Terdapat banyak definisi yang dibuat oleh para ahli tentang bahasa, tergantung penekanannya. Tetapi dari yang banyak itu dapat dirumuskan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang arbitrer yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Ronald Wardhaugh mendefinisikan bahasa sebagai “a system of arbitrary vocal symbols used for human communication”. Defenisi tersebut menekankan bahwa pada intinya bahasa adalah ucapan, bukan tulisan, yang menggabungkan antara bunyi dan makna. Tidak ada kaitan antara lambang, bunyi dan makna. Itu yang dimaksud dengan arbitrer, sebagai salah satu sifat bahasa.
Definisi lain tentang bahasa adalah sistem lambang atau simbol bunyi yang berkembang berdasarkan suatu aturan yang disepakati oleh pemakainya. Setiap lambang bahasa memiliki makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Misalnya, lambang bahasa yang berbunyi “kursi” mengandung konsep atau makna ‘sesuatu yang dipakai sebagai tempat duduk”. Kata “manusia” atau “human” wajib disebut dalam definisi bahasa, karena hanya manusia yang bisa berbahasa.
Karena sifat arbitrernya, maka setiap kelompok masyarakat bisa membuat kata atau simbol sendiri sesuai kesepatakan mereka masing-masing. Itu pula sebabnya setiap kelompok masyarakat, suku atau bangsa memiliki bahasa mereka sendiri sehingga kehidupan ini menjadi demikian indah. Suku Jawa dengan bahasa Jawanya, suku Bali dengan bahasa Balinya, demikian pula bangsa Arab dengan bahasa Arabnya, bangsa Inggris dengan bahasa Inggrisnya, dan seterusnya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi andai saja semua manusia di muka bumi hanya memiliki satu bahasa. Keanekaragaman bahasa ternyata telah memperkaya khasanah kehidupan manusia. Diperkirakan saat ini di dunia terdapat 6912 bahasa. Ada kecenderungan dari waktu ke waktu jumlahnya semakin berkurang, karena banyak bahasa yang mati alias tidak ada penuturnya.
Bahasa yang kita pakai sebenarnya sama dengan suara yang dihasilkan binatang. Misalnya, ketika seekor kucing mengeong, dia sedang berkomunikasi dengan teman-temannya atau lingkungannya. Begitu juga ketika seorang siswa berteriak di depan kelas, dia sedang menyampaikan sesuatu ke temannya atau orang-orang di sekitarnya . Karena itu, sebenarnya suara kucing dan teriakan siswa adalah bentuk komunikasi, karena keduanya mengandung pesan yang hendak disampaikan. Tetapi suara kucing tidak bisa disebut sebagai bahasa. Sedangkan teriakan siswa disebut bahasa. Karena itu, bisa dikatakan seekor kucing bersuara, sedangkan seorang siswa berbahasa.
Benar bahwa sebagian hewan memiliki kemampuan membentuk simbol untuk menyampaikan pesan atau makna, bahkan pemikiran dan emosi. Seperti simpanse oleh para peneliti disebut sebagai hewan dengan kecerdasan tinggi, tetapi ia tetap tidak bisa berbicara. Bahasa adalah anugerah Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia. Karena itu, pembeda paling nyata antara manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya adalah manusia bisa berbahasa, makhluk lain tidak.
Sepanjang sejarah bahasa tidak henti-hentinya menjadi pembicaraan manusia. Di mana ada manusia, di situ pula ada bahasa. Lebih menariknya lagi, orang membicarakan bahasa melalui bahasa pula. Tidak mungkin terjadi orang membicarakan bahasa melalui matematika. Yang terjadi justru sebaliknya, orang membicarakan matematika melalui bahasa. Itu kehebatan manusia dan bahasa sekaligus. Manusia memang makhluk Tuhan pemilik sah bahasa. Bahasa pun menjadi pusat pemahaman dan kesalahpaham manusia. Maksudnya adalah sesuatu yang tidak jelas bisa menjadi lebih jelas karena bahasa, tetapi sebaliknya sesuatu menjadi tidak jelas juga karena bahasa. Bukankah kesalahpahaman yang akhirnya melahirkan konflik sosial juga berawal dari bahasa? Konflik pun akhirnya mereda setelah ada penjelasan melalui bahasa. Karena itu, tidak berlebihan jika para filosof bahasa mengatakan bahwa ciri keunikan manusia bukan terletak pada fisik dan pola pikirnya, tetapi pada bahasanya. Kecerdasan manusia pun bisa dilihat dari bahasanya. Bahkan peradaban manusia hanya bisa berkembang lewat bahasa.
Di dalam bahasa ada kata. Menurut filosof Herakleitos kata adalah realitas kekal, realitas pelintas ruang dan waktu. Di dalam kata ada dunia ide yang kekal. Kata mewakili makna dan realitas, walaupun sebenarnya makna dan realitas yang ada jauh lebih kompleks daripada kata atau simbol yang mewakilinya. Karena itu, andai makna dan realitas bisa bicara, mereka bisa protes karena sebagai simbol kata tidak mampu mewakilinya secara penuh. Menurut filosof bahasa Wittgenstein selalu ada sesuatu di luar kemampuan manusia untuk dikatakan dan dipahami (there are always things in existence that are beyond our human ability to imagine or conceive). Di balik kelebihannya, bahasa juga memiliki kelemahan, karena tidak mampu mengungkap semua realitas kehidupan yang ada, baik realitas emipirik, abstrak, maupun simbolik. Manusia hidup dengan bergelimang realitas, yang oleh Polanyi disebut sebagai “surplus of knowledge”.
Begitu hebatnya peran bahasa bagi manusia, sampai-sampai seorang Confucius, misalnya, pernah mendapatkan pertanyaan, apa yang akan dilakukan seandainya diberi kesempatan memimpin negara. "Membenahi bahasa", demikian jawaban singkat Confucius. Bahasa, menurut filsuf Cina ini, bukan sekedar cermin keteraturan berpikir, tetapi bahkan akan menentukan keteraturan atau malah ketidak-teraturan masyarakat.
Kepercayaan bahwa ada hubungan timbal-balik antara bahasa dengan masyarakat itu pula yang kemudian menjadi pembenar bagi kelahiran bidang kajian sosiolinguistik. Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan dianggap terlalu sempit, sebab yang dipersoalkan oleh sosiolinguistik adalah “who speaks what language to whom, when and to what end”. Kendati manusia adalah pemilik sah bahasa, tidak berarti bisa menggunakan sebebas-bebasnya. Ada saat dan di tempat tertentu seseorang mengucapkan kata tertentu untuk maksud tertentu pula.
Lebih dari itu, Chaika (1982) memandang bahasa mewakili gambaran hakikat pengetahuan terdalam umat manusia, maka bahasa adalah cermin masyarakat (language is a mirror of soicety). Ilustrasinya sederhana bahwa masyarakat yang tidak stabil tergambar dengan sangat jelas pada bahasa yang dipakai masyarakat. Sedangkan Ricoueur (1991) menegaskan bahwa keberadaan dan kehidupan manusia pun ada di dalam bahasa. Tidak dapat dihindari, pranata bahasa pun menjadi pembentuk utama sosok dan jati-diri anak manusia. Jadi, kalau menurut perspektif interaksionisme Mead (1934) masyarakat tidak lain adalah pola-pola hubungan antara: (1) aku-subjek (I), (2) orang-orang lain, baik umum (generalized other) maupun khusus (significant others), dan (3) aku-objek (me), maka melalui pranata bahasa, orang lain mempengaruhi dan membentuk aku-objek. Pun melalui lembaga bahasa, aku-subjek (I) berupaya mempengaruhi orang lain.
Sosok dan jati-diri manusia, merujuk konstruksionisme Berger dan Luckman (1990), tidak lebih merupakan hasil konstruksi sosial melalui bahasa. Bahasa, sejauh dapat dikesan dari kajian mereka, adalah salah satu pranata masyarakat paling berkuasa. Bahasa, karena itu, juga merupakan salah satu sumber kekuasaan. Walhasil, di atas segalanya, Wittgenstein secara tegas mengatakan “the limits of my language mean the limit of my world”. Terjemahan bebasnya adalah batas bahasaku adalah batas duniaku. Maksudnya, penguasaan kita tentang dunia ini dengan berbagai isinya tergantung sejauh mana penguasaan kita tentang bahasa. Maka berbahagialah orang yang menguasai bahasa tertentu, sebut saja misalnya bahasa Inggris, Arab, Perancis, Jerman dan sebagainya. Sebab dengan menguasai bahasa itu seseorang memiliki pengetahuan yang luas yang ditulis dalam bahasa tersebut!.
__________
Malang, 24 Februari 2015