Rasa Syukur Seorang Pedagang Cilok
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Senin, 9 Maret 2015 . in Rektor . 5310 views

Di tengah hujan lebat itu, tiba-tiba datang seorang pemuda mengendarai sepeda motor dengan mengenakan jaket kulit dan kepalanya tertutup helem. Sekujur badannya basah kuyup kena air hujan. Sepeda motornya ditaruh di tempat parkir. Setelah memarkir sepedanya, pemuda itu berlari masuk ke teras masjid. Saya senang karena mendapat teman di masjid itu. Saya segera menyapanya namanya siapa, dari mana dan sedang melakukan apa. Dengan ramah pemuda itu menyebutkan namanya Setiyo, berasal dari sebuah kampung kira-kira jaraknya 19 km dari masjid itu, dan sedang berjualan makanan cilok.

Sore itu ketika mampir ke masjid, dagangan ciloknya tinggal beberapa saja atau praktis sudah habis.  Tanpa saya tanya, dengan bangga dia mengatakan bahwa sore itu telah membawa uang sebanyak Rp. 170.000 (seratus tujuh puluh ribu rupiah), dan dari uang yang diperoleh itu dia bisa menyisihkan sebanyak Rp. 50. 000  (lima puluh ribu rupiah) sebagai laba bersih. Rata-rata tiap hari dia bisa mengumpulkan uang sebesar itu. Bagi Setiyo uang Rp. 50. 000 itu sudah cukup dan merupakan kebahagiaan tersendiri, dibanding dengan teman-temannya yang bekerja di pabrik atau di proyek-proyek bangunan. “Dapatnya kurang lebih sama, tetapi badan capek  dan bekerja ikut orang pasti tidak enak”, begitu alasannya.

Dia mulai bercerita tiap hari berangkat dari rumah untuk menjajakan ciloknya mulai pukul 14.00 ke langganan-langganannya. Jam 16.00 sudah hampir habis. Praktis, katanya, dia hanya memerlukan waktu dua sampai tiga jam untuk menjual ciloknya hingga habis. Semua dia lakukan sendiri, mulai belanja bahan, memasak, hingga menjualnya. Semua aktivitasnya dimulai setelah sholat subuh. Dia tidak memerlukan bantuan orang lain agar bisa lebih hemat.

Jam 14.00 Setiyo mulai meninggalkan rumah dan keliling menjual cilok hingga habis, rata-rata sampai jam 16.00 atau jam 17.00. Setiap hari pula setelah dagangannya habis, pemuda itu mampir ke masjid untuk menunaikan sholat ashar. Ketika saya tanya apa sering mampir ke masjid itu, dia menjawab sangat sering. Katanya sambil pulang, karena tiap hari selalu melewati masjid itu, dia sempatkan mampir untuk menunggu sholat maghrib. Selain itu, katanya, itu dia lakukan sebagai sebagai bentuk syukur karena hari itu telah memperoleh rezeki Rp. 50. 000. Karena itu, dia syukuri.

Mendengarkan jawaban itu, saya sungguh salut dengan pemuda itu. Saya semakin penasaran untuk berdiskusi lebih lanjut tentang “percilokan”. Sebagai pedagang cilok, ternyata Mas Setiyo tidak tahu asal mula makanan yang disebut cilok itu. Dia hanya tahu cara membuatnya. Cilok adalah makanan berbentuk bulat seperti bakso, yang terbuat dari tepung tapioka, dicampur daging (daging sapi dan ayam), dan dilengkapi dengan bumbu seperti sambal kacang dan saus, dan dilengkapi dengan telur. Saat dimakan rasanya kenyal. Jujur, saya sendiri belum pernah sekalipun makan cilok. Tetapi saya melihat anak saya sering beli. Akhir-akhir ini cilok semakin populer dan banyak penggemarnya.

Saya tidak ingin kebablasan berbicara tentang cilok, tetapi tentang rasa “syukur” pemuda pedagang cilok yang bernama Setiyo itu.  Bagi saya, itu sangat menarik, Sebab, di era sekarang ini apa artinya uang Rp. 50.000. Di mata para selebritis, politisi, pejabat, apalagi konglomerat, uang Rp. 50. 000 tentu sama sekali tidak ada artinya. Tetapi bagi Setiyo uang itu bernilai sangat tinggi, hingga dia bersyukur. Bentuk syukurnya, hampir tiap hari ketika melewati masjid di kampung Kepoh dia mampir untuk menunaikan ibadah sholat, terutama sholat ashar dan maghrib.

Berdagang cilok bagi Setiyo sudah berjalan selama 6 tahun, dan menurutnya dari hari ke hari usahanya itu lancar. “Semua ini saya syukuri pak, lha mau apalagi. Semua orang bekerja toh ujungnya cari untung, dan saya sudah merasa beruntung dengan berdagang cilok ini. Bekerjanya tidak berat, risikonya hampir tidak ada. Yang penting sehat”, ungkap Setiyo dengan semangat. Saya sangat setuju prinsip hidupnya, terutama rasa syukurnya.

Setiyo merupakan eksemplar rakyat kecil yang bekerja tiap hari dengan penghasilan Rp. 50. 000. Saya yakin masih ada banyak “Setiyo” lain di negeri ini yang berpenghasilan sangat sedikit dan mau bersyukur. Setiyo tampak bahagia, dan tidak neko-neko dalam hidupnya. Dia juga tampak tidak larut dalam hingar politik di kalangan para politisi yang akhir-akhir ini memanas. Tetapi saya yakin dia tahu ada perseteruan antara KPK dan Polri yang menguras tenaga di antara dua lembaga penegak hukum itu melalui media. Setiyo tidak peduli itu semua. Baginya, yang penting bisa berbisnis cilok dan bisa mengumpulkan uang untuk kehidupan keluarganya.

Bersama Setiyo sore itu saya memperoleh pelajaran dalam hidup ini betapa Tuhan sangat adil, karena mampu membagi rezeki dan rasa syukur kepada umatnya sesuai kadar dan kapasitasnya. Jika Tuhan menghendaki, bisa saja rakyat kecil pedagang cilok seperti Setiyo memperoleh uang Rp. 1 juta tiap hari. Tetapi Tuhan Maha Tahu jangan-jangan Setiyo justru tidak mau bersyukur dan tidak lagi menyempatkan diri ke masjid setiap selesai menjual ciloknya karena semakin sibuk dengan uang Rp. 1 juta rupiah yang dia peroleh. Tuhan sangat Maha Tahu kepada siapa rezeki diberikan dan berapa jumlahnya, serta kapan pula rezeki itu harus diberikan. Begitu hebatnya Tuhan Penguasa alam semesta ini membagi rezeki bagi makhluk yang diciptakannya.

Pelajaran kedua yang saya peroleh adalah ketenangan dan kebahagiaan hidup tidak selalu melalui harta melimpah. Saya teringat nasihat Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin-nya bahwa salah satu kunci kebahagiaan hidup adalah mau bersyukur dengan apapun pemberian Tuhan dan tidak ngoyo. Memperoleh rezeki banyak bersyukur, memperoleh sedikit juga tetap bersyukur. Sebab, pada hakikatnya semua yang kita peroleh merupakan ketetapan Tuhan yang tak siapapun bisa mengelaknya jika Tuhan menghendaki. Setiyo tidak mengeluh dengan profesinya sebagai penjual cilok. Dia menerima dengan sabar atas apa yang dia miliki dan jalani saat ini.

Sore itu Setiy o tampak sangat bahagia. Saya yakin saat ini Setiyo hidup jauh lebih bahagia dan tenang dibanding para koruptor yang sedang diuber-uber KPK, atau yang telah divonis pengadilan. Malah Setiyo lebih tenang daripada Komjen Budi Gunawan yang sedang menanti nasibnya, jadi atau tidak dilantik menjadi Kapolri, atau malah masalahnya akan terus diusut KPK dan jika terbukti siap-siap menjadi terdakwa dan akhirnya menjadi terpidana. Pun Setiyo jauh lebih tenang dibanding Labora Sitorus, seorang polisi berpangkat Bintara Tinggi, yaitu Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu), yang berdinas di Kepolisian Raja Ampat, Papua Barat, memiliki kekayaan lebih dari 1,5 trilyun rupiah. Sebab, dia sedang bersembunyi dan dicari pihak berwajib untuk mempertanggungjawabkan harta yang ia peroleh. Bagi semua orang, polisi dengan pangkat bukan perwira yang memiliki harta sebanyak itu dianggap tidak wajar. Sebab, gaji seorang Aiptu sekitar Rp. 3 juta per bulan, ditambah dengan berbagai macam tunjangan dan insentif paling banyak gajinya Rp. 8 juta.

Pelajaran berharga dalam hidup tidak saja bisa diperoleh di ruang kuliah dari seorang dosen, guru besar hebat, atau dari buku-buku mahal, tetapi juga dari kisah atau perjalanan hidup orang-orang biasa seperti Setiyo. Bagi saya, Setiyo sore itu adalah ayat kauniyyah yang banyak Allah tebarkan di kanan kiri kita. Masalahnya kita sadar atau tidak. Dengan berpenghasilan Rp. 50.000 tiap hari, Setiyo tentu tidak muluk-muluk bercita-cita ingin menjadi konglomerat. Tetapi saya yakin harkat dan martabat Setiyo sebagai manusia jauh lebih tinggi daripada orang-orang kaya yang memperoleh hartanya dengan cara tidak halal.

Sayang saya tidak mencatat nomor kontak Setiyo, sehingga pertemuan itu berakhir usai kami berpisah.  Tetapi bagaimana pun saya sangat berterima kasih kepada mas Setiyo yang sore itu menjadi ayat kauniyyah bagi saya!

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up