(Tulisan 2 dari “Aku” yang Saya Kenal)
Kini saya menyadari bahwa saya bukan orang pandai. Saya adalah orang biasa. Seingat saya tak pernah seorang pun guru saya – sejak SD hingga S3 --- menyebut saya pandai, tetapi saya sering disebut sebagai siswa tekun dan disiplin. Kolega di kantor juga tidak ada yang menyebut saya pintar, tetapi disiplin. Jika label tekun dan disiplin itu saya pakai dasar untuk melakukan refleksi diri, maka bukankah itu yang diajarkan oleh nenek saya di desa dulu? Nenek yang buta huruf itu ternyata telah memberikan bekal hidup kepada saya yang sangat bermakna, yakni kedisiplinan.
Ketika saya dalam asuhannya, saya pernah protes ketika semua aktivitas saya diatur dengan disiplin. Tetapi 45 tahun kemudian semua menjadi kenyataan atas manfaat kedisiplinan dan ketekunan itu. Sayang sang nenek dan kakek itu telah tiada dan belum pernah melihat buah kedisplina yang beliau tanamkan karena telah tiada. Tetapi doa saya tidak pernah berhenti untuk beliau berdua di alam baka. Beliau berdua yang buta huruf telah mengantarkan saya hingga mencapai karier akademik puncak sebagai seorang guru besar dan memimpin sebuah perguruan tinggi besar. Namun saya bisa berbahagia karena kedua orangtua kandung saya masih segar bugar , sehat wal afiat hingga hari ini.
Kini baru saya sadari mengapa nenek saya dulu menggiring saya tiap sore hari untuk mengaji di masjid kampung. Ternyata itu adalah bekal bahwa kelak saya akan memimpin perguruan tinggi Islam sejak 2 Mei 2013 lalu, tempat di mana orang-orang pada mengaji tidak saja ilmu pengetahuan umum tetapi juga ilmu agama secara bersamaan melalui lembaga yang disebut ma’had.
Kendati berlabel disiplin dan tekun, sebagai manusia biasa saya juga punya kelemahan mendasar. Saya orangnya sembrono. Jika mau bepergian, sukanya dengan mendadak menyiapkan barang yang akan dibawa, sehingga sering barang yang seharusnya dibawa tertinggal di rumah atau di hotel tempat saya menginap.
Kapan hari saya akan menghadiri rapat dinas di Jakarta. Bahan rapat berupa naskah yang diperlukan sudah disiapkan oleh staf dan ditaruh di meja di rumah. Karena berangkat tergesa-gesa, barang penting itu tidak terbawa, sehingga sampai di Jakarta saya bingung bukan kepalang. Kecerobohan saya tidak hanya itu. Ketika mendampingi Menteri Agama ke Thailand beberapa waktu lalu, kaca mata yang selalu menemani saya – karena mata saya minus --- juga tertinggal di mobil yang mengantarkan saya ke bandara. Praktis saya tidak bisa membaca koran, majalah atau menulis. Waktu saya habiskan untuk melihat TV. Sungguh waktu berlalu sia-sia.
Malah ada kesembronoan saya yang hampir saja fatal. Desember tahun 2011 saya bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Bahrul Hayat, Ph.D., dan Dirjen Bimas Islam Kemenag, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Rektor UIN Malang (saat itu) Prof. Dr. Imam Suprayogo, Kabiro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Kemenag berkunjung ke Russia atas undangan mufti Russia. Pertemuannya itu sendiri sangat efektif dan melahirkan beberapa kesepakatan. Satu di antaranya adalah Russia mengirimkan mahasiswa untuk kuliah di beberapa perguruan tinggi Islam di Tanah Air. Itu merupakan kunjungan saya yang pertama kali di negeri yang sempat menjadi salah satu kekuatan militer dunia sebelum ambruknya Uni Soviet.
Bebera kali kami pindah tempat penginapan karena menyesuaikan dengan acara yang dirancang tuan rumah. Kekonyolan saya yang luar biasa adalah ketika hari terakhir kami menuju bandar udara internasional di Moskow menuju Tanah Air, di tengah-tengah perjalanan – setelah perjalanan hampir 1 jam dengan mobil dari kota Moskow, petugas KBRI yang memandu perjalanan kami meminta paspor saya dan peserta yang lain. Saya bingung karena paspor itu tidak ada di tas yang saya bawa. Akhirnya disepakati mobil berhenti di pinggir jalan dan saya membongkar tas besar saya. Ternyata pospor tetap tidak ada.
Sang pemandu segera mengambil langkah taktis dengan menghubungi petugas hotel terakhir saya menginap. Ternyata benar, paspor saya tertinggal di sana. Apa boleh buat mobil itu kembali dengan laju yang amat sangat kencang karena waktu untuk check in sangat terbatas. Saya melihat speedometer mobil landcruiser yang membawa kami beberapa kali hampir menyentuh angka angka 150. Jadi amat sangat kencang. Untung jalan-jalan di Russia umumnya sangat lebar, sehingga tidak ada kemacetan sama sekali.
Dalam perjalan kembali ke hotel itu, saya melihat wajah bapak-bapak terlihat jengkel. Sambil berkelakar, Sekjen Kemenag berkata andai paspor hilang saya akan ditinggal di Moskow. Saya pun diam saja dan merasa bersalah. Lha mau apa lagi. Memang sudah salah.
Sampai di hotel, petugas dari KBRI itu melompat dari mobil dan lari menuju meja resepsionis hotel. Benar! Paspor saya masih tergeletak di atas meja resepsionis hotel tersebut. Andai saja paspor itu diambil orang, apa yang terjadi. Begitu paspor saya ditemukan, mobil dengan melaju dengan sangat kencang menuju bandara internasional Moskow. Ketika kami tiba di bandara untuk check in, waktu yang tersedia hanya 20 menit. Pihak KBRI pun turun tangan membantu jangan sampai kami ditinggal pesawat. Menjelang menit-menit terakhir pesawat tinggal landas, urusan check in selesai dan kami dipersilahkan masuk ke pesawat. Begitu kami masuk, pesawat segera terbang dan ternyata kami adalah penumpang terakhir yang masuk pesawat.
Dalam penerbangan Moskow-Jakarta, kami semua lelah dan tidur. Suasana sungguh berbeda dengan ketika berangkat. Semua ceria, apalagi kami baru pertama kali itu akan berkunjung ke Russia. Ketika penerbangan pulang, kami semua tidak banyak gurau, mungkin karena lelah dan jengkel karena kesembronoan saya. Karena merasa bersalah, saya diam saja dan segera memejamkan mata untuk mulai tidur.
Tetapi sebelum benar-benar tidur, saya merenung sejenak tentang “aku” sebagaimana judul tulisan ini. Saya yang biasa disiplin dalam mengelola waktu, ternyata memiliki kelemahan mendasar berupa kecerobohan. Akhirnya saya sadar bahwa tak satupun Allah ciptakan makhluknya yang bernama manusia, termasuk saya, dengan sempurna. Tetapi, justru karena ketidaksempurnaannya itu, kita harus mau bekerja sama dengan yang lain untuk saling mengisi.
Sampai tulisan ini berakhir, yang saya selesaikan di waktu-waktu longgar di maktab di sela-sela ritual haji, saya masih belum tahu “aku” yang sesungguhnya secara utuh, kecuali aku anak desa yang hidup di kota, disiplin waktu, tetapi ceroboh. Namun demikian, saya tidak akan putus asa. Saya tetap ingin terus berusaha mengetahui “aku” yang sesungguhnya ini siapa, entah sampai kapan jawaban yang sebenarnya itu akan saya peroleh.