A. Pengantar
Membahas wilayah kajian dan objek kajian ilmu pengetahuan beserta paradigma kajiannya tidak dapat dipisahkan dari pandangan filsafat terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Menurut filsafat ilmu, ilmu bersandar pada 3 (tiga) pilar penyangga, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi merupakan asas penetapan objek dan wilayah kajian dan karenanya menjawab pertanyaan apa yang dikaji, termasuk apa realitas yang dikaji merupakan sesuatu wujud yang nyata (kongkret), tidak nyata (abstrak) atau simbolik. Epistemologi merupakan asas penetapan bagaimana cara mempelajari atau memperolehnya, dan karenanya menjawab pertanyaan bagaimana mengkajinya. Sedangkan aksiologi merupakan asas penetapan tujuan dan manfaat pengetahuan, dan karenanya menjawab pertanyaan apa tujuan dan manfaat pengetahuan yang akan dikaji tersebut.
Secara ontologik, ilmu terbatas pada kawasan yang berada dalam jangkauan pengalaman dan pengamatan manusia. Ide-ide tentang Tuhan, alam akhirat, surga, neraka, dan sejenisnya, kendati telah lama hidup dalam perbendaharaan jiwa manusia dan secara kuat mempengaruhi perilaku manusia sehari-hari bukan merupakan hasil potret pengalaman empirik manusia karena tidak muncul dalam dunia observasi dan pengalaman empirik. Karena itu, pengetahuan tersebut tidak termasuk kawasan ilmu pengetahuan ilmiah.
Penggagas Rasionalisme Kritis Popper (1972), misalnya, menyebutnya pengetahuan yang “dapat diuji”, dan “yang tidak dapat diuji”. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang terbuka untuk diuji. Tolok ukur yang dipakai Popper untuk membedakan pengetahuan “ilmiah” dan “non-ilmiah” bukan “benar” dan “salah”, melainkan “dapat diuji” dan “tidak dapat diuji” (Wuisman, 1996: 20).
Selain itu, ilmu berupaya menafsirkan hakikat wilayah atau objek kajian sebagaimana adanya dan terbuka untuk pengujian secara terus menerus. Pengujian secara terus menerus dilakukan untuk memperoleh kebenaran. Sebab, ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar pengamatan manusia sejatinya tidak lain hanya merupakan dugaan atau asumsi. Ilmu pengetahuan tidak pernah benar secara mutlak. Ilmu hanya dapat berkembang apabila terus menerus dikaji. Lewat kajian tersebut akan ditemukan data dan fakta baru yang membuktikan kebenaran dan kesalahannya. Karena itu, ilmu berangkat dari fakta dan berakhir dengan fakta pula.
Secara epistemologik, ilmu menyusun dan menambah bangunan pengetahuan melalui metode tertentu, yang disebut metode ilmiah. Metode ilmiah adalah seperangkat cara dan tata kerja untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah secara sistemik dan sistematik. Sistemik artinya ada saling keterkaitan antar-unsur dan sistematik artinya ada urutan logik antar-langkah.
Secara aksiologik, tujuan dan pemanfaatan pengetahuan keilmuan harus dimaksudkan demi kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat meningkatkan taraf hidup manusia tanpa harus mengorbankan kodrat dan martabatnya, serta kelestarian dan keseimbangan alam. Karena itu, ilmu merupakan harta bersama umat manusia. Setiap orang berhak menggali dan memanfaatkan ilmu sesuai kebutuhannya.
Setiap ilmu niscaya memiliki ciri dan kekhususan masing-masing, kendati antara yang satu dengan yang lainnya dapat saling bersentuhan. Ilmu manajemen, misalnya, sebagai bagian dari kekayaan pengetahuan manusia, memiliki ciri dan kekhususan sendiri pula yang membedakannya dengan ilmu pengetahuan lainnya baik secara ontologik, epistemologik maupun aksiologik.
Dengan demikian, karena masing-masing ilmu memiliki ciri-ciri khusus, maka setiap kajian tentang metode keilmuan tertentu, perlu terlebih dahulu menjawab pertanyaan: (1) apa bahan yang dikaji, (2) bagaimana cara mengkajinya dan (3) apa manfaat atau tujuan kajian tersebut.
B. Objek Penelitian Manajemen Pendidikan Islam
Secara teoretik manajemen pendidikan Islam juga mengikuti kaidah-kaidah manajemen pada umumnya dengan objek kajiannya adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam. Namun demikian, secara ontologik masih terdapat beberapa varian persepsi mengenai bidang studi yang relatif baru ini. Ditilik dari namanya, bidang kajian ini merupakan bidang kajian lintas disiplin (inter-desciplinary course), bahkan multi-disiplin- jika pemisahan istilahnya adalah: manajemen + pendidikan Islam. Namun jika pemisahannya adalah: manajemen + pendidikan + Islam, maka bidang kajian ini merupakan bidang multi disiplin (multi-desciplinary course). Bisa juga pemisahannya adalah: manajemen pendidikan + Islam. Tampaknya yang lebih menjadi concern program studi adalah pemisahan model pertama (manajemen + pendidikan Islam).
Implikasi dari model kajian semacam itu adalah pengkaji dituntut untuk menguasai lebih dari satu macam disiplin ilmu. Di satu sisi, pengkaji dituntut untuk menguasai ilmu manajemen secara umum, dan di sisi yang lain dia juga dituntut untuk menguasai konsep-konsep pendidikan Islam dengan menggunakan al Qur’an dan hadis sebagai cara pandang. Ini tentu bukan pekerjaan mudah.
Sebagai program studi dengan bidang kajian khusus, secara ontologik manajemen pendidikan Islam menetapkan kawasannya berdasarkan fakta empirik dan konsep teoretik manajemen pendidikan Islam. Manajemen adalah sebuah konstruk teoretik. Pendidikan adalah konsep substantif, tetapi masih di tingkat generik, sedangkan Islam adalah konsep substantif di tingkat partikularistik. Dengan demikian, secara definitif manajemen pendidikan Islam adalah proses mengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pondok pesantren, dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dengan menggunakan Islam (al Qur’an dan hadis) sebagai cara pandang/perspektif. Diyakini lembaga-lembaga pendidikan tersebut memiliki ciri khusus yang membedakaanya dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya sehingga diperlukan model pengelolaan secara khusus pula.
Secara lebih rinci, objek kajian manajemen pendidikan Islam meliputi: (1) perangkat kegiatan apa saja yang membentuk konstruk manajemen, mulai dari planning, organizing, actuating hingga controlling, (2) komponen-komponen sistemik yang niscaya ada dalam fenomena pendidikan, mulai dari input, output, outcome, proses belajar, sarana dan prasarana belajar, lingkungan, guru, kurikulum, personalia pendukung, bahan ajar, masyarakat, evaluasi dan (3) fakta empirik yang diberi label (pendidikan) Islam, dengan kekhususannya, seperti nilai-nilai yang berkembang di lingkungan lembaga pendidikan Islam (ikhlas, barokah, tawadu’, istiqomah, ijtihad, dan sebagainya).
Memahami pendidikan sebagai upaya teleologik di mana manajemen merupakan bagian komponen yang tak terpisahkan dari praktik pendidikan, ilustrasi berikut dapat dipakai mencari ruang/wilayah kajian penelitian.
C. Proses Penelitian Manajemen Pendidikan Islam
Sebagai aktivitas ilmiah, penelitian memiliki langkah-langkah yang sistemik dan sistematik yang berlaku untuk semua disiplin ilmu. Sistemik artinya ada saling keterkaitan antar-unsur dan sistematik artinya ada urutan logik antar-langkah. Setidaknya terdapat 8 (delapan) tahap penelitian sebagai berikut: (1) selecting a topic), (2) determining a research paradigm, (3) formulating a research question, (4) determining a research design, (5) collecting data, (6) analyzing data, (7) interpreting data, (8) informing others.
Memilih topik penelitian merupakan langkah paling awal yang harus dilakukan seorang peneliti. Topik penelitian merupakan ide atau gambaran sangat umum yang akan menjadi tema kajian, bisa tentang masalah pendidikan, budaya, politik, sejarah, ekonomi, agama dan sebagainya.
Tidak ada formula yang baku tentang metode bagaimana mencari topik penelitian. Tetapi ada beberapa cara yang bisa dipakai sebagai pedoman. Menurut sebagai berikut:
Namun demikian dari sekian banyak tahapan tersebut, tema penelitian untuk skripsi, tesis dan desertasi setidaknya memenuhi 3 (tiga) syarat R, yakni:
a. (R)elevansi Akademik, bahwa penelitain harus memberikan sumbangan keilmuan sesuai bidang studi yang kita tekuni).
b. (R)elevansi Sosial, bahwa penelitian harus menarik dan relevan dengan isu-isu yang terjadi d masyarakat.
c. (R)elevansi Institusional, bahwa penelitian mengangkat tema yang akrab dengan lembaga di mana kita bekerja atau belajar.
Selaras dengan tinjauan aksiologik, dalam khasanah metodologi penelitian atau kajian dikenal, paling tidak, tiga paradigma kajian utama, yaitu: (1) paradigma positivistik (positivistic paradigm), (2) paradigma interpretif (interpretive paradigm), dan (3) paradigma refleksif (reflexive paradigm). Lazimnya, paradigma positivistik disepadankan dengan pendekatan kuantitatif (quantitative approach), paradigma interpretif disepadankan dengan pendekatan kualitatif (qualitative approach), sedangkan paradigma refleksif disepadankan dengan pendekatan kritik (critical approach).
Berikut disajikan perbedaan masing-masing paradigma tersebut:
No.
Aksioma
Positivistik
Interpretif
Refleksif
1
Tujuan
Menjelaskan realitas
Memahami fenomena
Memberdayakan dan membebaskan
2
Dasar kenyataan
Stabil dan terpola
Cair dan mengalir
Penuh dengan pertentangan
dan dipengaruhi oleh struktur terselubung yang mendasarinya
3
Sifat dasar manusia
Rasional dan memiliki kepentingan pribadi, serta dipengaruhi oleh kekuatan di luar dirinya
Membentuk makna dan niscaya memberi makna terhadap dunia mereka
Manusia bersifat kreatif dan adaptif, tetapi cenderung terbelenggu dan tertindas oleh kesadaran palsu
4
Peran akal sehat
Berbeda dari dan tidak sahih dibanding pengetahuan keilmuan
Seperangkat teori keseharian yang digunakan dan bermanfaat bagi orang-orang tertentu
Keyakinan palsu yang menyelubungi kenyataan sebenarnya
5
Wujud Teori
Teori adalah sistem logik, deduktif, dan menggambarkan saling keterkaitan antara sejumlah difinisi, aksioma, dan hukum
Teori adalah paparan tentang bagaimana seperangkat sistem pemaknaan dihasilkan dan dipertahankan
Teori adalah kritik yang membuka atau mengungkap kenyataan sebenarnya dan membantu manusia melihat cara memperbaiki keadaan
6
Tolok Ukur Kebenaran Penjelasan
Apabila secara logik terkait dengan hukum serta didasarkan pada kenyataan
Apabila menyuarakan kembali atau memang dipandang benar oleh para pelaku sendiri
Manakala bisa memberi manusia seperangkat piranti yang diperlukan untuk mengubah kenyataan
7
Bukti kebenaran
Didasarkan pada pengamatan yang tepat sehingga orang lain bisa mengulanginya
Terpancang atau terkait konteks interaksi manusia yang cair dan mengalir
Ditakar berdasar kemampuannya dalam menyingkap struktur terselubung yang mendasari kepalsuan atau ketidak-adilan
8
Kedudukan nilai
Bebas nilai (value free) dan tidak memiliki tempat kecuali ketika seseorang memilih topik kajian
Bagian tak terpisahkan dari kenyataan manusia (value bound)
Ilmu harus mulai dari pendirian menurut tata-nilai tertentu
Ada nilai-nilai benar, ada pula nilai-nilai yang salah.
9
Langkah Kerja
(1) Perumusan masalah (research problem), yang meliputi kegiatan memilih masalah yang memenuhi syarat kelayakan dan kebermaknaa
(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, yang mencakup kegiatan penelaahan teori dan hasil kajian sebelumnya,
(3) Perumusan hipotesis, sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan
(4) pemilihan atau pengembangan rancangan kajian,
(5) Pengembangan piranti atau alat pengumpulan data,
(6) Pengumpulan atau pemerolehan data,
(7) pengolahan data untuk menguji hipotesis,
(8) penafsiran hasil kajian, dan
(9) penarikan kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan data,
(10) penyatu-paduan hasil kajian ke dalam bangunan pengetahuan sebelumnya, serta saran bagi kajian berikutnya.
(1) penentuan pumpun kajian (focus of study), yang mencakup kegiatan memilih masalah yang memenuhi syarat kelayakan dan kebermaknaan,
(2) pengembangan kepekaan teoretik dengan menelaah bahan pustaka yang relevan dan hasil kajian sebelumnya,
(3) penentuan kasus atau bahan kajian, yang meliputi kegiatan memilih dari mana dan dari siapa data diperoleh,
(4) pengembangan rancangan pemerolehan dan pengolahan data, yang mencakup kegiatan menetapkan piranti, langkah dan teknik pemerolehan dan pengolahan data yang digunakan,
(5) pelaksanaan kegiatan pemerolehan data, yang terdiri atas kegiatan mengumpulkan data lapangan atau melakukan pembacaan naskah yang dikaji,
(6) pengolahan data perolehan, yang meliputi kegiatan penyandian (coding), pengkategorian (categorizing), pembandingan (comparing), dan pembahasan (discussing),
(7) negosiasi hasil kajian dengan subjek kajian, dan
(8) perumusan simpulan kajian, yang meliputi kegiatan penafsiran dan penyatu-paduan (interpreting and integrating) temuan ke dalam bangunan pengetahuan sebelumnya, serta saran bagi kajian berikutnya.
(1) penentuan topik kajian, yang mencakup kegiatan memilih dan merumuskan masalah yang bernilai bagi pembangkitan kesadaran manusia,
(2) penetapan pendirian filsafat dan atau ideologik, yang meliputi kegiatan penelaahan pemikiran-pemikiran yang relevan, dan perumusan secara eksplisit pokok-pokok pikiran yang digunakan sebagai landasan pengajuan kritik,
(3) pemilihan kasus atau bahan kajian, dengan menentukan dari mana dan dari siapa data diperoleh, (4) pengembangan strategi pemerolehan dan pengolahan data, yang terdiri atas kegiatan menetapkan piranti data, langkah dan teknik yang digunakan,
(5) pelaksanaan kegiatan pemerolehan data, yang mencakup kegiatan mengumpulkan data atau melakukan pembacaan naskah yang dikaji,
(6) pengolahan data perolehan, yang melipuiti kegiatan penyandian (coding), pengkategorian (categorizing), pembandingan (contrasting), dan pembahasan (discussing),
(7) perumusan simpulan kajian, yang dilakukan berdasarkan perenungan (reflextive thinking), dan
(8) pengajuan rekomendasi baik untuk arah kajian lanjutan maupun agenda pemberdayaan (empowerment agenda) ke depan.
Beberapa langkah untuk merumuskan pertanyaan penelitian:
Pada tahap ini peneliti membuat rancangan tentang prosedur dan metode yang akan dipakai untuk memperoleh data, bagaimana memperolehnya, siapa yang akan dihubungi, kapan pelaksanaannya dan di mana, apa bentuk datanya, dan bagaimana cara analisisnya.
Secara umum kegiatan pengumpulan data terdiri atas observasi, wawancara, dan kuesioner. (masing-masing jenis perlu dibahas pada sesi tersendiri).
Terdapat tiga model atau cara untuk menganalisis data kualitatif. Miles dan Huberman (1987) menganjurkan model analisis interaktif (interactive model) yang mengandung empat komponen yang saling berkaitan, yaitu (1) pengumpulan data, (2) penyederhanaan data, (3) pemaparan data, dan (4) penarikan dan pengajuan simpulan.
Spradley (1979) menganjurkan empat teknik analisis data kualitatif, yaitu (1) analisis ranah (domain analysis), (2) analisis taksonomik (taxonomic analysis), (3) analisis komponensial (componential analysis), dan (4) analisis tematik (thematic analysis).
Analisis ranah dimaksudkan untuk memperoleh pengertian umum dan relatif menyeluruh mengenai pokok permasalahan. Hasil analisis ini berupa pengetahuan tingkat “permulaan” tentang berbagai ranah atau kategori konseptual secara umum pula.
Pada analisis taksonomik, pusat perhatian ditentukan terbatas pada ranah yang sangat berguna dalam memaparkan gejala-gejala yang menjadi sasaran penelitian. Analisis taksonomik tidak saja berdasarkan data lapangan, tetapi juga berdasarkan hasil kajian pusataka. Beberapa ranah yang sangat penting dipilih dan dijadikan pusat perhatian untuk diselidiki secara mendalam.
Analisis komponensial dilakukan untuk mengorganisasikan perbedaan (kontras) antar-unsur dalam ranah yang diperoleh melalui pengamatan dan atau wawancara terseleksi.
Pada analisis tematik, peneliti menggunakan saran Bogdan dan Taylor (1975: 82-93) dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
Berdasarkan seluruh analisis, peneliti melakukan rekonstruksi dalam bentuk deskripsi, narasi dan argumentasi. Beberapa sub-topik disusun secara deduktif, dengan mendahulukan kaidah-kaidah pokok yang diikuti dengan kasus dan contoh-contoh. Sub-topik selebihnya disajikan secara induktif, dengan memaparkan kasus dan contoh untuk ditarik kesimpulan umumnya.
Cara atau model ketiga disarankan oleh Strauss dan Corbin (1990) dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) open coding, (2) axial coding, (3) selective coding, dan (4) the generation of a conditional matrix.
Pada tahap ini peneliti melakukan simpulan kajian, yang meliputi kegiatan penafsiran dan penyatupaduan (interpreting and integrating) temuan ke dalam bangunan pengetahuan sebelumnya.
Pada tahap ini peneliti menulis hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian, bisa dalam bentuk skripsi, tesis, desertasi atau laporan penelitian. Temuan penelitian disebarluaskan ke khalayak akademik untuk memperoleh masukan dan memberikan sumbangan bagi kemaslahatan umum. Dari temuan penelitian, kegiatan penelitian lebih lanjut dapat dilakukan.
Secara ringkas perbedaan antara skripsi, tesis dan desertasi sebagai berikut:
Unsur
Jenjang
Sarjana (S1)
Magister (S2)
Doktor (S3)
Menguasai materi ilmu pengetahuan masing-masing
Menguasai teori dan metodologi ilmu pengetahuan masing-masing
Mampu mengembangkan ilmu pengetahuan masing-masing
Mahir dalam mengadakan penelitian deskriptif (monodisiplin)
Mahir dalam mengadakan penelitian analitis (monodisiplin)
Mahir dalam mengadakan penelitian empiris dan evaluative (mono-, multi-, dan interdisipliner)
Berpikir rasional logis
Berpikir rasional kritis
Berpikir rasional, inovatif/kreatif
Memiliki kejujuran ilmiah
Memiliki integritas akademik/profesi
Memiliki komitmen sosial secara kritis emansipatoris (pengetahuan untuk kemajuan peradaban manusia dan kemanusiaan
D. Penutup
Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahun, manajemen pendidikan Islam memiliki ciri dan kekhasan sendiri yang berbeda dengan bidang pengetahuan yang lain, baik dari aspek ontologik, epsitemologik maupun aksiologik. Pemahaman ontologik yang mencakup objek dan wilayah kajian, pemahaman epistemologik yang mencakup cara mengkajinya dan pemahaman aksiologik yang mencakup tujuan dan manfaat kajian penting dikuasai oleh setiap peneliti. Kekeliruan penetapan objek dan wilayah kajian akan berakibat sangat fatal,
Sebagai bidang ilmu lintas disiplin, manajemen pendidikan Islam memungkinkan untuk dikaji bersama para pakar di bidang lain, seperti pakar pendidikan, pakar manajemen (umum), dan pakar studi keislaman.
Dengan besarnya jumlah lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang sampai saat ini mencapai angka 85. 911 dengan jumlah siswa 11.531.028, maka bidang studi ini sangat prospektif. Peminat studi ini pun juga semakin banyak. Seiring dengan upaya pengembangan dan peningkatan kualitas lembaga pendidikan Islam, Indonesia sangat memerlukan ahli di bidang ini untuk membuat blue print pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan Islam secara nasional. Siapa tahu ahli dimaksud muncul dari kelas ini!
______________
Daftar Pustaka
Alvesson, Mats dan Kaj Skoldberg. 2000. Reflexive Methodology: New Vistas for Qualitative Research. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications.
Denzin, Norman K and Yvonna S. Lincoln (eds.). 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousands Oaks, California: SAGE Publications, Inc.
Faisal, Sanapiah. 1998. “Filosofi dan Akar Tradisi Penelitian Kualitatif”, Makalah, Disampaikan pada Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif oleh Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BMPTSI) Wilayah VII-Jawa Timur di Surabaya, 24-27 Agustus 1998.
Popper, K.R. 1972. Conjectures and refutations. The Growth of Scientific Knowledge. (4th edition). London: Routledge and Kegal Paul.
Rahardjo, Mudjia. 2005. Bahasa dan Kekuasaan: Studi Wacana Politik Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Hermeneutika Gadamerian. Disertasi pada Program Doktor, Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
Sulistyo-Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Wida Sastra Bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Wuisman J.J.J. M. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jilid 1, Asas-Asas. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.