Dua Hari Bersama Buya Ali Akbar di Medan
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Selasa, 3 Maret 2015 . in Rektor . 2057 views

Begitu mendarat di bandar udara internasional Kualanamu Medan, kami langsung dijemput oleh santri KH. Ali Akbar. Saya datang bersama seorang kolega dekat, yang dulu pernah mengajar di pondok itu di awal-awal perkembangannya yang selain menjadi dosen juga sebagai kyai, sengaja tidak menginap di hotel selama di Medan, tetapi di pondok pesantren tersebut sekaligus ingin mengenal KH. Ali Akbar lebih dekat dan melihat kehidupan pondok pesantrennya. Saya juga ingin memenuhi janji saya untuk berkunjung ke pondok tersebut beberapa waktu lalu. Kawan saya yang ahli tafsir, pandai berbahasa Arab dan Inggris itu tampak sangat dekat dengan KH. Ali Akbar, dan sudah dianggap sebagai keluarga.  Kami tiba di rumah KH. Ali Akbar sekitar pukul 15.00 WIB. Begitu datang, kami disambut kyai yang sangat bersahaja dan sejuk itu dengan ramah dan hangat. Usai berbincang-bincang sejenak, kami langsung diminta untuk makan siang yang memang sudah disiapkan.

Di masyarakat sekelilingnya, KH. Ali Akbar itu biasa dipanggil Buya. Beliau sangat populer. Ketika di acara pertemuan Forum Rektor saya ditanya beberapa kawan tinggal di mana selama di Medan, saya bilang tinggal di Pondok Pesantren milik KH. Ali Akbar (Buya). Ternyata semua mengenalnya. Itu wajar, karena PP. Al Kautsar yang ia dirikan dan pimpin tergolong besar.

Perkenalan saya dengan Buya Ali Akbar dimulai ketika saya menghadiri pertemuan para kyai, ulama, dan tokoh di Pondok Pesantren Riyadul Jannah yang diasuh oleh KH. Mahfudz Saubari di Pacet, Mojokerto. Begitu ketemu, kami langsung akrab. Usai perkenalan itu, saya dan kawan saya dipanggil masuk ke kamarnya. Kami berdua penuhi saja panggilannya itu, tanpa saya tahu apa maksudnya. Setelah berbincang-bincang beberapa saat di kamarnya, Buya itu memanggil sekretaris pribadinya bernama Sultan, pemuda dari Jepara, yang selalu mendampinginya ke manapun beliau pergi. Saya sangat terkejut karena Buya itu menyuruh Sultan untuk menyiapkan uang di dalam amplop untuk diberikan ke kami berdua. Saya bermaksud menolak karena saya sudah punya uang, tetapi kawan saya itu menasihati saya agar menerima pemberian itu. Sebab, jika ditolak Buya akan tersinggung. Dengan perasaan agak malu, akhirnya uang itu saya  terima, dan Buya tampak sangat senang. Kawan saya itu berbisik “Salah satu kebiasaan Buya adalah memberi uang kepada orang lain, siapapun dia, bahkan juga biasa memberi uang ke sesama kyai. Jadi tidak minta, tetapi justru memberi”, begitu penegasan kawan saya yang ahli tafsir lulusan dari Universitas Alighar India itu.

Sambil menepuk punggung saya, Buya mengatakan siapa tahu besuk ada orang yang datang ke Pak Rektor (begitu Buya selalu menyebut saya) dan dia memerlukan uang. Saya hanya mengangguk. Apa yang dikatakan Buya ternyata benar. Besuk harinya ketika saya di kantor, datang orang yang meminta bantuan keuangan untuk memperbaiki masjidnya. Semua uang di amplop itu saya berikan, tanpa saya kurangi satu rupiahpun. Dalam hati saya  berpikir bahwa yang dikatakan Buya ketika memberikan uang ke saya itu benar-benar menjadi kenyataan. Uang itu ternyata ada yang membutuhkan.

Sebagai seorang ulama terkenal, KH. Ali Akbar sering didatangi pejabat untuk minta fatwa atau orang yang ingin menjadi pejabat dengan minta restu, dukungan dan doa. Di buku album yang ditunjukkan ke saya beberapa pejabat negara pernah berkunjung ke pondok tersebut, mulai Presiden Megawati, Wakil Presiden M. Yusuf Kalla, beberapa Menteri Agama, mulai KH. Moh. Tolkhah Hasan, Maftuh Basyuni, Suryadharma Ali. Malah Dahlan Iskan beberapa kali menginap di pondok itu, walau sudah disediakan kamar hotel. Terlihat juga foto mantan Ketua Umum PB NU, KH. Hasyim Muzadi yang berkali-kali juga berkunjung.

Sambil memperlihatkan foto para tamu yang pernah berkunjung, tiba-tiba Buya nyelethuk “Pak Rektor, jangan bayangkan para pejabat ini datang dengan membawa uang seperti perkiraan banyak orang ya. Memang semua pernah berjanji akan memberi uang untuk membantu pembangunan pondok. Tetapi mereka rupanya lupa dengan janji yang pernah mereka ucapkan sendiri. Padahal, saya tidak pernah memintanya”. “Karena itu, jangan pernah minta kepada orang, mintalah kepada Tuhan. Jika minta kepada orang, yang bersangkutan bisa jenuh.   Tetapi Tuhan tidak pernah jenuh diminta apapun. Karena justru Tuhan menyuruh kita untuk meminta. Sesombong-sombong orang adalah yang tidak pernah meminta kepada Tuhannya”, imbuh Buya serius. Kendati tidak pernah memperoleh bantuan dari para pejabat, Buya tidak pernah kecewa. Pondoknya terus berkembang tanpa bantuan dari siapapun. Beliau sadar benar, manusia itu makhuk pelupa. Dengan Tuhan yang menciptakannya saja, manusia bisa lupa. Buktinya, banyak manusia yang tidak menjalankan sholat. Padahal, sholat merupakan media utama mengingat Tuhannya. Dengan tidak sholat,  berarti manusia lupa Tuhannya.

Di hari pertama di pondok, kami sempatkan ikut sholat subuh berjamaah dengan para santri, ustad, dan Buya sendiri. Sebagaimana tradisi di pondok-pondok salaf, di pondok Buya ini usai sholat selalu dilanjutkan dengan dzikir bersama. Suasana pagi di pondok itu sangat sejuk, karena banyak tanaman yang ditata rapi oleh Buya sendiri. Ternyata Buya bukan saja seorang ulama, tetapi juga pecinta tanaman. Usai sholat subuh, kami berdua diminta Buya untuk memberikan tausiyah kepada para santri. Saya menyampaikan tentang pentingnya pendidikan kepada para santri yang tampak serius mendengarkan tausyiah kami. Oleh kawan saya itu disampaikan perjuangannya ketika masih menjadi salah seorang pengajar di pondok itu, sambil bernostalgia. Kawan saya itu juga menunjukkan kamar yang dulu pernah ditempati bertahun-tahun dan hingga kini masih terawat utuh.  Para santri pun pada menoleh ke tempat yang ditunjuk oleh shobat saya itu.

Usai acara di masjid pagi itu, kami diajak keliling oleh Buya melihat-lihat bangunan pondok berikut tanaman yang tumbuh rindang, dan juga melihat tanah yang baru saja dibeli untuk perluasan pondok. Sambil berjalan-jalan di halaman belakang pondok, saya perhatikan para santri menyapu halaman pondok secara berkelompok. Menurut Buya, itu sudah menjadi kegiatan rutin agar santri juga terlibat dalam usaha kebersihan pondok. Karena itu, pondok Buya tidak saja tampak asri, tetapi juga bersih. Para santri tidak saja diajari ilmu agama, tetapi juga kedisplinan dan kebersihan. Pondok Buya itu benar-benar mengajari “kehidupan” kepada para santrinya.

Di Pondok itu sudah ada pendidikan dasar, menengah (SMP dan SMA). Untuk ukuran di luar Jawa, pondok Buya sudah tergolong besar. Tetapi, berkali-kali beliau menyampaikan bahwa yang beliau lakukan hingga kini baru 40% dari cita-citanya membangun pondok pesantren secara keseluruhan. Saya usulkan perlunya ditingkatkan pendidikan hingga perguruan tinggi dalam bentuk Sekolah Tinggi dulu. Buya sangat setuju dengan usulan saya itu , dan minta bantuan bagaimana mengurusnya. Kami berjanji akan membantunya.

Di malam terakhir kami di pondok, buya mengajak kami ngobrol hingga larut malam, sebelum akhirnya kami dibaiat sebagai keluarga dekat dengan diberi kain ulos berwarna merah. Ulos dalam bahasa Batak artinya kain, yaitu salah satu busana khas masyarakat Batak, yang dibuat dengan alat tenun tanpa mesin.Ulos kerap digunakan pada perhelatan resmi atau upacara adat Batak. Di samping kami ada pula adik kandung Buya, pengasuh pondok dan dua orang sekretaris Buya. Malam itu kami berdua sama sekali tidak merasa sebagai tamu, tetapi seperti keluarga dekat karena penerimaan Buya yang sangat hangat. Ulos itu pun akhirnya saya bawa pulang untuk kenang-kenangan.

Jam 4.00 esuk hari, kami meninggalkan rumah Buya menuju bandara Medan. Kami berpamitan dan diantar Buya hingga halaman depan pondok. Sekrearis pribadi Buya yang bernama Sultan diminta mengantar kami ke bandara. Tetapi sebelum kami masuk mobil menuju bandara, lagi-lagi peristiwa di Pondok Pesantren Riyadul Jannah, Pacet, Mojokerto, terulang. Sambil menjabat erat tangan saya, Buya memberikan sebuah amplop berisi uang. Lagi-lagi saya bingung. Mau menolak tidak mungkin, jika menerima kok ya saya ini keterlaluan, karena kami datang tidak membawa apa-apa. Ketika saya kebingungan, sambil senyum Buya mengatakan “Kedatangan anda berdua ke sini adalah rahmat. Jadi tidak perlu membawa apa-apa. Karena itu, saya tunggu kedatangan berikutnya”. Kalimat seperti itu memang beliau ucapkan berkali-kali sejak kami datang.

Dengan ucapan Buya itu, saya masih bingung. Namun kebingungan kali ini bukan antara menerima atau menolak pemberiannya, tetapi bagaimana memahami kebiasaan Buya yang suka memberi uang itu. Apa itu kira-kira salah satu wujud implementasi pesan Allah untuk ber ”ikromul duyyuf” ke setiap tamu yang datang? Buya sendiri yang bisa menjelaskan makna semua tindakannya. Sayang, saya tidak cukup berani untuk menanyakan hal itu. Mungkin kawan dekat saya itu yang bisa menanyakannya langsung ke Buya, walau saya yakin Buya tidak akan menjawabnya!

____________

Malang, 10 Februari 2015

Catatan pendek: Tulisan ini disempurnakan oleh shobat saya,  M. Mujab, Ph.D, yang menemani saya berkunjung ke Buya.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up