Sampai hari ini saya tidak tahu persis bagaimana sebenarnya ibu dan ayah saya memaknai NU dan Muhammadiyah. Saya memang dibesarkan di keluarga tradisi NU. Ayah saya pernah menjadi anggota Rois Suriah NU di Trenggalek dan selain itu juga cukup lama menjadi Ketua MWC NU di Kecamatan tempat tinggalnya. Demikian pula, ibu saya adalah pengurus muslimat. Tentu saja, kehidupan sehari-hari, sejak kecil saya mengikuti tradisi NU.
Namun demikian, saya juga paham tentang Muhammadiyah. Sebab paman dan kakak saya aktif di organisasi yang didirikan oleh KH Achmad Dahlan yang berpusat di Yogyakarta. Sesekali, saya mengaji kepada paman dan kakak saya yang aktif di Muhammadiyah. Demikian pula, sejak kecil, saya sesekali shalat di masjid yang dikelola oleh paman dan kakak saya. Ayah saya tidak pernah melarang saya mengaji ke tempat mengaji anak-anak Muhammadiyah dan juga shalat di masjidnya.
Namun demikian, dalam soal dakwah, saya lebih mengagumi ayah saya, seorang kyai tingkat desa yang aktif di organisasi Nadlatul Ulama. Karena itu, oleh ayah dan juga ibu, sekalipun saya sesekali belajar di madrasah dan juga shalat di masjid Muhammadiyah masih dianggap sebagai anak yang lebih menyukai NU. Baru menjelang lulus di IAIN, kepada kedua beliau melapor bahwa, saya oleh Prof. Masyfu' Zuhdi, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, diajak bekerja di kampus yang sedang dipimpinnya.
Mendapatkan tawaran itu, saya menyampaikan secara terus terang, bahwa saya adalah berlatar bekalang keluarga NU. Atas keterangan itu, Prof. Masyfu' Zuhdi masih pada pendiriannya, mengajak saya bekerja di kampus yang dipimpinnya. Selanjutnya, saya melapor dan meminta izin kepada ayah dan ibu, atas tawaran itu. Mendengarkan laporan itu, ayah segera memberi petunjuk agar tawaran itu diterima. Menurut beliau, pada hakekatnya di NU atau di Muhammadiyah adalah sama. Semua itu adalah organisasi yang bercita-cita untuk membesarkan dan mengamalkan ajaran Islam.
Sekalipun kejadian itu sudah puluhan tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 1975, mendengar laporan dan permintaan ijin itu, ayah hanya berpesan, agar di mana dan kapan saja, supaya selalu mengajak kepada siapapun untuk mengucapkan kalimah thoyyibah, yaitu la ilaha illallah. Pesan beliau, manakala ketemu orang NU, maka saya disuruh mengajak mereka rajin-rajin mengucapkan kalimah mulia itu. Demikian pula, bilamana ketemu orang Muhammadiyah supaya melakukan hal yang sama. Bahkan, kepada orang bukan NU dan juga bukan Muhammadiyah pun, mereka supaya diajak mengucapkan kalimat itu. Masih kata ayah saya, manakala pesan itu berhasil saya tunaikan, maka dikatakan oleh beliau bahwa hidup saya sukses. Beliau akan merasa puas.
Mendengar ijin dan nasehat itu, saya bergembira sekali. Ketika itu saya menangkap bahwa ayah dan ibu telah memberikan ijin kepada saya bekerja di Muhammadiyah secara ikhlas. Ayah dan ibu rupanya tidak mempersoalkan pilihan antara kedua jenis organisasi Islam itu. Bagi mereka yang terpenting di mana dan saja, saya bisa berdakwah. Bahkan target dakwah itu ringan sekali, yaitu hanya sekedar mengajak siapapun untuk mengucapkan kalimah thoyyibah, yaitu la ilaha illallah.
Akhirnya, saya sehari-hari bekerja di kampus milik persyarikatan Muhammadiyah. Pada setiap pulang ke kampung, menemui orang tua, saya selalu ditanya apa prestasi yang telah saya hasilkan. Beliau selalu berpesan agar saya bekerja sebaik-baiknya, agar Universitas Muhammadiyah menjadi maju. Rupanya ayah saya sangat senang manakala saya bisa memberikan sesuatu yang terbaik kepada lembaga pendidikan di bawah organisasi ini. Maka, selalu saja beliau berpesan, agar saya dalam bekerja tidak mengecewakan siapapun. Kalau bisa, harapan ayah, di mana dan kapan saja, saya bisa menjadi contoh terbaik.
Saya bekerja di Universitas Muhammadiyah selama 20 tahun, mulai dari menjadi tata usaha, wakil dekan, dekan, dan sebagai pembantu rektor I selama 13 tahun. Di samping itu, sekalipun saya sesekali disindir oleh teman-teman sebagai anak orang NU, tetapi pernah ditunjuk menjadi pengurus Mejlis PKU Kabupaten Malang, kemudian sebagai Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan menengah Muhammadiyah Kabupaten Malang hingga 10 tahun, dan bersamaan dengan itu juga pernah ditunjuk menjadi anggota Majelis Pendidikan Tinggi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ayah dan ibu, sebelum wafat, tahu peran-peran saya di organisasi itu. Mereka rupanya, setiap mendengar prestasi yang saya sampaikan, juga merespon dengan gembira.
Ayah wafat pada tahun 1986, sedangkan ketika itu, saya sudah diangkat sebagai dosen IAIN, namun masih merangkap sebagai wakil rektor I di Universitas Muhammadiyah Malang. Rupanya, setiap saya pulang ke kampung, ibu menggantikan peran ayah, selalu menanyakan pekerjaan saya. Ibu saya sangat senang mendengarkan kabar misalnya, saya melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan kampus semakin maju. Namun demikian sebenarnya, kedua orang tua saya tidak mengerti seluk beluk kemajuan kampus, oleh karena mereka tidak pernah tahu tentang perguruan tinggi. Akan tetapi, ketika mendengar kemajuan, beliau menampakkan kegembiraannya.
Ketika mengingat ibu dan ayah, terutama terkait hubungan NU dan Muhammadiyah, saya memiliki pengalaman yang amat mengharukan. Ayah dan Ibu saya tahu bahwa sejak menduduki posisi penting di Universitas Muhammadiyah Malang, saya masih menjalin hubungan erat dengan para kyai NU. Namun suatu saat, ketika saya bersillaturrahmi ke kampung menemui ibu, -------ketika itu ayah sudah wafat cukup lama, tanpa saya duga sebelumnya, di hadapan saya, ibu tiba-tiba menangis tanpa saya ketahui sebabnya. Setelah reda emosinya, saya menanyakan sebab musababnya, ternyata beliau mengaku menangis karena telah melihat foto saya, yang sedang bersamaan dengan para kyai dalam acara berdzikir bersama.
Atas kejadian itu, saya menanyakan, mengapa melihat foto saja ibu hingga menangis. Dalam keadaan masih emosional, ibu menjelaskan bahwa, tatkala melihat foto saya bersama para kyai, ibu teringat ayah. Beliau mengaku telah membayangkan, alangkah bahagia ayah umpama masih hidup, dan menyaksikan saya berdzikir bersama-sama para kyai terkemuka di Jawa Timur itu. Sebagai Mursyid Thorikoh, kata ibu, ayah pasti bahagia sekali menyaksikan anaknya melakukan kegiatan mulia itu. Sayang, -------kata ibu, ayah sudah tidak sempat menyaksikan pemandangan seindah itu. Mendengar pengakuan ibu itu, saya ikut terharu. Saya memaknai, ibu merasa puas, saya aktif dan dekat dengan para tokoh Muhammadiyah tetapi juga akrab dengan para kyai NU. Wallahu a'lam.