Upaya tersebut memerlukan “political will” dari Abah Anton beserta seluruh jajaran pemerintahannya. Syukur jika cetak biru tersebut merupakan Road Map berjangka panjang (setidaknya hingga 25 tahun yang akan datang) sehingga generasi ke depan bisa melihat sekaligus memahami wajah budaya yang diinginkan oleh para generasi sebelumnya agar tidak salah arah. Pertanyaannya seberapa penting atau urgenkah cetak biru pembangunan budaya bagi suatu masyarakat? Menurut saya sangat penting, sebab jika tidak ada cetak biru kebudayaan, pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi akan sangat berbahaya. Bisa-bisa masyarakat akan pelan-pelan kehilangan identitas diri. Selama ini kita bisa belajar dari praktik pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi ternyata gagal menjadikan masyarakat sejahtera secara keseluruhan. Kesejahteraan ekonomi ternyata hanya dinikmati segelintir orang.
Secara naluriah, tidak ada masyarakat yang tidak ingin hidupnya sejahtera atau bahagia. Dan, adalah salah satu tugas pemerintah untuk membahagiakan atau menyejahterakan masyarakatnya. Kebahagiaan atau kesejahteraan tidak hanya dilihat dari tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi semata yang ditunjukkan dengan meningkatnya angka pendapatan masyarakat dan pembangunan fisik berupa bertambahnya sarana dan prasarana pembangunan, tetapi juga pembangunan budaya berupa tata nilai yang dikembangkan dan sekaligus dianut oleh setiap anggota masyarakat. Sayangnya, pemerintah lebih suka menggunakan dua tolok ukur yang pertama (pendapatan ekonomi dan pembangunan fisik) karena mudah diukur, sedangkan pembangunan budaya sulit diukur karena bersifat abstrak. Lihat saja laporan para kepala daerah di akhir tahun atau akhir masa jabatan jarang sekali yang menampilkan keberhasilan pembangunan budaya sebagai variabel tak terpisahkan dari pembangunan secara keseluruhan. Para kepala daerah (bupati, walikota, gubernur) lebih suka dan sangat bangga memaparkan hasil-hasil pembangunan ekonomi dan sarana fisik pada masa kepemimpinannya melalui data statitsik. Itu memang tidak salah, tetapi belum cukup keberhasilan pembangunan diukur semata dari sisi pertumbuhan pembangunan fisik.
Sebagai kota berukuran menengah yang tumbuh sangat pesat, dari sisi budaya kota Malang memiliki daya tarik tersendiri. Dengan begitu banyaknya jumlah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta sehingga menarik banyak mahasiswa dari luar daerah, udara yang sangat sejuk sehingga membuat banyak orang untuk memiliki tempat tinggal di Malang, beaya hidup yang relatif rendah, lembaga-lembaga pendidikan (mulai tingkat dasar, menengah, atas, hingga perguruan tinggi) yang berkualitas, peroleh Travel Club Tourism Award 2013 sebagai kota dengan kinerja pariwisata terbaik, sarana-sarana umum yang memadai dan sebagainya menjadikan Malang sebagai kota dengan keanekaragaman budaya. Lembaga pendidikan bertaraf internasional juga mulai tumbuh dan jaringan kerjasama internasional oleh berbagai lembaga memperkaya khasanah budaya kota dingin ini.
Malah ada budaya khas di kalangan anak-anak muda kota Malang, yakni bahasa “walikan” yang tidak dimiliki oleh masyarakat lain sebagai sarana komunikasi, seperti “kera ngalam” (maksudnya “arek Malang”), “kadit niam” (maksudnya “tidak main”), “komes” (maksudnya “semok”), “kewut” (maksudnya “tuwek”), dan seterusnya. Bahasa walikan khas Malang ini memiliki komunitas tersendiri, terutama di kalangan anak-anak muda. Suatu kali anak saya yang waktu itu masih di SMA berkomukasi dengan teman-temannya menggunakan bahasa walikan. Semula saya tidak paham bahasa apa yang ia gunakan dengan teman-temannya itu. Setelah saya mendengarkan dengan cermat saya temukan mereka menggunakan bahasa walikan yang diucapkan dengan sangat cepat agar orang di luar komunitasnya tidak bisa memahaminya.
Selain itu, ada juga budaya “bonek” alias “bondo nekat” sebagai ciri khas semangat pantang menyerah dalam semua hal, kendati tidak cukup memiliki modal. Semua masyarakat di negeri ini tentu telah mengenal bahwa istilah “bonek” berasal dari Malang. Awalnya dipakai di kalangan penggemar klub sepakbola asal Malang yang diberi nama Arema. Kenekatan klub Arema dalam bertanding dan para penggemarnya yang memberi dukungan secara total