Terkait dengan penggunaan bahasa asing, selama menjadi presiden lebih dari 100 hari, saya belum pernah melihat dan mendengar Jokowi menggunakan istilah asing, misalnya dalam bahasa Inggris. Tetapi saya pernah melihat sekilas lewat layar televisi Jokowi berbahasa Inggris ketika menemui Perdana Menteri Australia usai pelantikannya sebagai presiden. Karena itu, Jokowi jarang menggunakan bahasa Inggris bukan karena tidak bisa, tetapi karena ingin berkomunikasi dengan bahasa rakyat. Malah, beberapa istilah dalam bahasa Jawa mewarnai komunikasinya. Maklum Jokowi adalah orang Solo asli, sehingga wajar jika terminologi Jawa sering muncul.
Dibanding dengan presiden sebelumnya, yaitu SBY, komunikasi politik Jokowi jauh dari standar komunikasi politik seorang presiden. Sby, yang selalu rapi berpakaian dan sangat memperhatikan penampilannya di depan publik, dikenal sebagai orator ulung dengan ragam bahasa formal yang teratur, pilihan kosa kata yang tepat dan sistematis. Orang merasa enak mendengarnya. Tak heran, SBY pernah dinobatkan sebagai tokoh berbahasa Indonesia terbaik oleh Majalah Tempo beberapa waktu lalu. SBY juga sering menggunakan istilah asing, terutama bahasa Inggris yang sangat perfect. Maklum, SBY pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat ketika masih berstatus sebagai militer aktif, sehingga wajar jika bahasa Inggrisnya sangat baik.
SBY juga sanggup menjelaskan berbagai persoalan yang dihadapi terkait dengan tugasnya sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan dengan gamblang dan panjang lebar kepada masyarakat, menggambarkan penguasaannya terhadap masalah yang dihadapi. SBY juga dikenal tidak saja sangat hati-hati dalam mengambil kebijakan politik, sehingga bagi pesaingnya dikatakan sebagai lamban dan tidak tegas, tetapi juga dalam berkomunikasi. Setahu saya selama menjabat sebagai presiden dua periode, SBY belum sekalipun kepeleset berkomunikasi. Dalam situasi resmi, SBY berkomunikasi politik dengan bahasa akademik tingkat tinggi.
Kebetulan saya pernah hadir di istana negara untuk beberapa keperluan dan mendengarkan langsung pengarahan SBY terkait isu-isu aktual, baik pada tataran global, regional, maupun nasional. Suatu kali di istana negara, SBY bisa menjelaskan situasi global terkait dengan keberadaan umat Islam, pendidikan Islam dan masa depan Islam dengan sangat dalam dan fasih. Kami para pimpinan PTAIN yang hadir saat itu termangu-mangu mendengarnya. Hampir selama dua jam beliau memberikan pengarahan sampai diingatkan ajudannya bahwa waktu telah habis dan segera mengikuti acara berikutnya.
Saya mengikuti dengan cermat pengarahan presiden SBY ketika itu dan tak satu pun kata yang salah ucap dengan kalimat yang tersusun rapi. Satu demi satu poin disampaikan dengan detail dan jernih dengan penekanan kata dan ritme kalimat yang pas. Gaya bahasanya baku, tetapi tidak kaku. Ini tentu tidak lepas dari latar belakang militernya yang serba formal. Kendati berkomunikasi tingkat tinggi, khalayak bisa memahami isi yang disampaikan dengan baik. Agar tidak lepas konteks, SBY selalu membawa kertas kecil untuk mencatat poin-poin penting yang akan disampaikan. Untuk lebih menekankan pesan yang disampaikan, SBY sering menggunakan bahasa tubuh atau gesture secara tepat bersamaan dengan kata atau kalimat yang diucapkan. Penggunaan bahasa tubuh yang tepat bisa lebih menekankan pesan yang disampaikan. SBY memanfaatkannya dengan baik.
Sebaliknya, Jokowi, yang suka mengenakan baju putih lengan panjang dan dilipat di bagian ujungnya, berkomunikasi dengan pilihan kosa kata biasa, dengan ragam bahasa santai dan tidak formal, dingin, bahasa tubuhnya sering mendahului kata atau kalimat yang diucapkan, dengan kalimat yang tidak terstruktur, dan sering kali berhenti dengan kalimat yang belum selesai. Sejak menjadi Gubernur DKI saya beberapa kali mendapatkan Jokowi suka sekali mengucapkan kalimat dengan “baik....” yang mestinya dilanjutkan dengan kata “maupun....”. Misalnya, usai pelantikan dan berorasi di depan massa pendukungnya, Jokowi mengucapkan kalimat “Saya akan bekerja ‘baik’ dengan petani, nelayan, pegawai negeri, pegawai swasta, tentara, polri, pedagang, mahasiswa, dan lain-lainnya”. Kalimat itu belum lengkap. Penggunaaan kata “baik...” mestinya diikuti dengan kata “maupun...”.
Rupanya kebiasaan Jokowi seperti itu masih terus berlangsung hingga saat ini. Perhatikan saja dengan cermat setiap Jokowi berkomunikasi. Mendengar ucapan seperti itu, kadang-kadang saya merasa ‘gregeten’ mengapa Jokowi membuat kesalahan yang mestinya tidak perlu terjadi dan tidak ada orang sekelilingnya yang mengingatkan. Sebab, saat ini Jokowi bukan sembarang orang Solo yang sarjana kehutanan dari Universitas Gadjah Mada dan pernah menjadi penguasaha mebel. Jokowi sekarang adalah seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang memimpin hampir 250 juta rakyat Indonesia dan dipilih secara demokratis. Karena itu, setiap tindakannya, termasuk berkomunikasi, selalu menjadi perhatian publik.
Sebagai contoh saat ini baju warna putih lengan panjang laris di pasaran. Tidak hanya itu, banyak orang yang meniru cara berpakaian Jokowi, baju putih dibiarkan tanpa dimasukkan ke celana. Menurut berita yang saya baca, sekarang pedagang baju jas sepi pembeli, karena masyarakat meniru pemimpinya. Dimulai saat pelantikan Kabinet Jokowi yang semua menteri mengenakan pakaian putih, jarang sekali kita melihat pejabat negara mengenakan pakaian jas berdasi.
Pemimpin adalah figur publik. Kepadanya tidak saja dituntut bersih dari berbagai praktik kejahatan, tetapi juga contoh dalam berbagai hal. Saya khawatir jika model berkomunikasi Jokowi yang sering mengakhiri kalimat yang tidak utuh juga ditiru masyarakat. Masyarakat kita adalah masyarakat paternalistik, suka meniru gaya apa saja dari pemimpinnya. Ketika di era Orde Baru, Pak Harto suka mengucapkan kata ‘ken” (yang mestinya “kan”), seperti “menekankan” menjadi “menekanken”, dan kata “semakin “ diucapkan “semangkin”, masyarakat, terutama aparatur pemerintahan mulai menteri sampai perangkat desa meniru gaya Pak Harto tersebut.
Begitu juga ketika Gus Dur dengan ungkapan khasnya “begitu saja kok repot”, masyarakat luas juga menirunya. Saya pernah dibuat marah oleh mahasiswa karena ketika saya menanyakan mengapa tugas perkuliahan tidak selesai sesuai waktu yang ditentukan, ada seorang mahasiswa yang tiba-tiba nyelethuk “begitu saja kok repot pak”. Saya merasa tidak nyaman dengan ucapan itu karena mahasiswa itu tidak bisa membedakan mana yang serius dan yang tidak. Jika kebiasaan menggunakan ungkapan “begitu saja kok repot” di berbagai hal, kita bisa kacau.
Bahasa adalah ungkapan diri. Para ahli sosiolinguistik berpandangan bahwa bahasa bukan saja ekspresi dunia batin penggunanya, tetapi juga piranti menggali diri seseorang. Semua yang kita miliki bisa kita rahasiakan, mulai kekayaan, kepercayaan, profesi, asal usul, dan sebagainya, tetapi kita sering lupa karena lewat bahasa justru semua yang kita miliki terbaca dengan terang benderang. Dari cara berkomunikasi seseorang, kita bisa menyimpulkan dia dari mana asal usulnya, apa profesinya, dan tingkat pendidikannya.
Dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya, mulai Bung Karno yang orator ulung dan suka meledak-ledak jika berkomunikasi, Pak Harto yang dingin dengan ragam bahasa sangat formal dan menjemukan, Habibie yang suka mencampur dengan istilah asing (Inggris dan Jerman) dengan kemampuan bicara berjam-jam dengan disertai gerakan mata pada kata-kata yang ditekankan maknanya, Gus Dur dengan bahasa khas pesantren dan suka berkelakar, dan tidak formal, Megawati yang dingin dengan bahasa sederhana dan tidak terstruktur, SBY yang rapi, terstruktur dan sistematis serta sering diselingi istilah dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris, dan bisa berkomunikasi berjam-jam, maka Jokowi bukan sosok orator, bahasanya sederhana, pemenggalan kalimat yang tidak tepat dan bicara sangat singkat, serta hampir tidak pernah menggunakan istilah asing. Jujur saja saya sering deg-degan melihat Jokowi menyampaikan penjelasan mengenai apa saja tanpa teks.
Ketika memberi penjelasan mengenai perseteruan Polri dan KPK, usai penangkapan BW oleh Polri, publik mengharap Jokowi bisa menjelaskan persoalan kemelut itu dengan gamblang. Tetapi yang terjadi Jokowi hanya memberikan penjelasan singkat, tidak lebih dari 3 menit, dengan isinya yang sangat normatif sekedar himbauan agar kedua institusi penegak hukum itu tidak saling menyerang. Tak pelak banyak yang kecewa dengan sikap Jokowi tersebut. Menyikapi persoalan perseteruan antara Polri dan KPK, sebagai kepala negara dan pemerintahan seharusnya Jokowi bisa berbicara tidak sesingkat itu sehingga terkesan Jokowi tidak menguasai persoalan kenegaraan. Para pendampingya mestinya bisa menyampaikan saat mana Jokowi harus bicara singkat dan saat mana pula harus panjang lebar untuk menunjukkan kenegarawanannya agar rakyat yang telah memilihnya tidak kecewa.
Berbeda dengan SBY yang cermat memilih kosa kata dalam setiap berkomunikasi, sebaliknya Jokowi sangat tidak cermat. Suatu ketika saya menghadiri undangan di istana negara dalam rangka peresmian beberapa IAIN menjadi UIN dan STAIN menjadi IAIN, saya juga sempat kaget ketika Jokowi lebih dari tiga kali mengucapkan kalimat “Indonesia adalah negara Islam dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia dst ....”. Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara kesatuan dengan jumlah Islam terbesar di dunia.
Sekali lagi Jokowi sekarang bukan sembarang orang yang dengan enaknya berkomunikasi dengan menggunakan kata apa saja, tetapi adalah seorang presiden yang setiap kata yang diucapkan menjadi kebijakan dan rujukan masyarakat luas. Karena itu, belum sangat terlambat untuk memperbaiki cara berkomunikasi yang secara substantif benar, dan secara aturan kebahasaan tidak melanggar aturan atau kaidah berbahasa yang baik dan benar sehingga enak didengar. Mungkin Jokowi tidak sadar, karena itu orang-orang terdekatnya bisa membantu untuk memperbaikinya. Semoga!
Tulisan ini pernah dimuat di Malang Post