau korupsi. Bersekolah yang semestinya berlatih jujur, tetapi ternyata sebaliknya, tanpa disengaja justru mendapatkan latihan berbuat tidak jujur atau curang.

Menghilangkan tradisi menyontek ternyata juga tidak mudah. Para guru tidak pernah memberikan pelajaran tentang ketrampilan itu, Namun, tanpa diajari, ternyata anak-anak sejak diri sudah bisa melakukannya sendiri. Semakin bertambah umur, kemampuan anak-anak menyontek juga semakin canggih. Itulah sebabnya, tatkala dilangsungkan ujian akhir atau ujian nasional, kementerian pendidikan dan kebudayaan hingga meminta tenaga pengawas dari perguruan tinggi. Aneh sekali, perguruan tinggi tidak dimintai hasil penelitiannya, melainkan sekedar tenaganya untuk mengawasi ujian.

Kenyataan bahwa anak-anak tanpa diajari pun bisa menyontek, maka semestinya pengalaman itu bisa dijadikan pelajaran, bahwa anak memiliki potensi untuk belajar sendiri. Guru atau orang dewasa selalu berpandangan bahwa apa saja harus diajarkan. Pada kenyataannya tidaklah demikian. Anak-anak dalam hal-hal tertentu bisa belajar secara mandiri. Sesuatu yang menjadi keinginan seseorang, tidak terkecuali oleh anak-anak, akan diusahakan untuk diraihnya, dengan cara apapun.

Ketika anak-anak ingin lulus dan atau mendapatkan nilai unggul, sepanjang bisa dilakukan, mereka akan nyontek. Mereka juga sudah tahu, bahwa berbuat jujur adalah lebih baik, ksatria, dan terpuji. Akan tetapi pandangan itu, oleh sementara anak-anak diabaikan dan lebih memilih jalan menerabas, yaitu menyontek itu. Perilaku menyimpang dianggap lebih menyenangkan dan merupakan prestasi tersendiri. Dengan begitu, mereka merasa berhasil mengelabuhi gurunya. Pendidikan kejujuran yang diberikan oleh guru justru dikhianati oleh murid-muridnya sendiri.

Kebiasaan menyimpang di sekolah seperti itu, tatkala mereka dewasa akan menjadi kebiasaan atau bahkan budaya. Tatkala masih di sekolah, mereka menyontek, maka setelah menjadi dewasa, dan mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai atau pejabat, akan melakukan korupsi. Oleh karena itu, bisa jadi, kebiasaan menyimpang di sekolah adalah menjadi bibit perilaku korup tatkala mereka sudah dewasa dan bekerja. Korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar oleh karena sudah menjadi kebiasaan sejak usia sekolah dengan cara menyontek itu.

Disbutkan bahwa bibit korupsi tumbuh sejak di sekolah, juga tampak dari ketika mereka memilih jenis sekolah. Pemilihan jenis sekolah bukan semata-mata atas dasar bakat dan minat yang bersangkutan, tetapi sengaja dicarikan lembaga pendidikan yang lulusannya bisa bekerja di tempat-tempat basah. Lapangan pekerjaan di bidang keuangan, perpajakan, kejaksaan, dan pekerjaan semacam itu lebih dipilih daripada sekolah yang hanya bisa bekerja sebagai guru, atau sejenisnya. Orang tidak bangga manakala anaknya hanya bekerja di tempat kering yang dianggap kurang menjanjikan. Tempat kering biasa dikonotasikan sulit melakukan penyimpangan. Oleh karena itu niat berkorupsi sebenarnya sudah ditanamkan sejak anak-anak berusia dini.

Atas dasar pandangan itu, memberantas korupsi harus dimulai sejak dini, yaitu sejak anak-anak belajar di sekolah. Untuk menghindar dari tumbuhnya mental korup, perlu dicarikan pendekatan evaluasi belajar, atau ujian agar tidak melahirkan bibit-bibit korup itu. Ujian bersama yang memungkinkan para siswa bisa menyontek harus dihindari. Sementara itu, soal ujian berbentuk pilihan ganda sangat rentan melahirkan perilaku menyontek. Oleh karena itu, jenis soal ujian dimaksud seharusnya dihindari. Ujian nasional dengan melibatkan tenaga pengawas dari perguruan tinggi, atau juga polisi tidak akan mampu mencegah penyimpangan. Apalagi, penyimpangan yang dimaksudkan adalah untuk mengejar target kelulusan. Maka, apa saja yang menjadikan peserta didik bermental menyimpang harus dihindari.

Dengan demikian rasanya beda antara menyontek dan korupsi sangat tipis. Korupsi hanya kelanjutan dari perilaku menyontek yang ditumbuh-kembangkan sejak usia anak-anak, tatkala mereka belajar di sekolah. Oleh karena itu, mengurangi perilaku korup seharusnya dimulai sejak dini, yaitu sejak mereka berada di lingkungan sekolah. Guru dan juga ahli pendidikan harus mampu menciptakan suasana belajar dan evaluasi, atau ujian yang sekiranya tidak bisa disontek. Melarang menyontek dengan cara mengawasi ujian secara ketat sama halnya dengan memberantas kurupsi hanya dengan memenjarakan para koruptor. Nyontek dan korupsi ternyata pada esensinya mirip, dan rupanya bentuk penyimpangan itu merupakan perilaku berkenajutan. Konsep pendidikan sekarang ini rupanya harus ditinjau kembali agar tidak melahirkan perilaku korup. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up