Semiotika Politik Mandat Megawati ke Jokowi
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Kamis, 20 Maret 2014 . in Rektor . 1881 views

Dua hari sebelum memperoleh mandat untuk mencalonkan diri menjadi presiden diberikan oleh sang Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, pada Jum’at, 14 Maret 2014, Jokowi diajak melakukan perjalanan ritual dengan berziarah ke makam proklamator RI, Ir. Soekarno, di Blitar. Kepergian kedua tokoh itu ke Blitar bersama-sama dinilai oleh para pengamat sebagai kepergian politik yang dibungkus dengan peristiwa ritual berupa ziarah kubur. Maklum, yang diajak Megawati adalah seorang Joko Widodo, seorang Gubernur DKI,  yang saat ini sedang naik daun dan  digadang-gadang oleh simpatisannya memenangi pemilu presiden 2014. Sebab, dari berbagai survei tingkat elektabilitas Jokowi tidak tertandingi oleh tokoh-tokoh lain, termasuk sang pemberi mandat sekalipun, yakni Megawati Soekarnoputri sendiri.

 

Jokowi memang fenomenal sejak terpilih menjadi gubernur DKI dan mengalahkan pasangan incumbent, Fauzi Bowo, satu setengah tahun lalu. Padahal, saat itu dia keroyok oleh koalisi partai-partai besar. Ternyata Jokowi mampu membalik ramalan para pengamat.  Setelah memimpin ternyata dia disukai masyarakat  karena gaya komunikasi politiknya yang dianggap merakyat, polos  dan jauh dari politik pencitraan. Mungkin masyarakat sudah jenuh dengan politik pencitraan sebagaimana dikembangkan oleh kebanyakan politisi kita saat ini. Jokowi mengubah semua itu dengan terjun langsung ke masyarakat dengan model “blusukan” ke berbagai sudut dan lorong ibukota. Semua orang terbelalak dan dianggap sebagai model komunikasi politik yang sangat efektif. Tak pelak banyak politisi meniru gaya dan model Jokowi tersebut.

Sebelum Megawati memberikan mandat kepada Jokowi, banyak spekulasi yang muncul mengenai siapa yang diusung oleh PDI-P sebagai calon presiden pada pemilu 2014. Ada yang beranggapan Megawati masih tetap ingin maju, kendati dari berbagai survei elektabilitasnya sangat rendah. Ada pula yang mengira Puan Maharani yang akan diajukan, atau Megawati masih mencari figur lain, yang penting dari darah Soekarno. Namanya kalkulasi atau spekulasi politik ya sah-sah saja, apalagi di saat atau hari-hari politik seperti sekarang ini.  Siapapun boleh berbicara tentang apapun, walau kadang-kadang ada yang tidak masuk akal juga.  Tafsir-tafsir politik juga akan terus bertebaran hingga pemilu presiden Juli mendatang.  Tetapi setelah Jokowi akhirnya  menerima mandat semua spekulasi itu berakhir dengan sendirinya. Megawati yang pendiam itu ternyata mendengarkan suara simpatisannya untuk mengusung salah seorang kadernya maju menjadi calon presiden, sehingga PDI-P bisa kembali menjadi partai penguasa yang akan memerintah negeri ini. Tampaknya PDI-P sudah jenuh menjadi partai oposisi selama 10 tahun pemerintahan SBY dan ingin sekali segera kembali, tidak saja sebagai partai pemenang pemilu tetapi juga penguasa. Itu sebabnya PDI-P tidak mau ketinggalan momen dengan menampilkan Jokowi sebagai kader terbaiknya maju sebagai calon presiden.

Bagi pengkaji semiotika politik, tanda-tanda bahwa mandat dari PDI-P akan jatuh ke tangan  Jokowi sebenarnya sudah sangat jelas. Semiotika hakikatnya adalah ilmu tentang tanda, termasuk tanda apa saja, untuk melihat interaksi  sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Karena itu, semiotika politik adalah ilmu yang mengkaji tanda atau simbol yang dibuat atau dijalani oleh tokoh politik. Baju dan atribut yang dipakai oleh seorang politisi juga bisa dimaknai sebagai simbol yang mengandung makna politik.

Runtang-runtung Jokowi dengan Megawati selama ini dan diakhiri dengan ziarah ke Blitar sebenarnya secara gamblang menunjukkan bahwa Megawati akan memilih Jokowi mewakili PDI-P untuk maju menjadi calon presiden. Tentu saja, sebagai politisi senior yang telah merasakan pahit getirnya politik dan  terhimpit oleh penguasa Orde Baru, Megawati tidak gegabah menyampaikan pesan politik secara vulgar. Dia menunggu saat yang tepat  untuk melakukan  sesuatu, termasuk untuk menyampaikan pesan politik ke publik. Karena itu, kendati terus didesak oleh banyak kalangan siapa calon presiden dari PDI-P, Megawati tetap bungkam. Dia kukuh berpendirian, seolah tidak menggubris omelan orang yang jengkel dengan model komunikasi politiknya (baca: diam), walau sebenarnya jika jeli isyarat-isyarat politik itu sudah bisa dibaca.

Dalam kajian semiotika (politik) dalam pengambilan keputusan, seorang pemimpin tidak harus menyampaikan pesan politik secara verbal.  Lewat semiotika,  masyarakat  bisa belajar bagaimana memahami cara dan model komunikasi seorang tokoh atau pemimpin, seperti Megawati. Megawati tergolong tokoh yang tidak suka obral kata. Pengamat politik asing menyebutnya sebagai ‘silent politician’. Dia lebih banyak mengembangkan komunikasi non verbal daripada komunikasi verbal. Karena itu, makna tindakannya sering kali sulit ditebak.  Orang yang ingin memahami tindakannya harus mengikuti semua gerak-geriknya secara total di semua kesempatan agar tidak ada teks yang terlepas.

Mandat Megawati ke Jokowi sebenarnya juga bisa dibaca ketika PDI-P menyelenggarakan acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) , 6 September 2013. Ketika itu, Megawati sudah menyuguhkan bahasa politik yang tegas, yakni dengan menyuruh Jokowi untuk membaca “Declaration of Life Bung Karno”. Mengapa kok Jokowi yang diminta membaca naskah tersebut?  Megawati telah memberi isyarat politik secara simbolik bahwa ia sebenarnya telah memberi contoh untuk menghadirkan pemimpin penerus yang lebih muda.  Di saat Raker itu Megawati  menyampaikan dua isu penting, yakni pentingnya regenerasi pemimpin bangsa dan kelestarian nilai-nilai ajaran Bung Karno yang harus tetap kokoh.

Sebagian masyarakat sempat terkecoh dengan jawaban Jokowi setiap ditanya oleh wartawan tentang kemungkinannya dicalonkan atau mencalonkan diri menjadi presiden karena hasil seurvei selalu mengungguli yang lain. Beberapa kali dia menjawab “Saya ngurusi Jakarta”, Gak ngurus survei”, “Tanya Bu Mega”, dan jawaban-jawaban sejenisnya, yang seolah-olah tidak mau. Masyarakat harus tahu bahwa Jokowi adalah orang Jawa 100%. Dalam tradisi dan budaya Jawa mengatakan sesuatu secara terus terang, apalagi menyangkut jabatan, dianggap tidak bijak. Maksud sesungguhnya sering terselubung, tetapi sebenarnya bahasa tubuh telah menjawab semuanya. Kini misteri itu telah terbuka dan Jokowi benar-benar memperoleh mandat untuk memenangkan pilres yang akan datang.

Terakhir, pelimpahan mandat kepada Jokowi juga bisa ditafsir bahwa  saat ini sudah waktunya bagi Megawati  dan tokoh-tokoh segenerasinya, seperti SBY, JK, ARB, Wiranto, dan juga Prabowo untuk turun dari panggung politik nasional dan memberikan kesempatan kepada generasi muda, seangkatan Jokowi. Bagi para tokoh-tokoh itu, waktu telah lewat. Kendati semangat dan idealisme masih menyala toh pada akhirnya waktu yang mengalahkian mereka semua. Selamat berjuang para generasi penerus bangsa!

____________

Malang, 20 Maret 2014.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up