Islam Sebagai Agama Sekaligus Konsep Perubahan
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Minggu, 29 Juni 2014 . in Dosen . 38493 views

Tatkala Islam dimaknai sebatas sebagai agama, maka yang muncul dalam pikiran sementara orang adalah bagaimana agar segera membangun masjid, menjalankan shalat lima waktu, menunaikan ibadah puasa, zakat, dan haji. Semua itu memang penting dan harus diperhatikan, karena merupakan bagian penting dari Islam. Hal lain adalah tentang pernikahan, bentuk atau potongan baju, dan rangkaian kegiatan dalam pengurusan kematian. Itulah Islam dari aspek agama,dan tampaknya tidak ada bedanya dengan pemahaman terhadap agama lainnya. Berbicara agama memang selalu di seputar itu.

Namun pertanyaannya adalah, apakah Islam hanya sebatas memiliki makna sebagai agama. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah Muhammad saw., sebagai utusan Allah hanya sebatas bertugas mengurus agama dalam pengertian itu. Bukankah kehadiran Nabi juga disebut-sebut sebagai penyebar rakhmat, bahkan rakhmatan lil alamien, seorang pembawa perubahan, yakni perubahan dari zaman kegelapan, penuh tipu muslihat, penindasan, ketidak-adilan, masyarakat biadab, kemudian menjadi zaman terang, masyarakat yang dipenuhi dengan suasana damai, adil, kebersamaan, saling mencintai dan kasih sayang, dan beradab.

Sebagai contoh perubahan yang dihasilkan oleh Muhammad saw., adalah sangat spektakuler. Contoh yang dimaksudkan itu adalah keberhasilannya di dalam membangun masyarakat Madinah yang hingga kini, tanda-tandanya sebagai masyarakat ideal, yang merupakan produk perubahan itu masih bisa dirasakan. Muhammad dengan al Qur'annya, bukan sebatas memperkenalkan agama, yakni Islam, melainkan membawa konsep perubahan masyarakat dalam berbagai aspek yang amat jelas.

Namun konsep perubahan itu rupanya belum dipahami secara utuh dan sempurna, termasuk oleh umatnya sendiri. Padahal, konsep itu sebenarnya amat jelas. Sepanjang sejarah perjuangannya, baik tatkala masih berada di Makkah maupun di Madinah, Muhammad saw., melakukan perubahan masyarakat secara mendasar. Hasilnya, luar biasa sekalipun belum berhasil ditangkap secara sempurna. Aspek yang dipahami atas perjuangan itu, baru hal yang terkait kegiatan ritualnya. Akibatnya, yang tampak dari Islam hanya sebatas sebagai agama, yakni kegiatan penyembahan, pengorbanan kepada Yang Maha Kuasa dalam pengertian terbatas, dan kehidupan kelak di akherat.

Aspek di luar agama, sekalipun sesungguhnya merupakan bagian penting dari Islam, ternyata tidak banyak mendapatkan perhatian. Masyarakat Islam pada umumnya, di mana-mana, memahaminya seperti itu. Dampaknya, institusi yang menamakan diri atau menggunakan identitas Islam, misalnya sekolah-sekolah Islam, ilmu tentang ke-Islaman, selalu dipandang sempit dan terbatas. Lebih memprihatinkan lagi, tatkala seseorang dikenal masuk komunitas Islam, maka dianggap sama artinya dengan masuk ruang terbatas, lorong, atau ruang sempit, yang kemudian dianggap berbeda dari wilayah umum yang selalu luas.

Penglihatan atau kesan Islam yang sempit seperti itu dengan mudah diperoleh di dalam kehidupan sehari-hari. Petugas agama di tingkat desa, -------agama Islam, misalnya, maka lingkup tugas dan tanggung jawabnya hanya dimaknai sebatas mengurus hal-hal di seputar pernikahan, pembagian waris, kematian, dan berdo'a. Selain itu dianggapnya bukan wilayah Islam. Anehnya lagi, hal demikian itu juga mewarnai pada pemikiran sementara kaum intelektualnya. Mereka memahami, bahwa Islam juga sebatas agama. Sehingga, tatkala mereka merumuskan tentang ilmu ke-Islaman juga hanya sebatas menyangkut ikhwal keagamaan, yaitu mengkaji ilmu ushuluddin, syari'ah, dakwah, adab, dan tarbiyah.

Dampak dari pemahaman Islam yang sebatas sebagai agama itu, maka apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di dalam membangun peradaban, di antaranya melakukan perubahan sosial secara mendasar, membangun kecintaan masyarakat terhadap ilmu, beramal shaleh, dan seterusnya belum ditangkap secara utuh. Muhammad saw., hanya dipahami sebagai orang yang mengenalkan agama, dan belum sampai sebagai sosok pengubah masyarakat dengan konsepnya sedemikian mendasar dan lengkap. Misalnya, dengan konsep tauhidnya, Muhammad saw., adalah menjadi pemersatu, memperkenalkan konsep kesamaan dan kebersamaan, keadilan, kesetaraan dalam hukum, dan lain-lain.

Semua orang, lebih-lebih lagi para ilmuwannya, kiranya sadar, bahwa kekuatan pendorong kemajuan peradaban adalah ilmu dan kemampuan berkreatifitas. Orang-orang yang kaya ilmu pengetahuan selalu memenangkan di dalam kompetisi, apalagi kompetisi di dalam kehidupan global. Keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan sebenarnya adalah sebagai resiko dari adanya kesenjangan dalam penguasaan ilmu dan teknologi. Kelompok masyarakat yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemampuan berkreatifitas, benar-benar telah meninggalkan jauh masyarakat yang miskin ilmu dan kreatifitas. Oleh karena itu, kesenjangan yang selalu dikeluhkan oleh banyak orang, sebenarnya adalah bermula dari kesenjangan penguasaan ilmu dan berkreatifitas itu.

Ajaran islam mengingatkan dengan jelas, bahwa orang-orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajadnya hingga beberapa derajad lebih tinggi. Namun rupanya, sinyal di dalam al Qur'an itu tidak ditangkap secara tepat. Akibatnya, umat Islam di mana-mana masih tertinggal dari umat lainnya yang telah menguasai terlebih dahulu ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemampuan berkreatifitas. Umpama saja, petunjuk al Qur'an, atau Islam ditangkap sebagai konsep perubahan menyeluruh terhadap tatanan kehidupan sebagaimana dikemukakan di muka, baik pada tataran individu, kelompok, dan bahkan bangsa secara keseluruhan, maka upaya mewujudkan kehidupan masyarakat adil, makmur, damai, dan sejahtera, segera terjawab. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up