“Noto ati, itu penting sekali dalam hidup sekarang ini. Memang itu berat, dan tidak semua orang sanggup. Tapi itu harus dilakukan, lebih-lebih bagi seorang pemimpin. Jika tidak sanggup noto ati, oh sangat berat menjadi pemimpin saat ini”, begitu cuplikan wejangan senior saya, yang tidak lain adalah rektor pendahulu saya, yang hampir sepanjang hidupnya mengabdikan diri untuk mengurus pendidikan dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan. Saya perhatikan nasihat itu sambil merenungkan maknanya. Secara konseptual, “noto ati” itu sendiri apa? “Noto ati” atau menata hati, adalah istilah dalam bahasa Jawa yang artinya kesanggupan atau kemampuan seseorang untuk berlapang dada dan dapat menerima orang lain dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Karena itu, inti “noto ati” adalah sabar. Noto ati memang hanya terdiri dari dua kosakata, yakni noto dan ati. Tetapi untuk melakukannya tidak mudah.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan orang dengan berbagai perilaku dan tindak tanduknya. Manusia memang makhluk berkehendak (intentional creature), sehingga memiliki bermacam-macam keinginan atau cita-cita. Ada yang ingin cepat kaya, punya uang banyak, ingin populer, punya rumah dan mobil mewah dan sebagainya. Itu sah-sah saja dan hak setiap orang pada tingkatan manapun. Tetapi perjalanan hidup seseorang tidak selalu berjalan linier dengan keinginan atau cita-citanya. Yang kita peroleh tidak selalu sama dengan yang kita harapkan. Bisa saja kita memperoleh sesuatu yang lebih baik dari yang kita harapkan, atau sebaliknya. Jika itu terjadi, bagaimana sikap kita? Di saat seperti itu, kita dituntut untuk pandai-pandai menata hati.
Menerima dengan lapang dada apapun pemberian Tuhan bukan pekerjaan mudah. Umumnya orang protes atau mengeluh jika hasil usahanya atau cita-citanya gagal atau tidak sesuai yang diharapkan. Ujungnya Tuhan diprotes atau disalahkan dan dikatakan tidak adil. Orang sering tidak sadar bahwa yang diberikan Tuhan kepadanya selalu yang terbaik, karena Tuhan pasti mengukur kadar kemampuan seseorang untuk menerima atau tidak menerima sesuatu.
Manusia memang makhluk unik. Itu sebabnya ketika Tuhan memberitahu malaikat bahwa Dia akan menciptakan makhluk yang diberi nama manusia, malaikat sempat bertanya untuk apa. Bukankah mereka kelak hanya akan menjadi perusak bumi? Prediksi malaikat itu ternyata benar. Bukankah kerusakan dan gonjang ganjing dalam kehidupan di alam jagad raya ini karena ulah makhluk yang bernama manusia? Tak seorang pun dapat mengelak. Selain unik, manusia memang makhluk sulit. Perilakunya sering unpredictable. Hari ini baik, besok bisa sebaliknya.
Bagi seorang pemimpin, jika ditanya urusan apa yang paling sulit dalam menjalankan tugasnya dan menjadi kunci keberhasilan organisasi atau lembaga yang dipimpinnya ? Saya yakin rata-rata jawabnya adalah tentang “mengelola manusia”. Mungkin ada yang menjawab menciptakan suasana kerja yang kondusif juga sulit. Tetapi saya yakin inti dari semua itu adalah mengelola manusia. Perilaku manusia tidak pernah tunggal. Betapa tidak! Ada orang yang tampak baik dan sopan di depan kita, budi bahasanya halus, dan kata-katanya sejuk, tetapi ternyata di belakang kita justru menjadi pecundang hebat dengan cara memusuhi, memfitnah, mengadu domba, memelintir informasi, menyebarkan kebohongan dan sebagainya.
Peristiwa semacam itu dapat kita temukan di mana saja, baik di masyarakat di mana kita tinggal, di organisasi, maupun di kantor tempat kita bekerja. Meminjam bahasa Erving Goffman, manusia itu hidup dalam dua panggung yang berbeda, yaitu panggung depan dan panggung belakang. Di depan kita seorang kawan bisa sangat sopan, tetapi di belakang berkianat.
Sebaliknya, ada orang yang tampak acuh sehingga dikira tidak bersahabat, tetapi ternyata malah menjadi teman dan sahabat sejati. Teman sejati yang saya maksudkan ialah kesediaan hadir di tengah-tengah kesulitan dengan secara ikhlas membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Saya ingat sebuah pepatah dalam bahasa Inggris yang berbunyi “A friend in need is a friend indeed”, yang artinya seorang teman sejati ialah teman yang bersedia membantu orang lain yang sedang tertimpa kesulitan. Masalahnya di era kehidupan seperti sekarang ini apa masih ada teman sejati itu?
Saya yakin setiap orang tentu pernah menghadapi masalah, mulai yang kadarnya sederhana, biasa, hingga sangat rumit. Coba renungkan berapa banyak orang yang mau datang kepada kita dan dengan tulus ingin membantu kita menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Saya yakin tidak banyak. Umumnya orang justru menghindar ketika kita sedang dirundung masalah. Tetapi ketika kesulitan itu sudah hampir selesai dan suasana sudah kembali normal, “teman-temannya” mendekati kembali. Ada juga sekelompok orang yang melihat orang lain selalu dengan kaca mata buruk, sehingga apapun yang dikerjakan dianggap salah, karena sudah anti pati. Padahal, jika bertemu dalam aktivitas keseharian sepertinya tidak ada masalah. Orang menyebutnya “bermuka dua”.
Ada lagi orang yang selalu baik ketika memerlukan bantuan. Tetapi begitu bantuan sudah diperoleh, dia lupa segalanya, dan sebaliknya bisa memusuhi karena hal-hal yang sepele saja. Ada orang yang ibadahnya rajin, rajin ke masjid, bahkan sering diundang mengisi ceramaha agama, tetapi tidak bisa berkawan dengan siapapun sehingga musuhnya banyak. Apapun yang dikerjakan orang lain selalu dipandang rendah dan salah. Merendahkan orang lain seolah menjadi kebiasaan hidupnya. Ada yang bergaya sok kaya, tetapi sehari-hari kebingungan mencari pinjaman uang. Di sisi lain, saya menemukan orang yang sangat baik, pintar, jujur, dan rendah hati. Begitulah manusia yang oleh Tuhan disebut sebagai kholifah di muka bumi ini.
Saya teringat ungkapan sosiolog Niels Bohr yang mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap materi itu berpasangan atau beroposisi biner (binary opposition). Ada baik, ada buruk. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada kawan, ada pula lawan. Ada yang jujur, sebaliknya ada yang pembohong. Ada yang sombong, ada yang rendah hati. Ada jauh, dan sebaliknya ada dekat. Ungkapan Niels Bohr bisa menjadi modal bagi kita semua untuk menata hati. Sebab, semua itu adalah keniscayaan yang harus kita terima dengan cara berlapang dada.
Seiring dengan perkembangan masyarakat saat ini, sikap “noto ati” itu tampaknya harus dilakukan, terutama bagi para pemimpin. Jika tidak, bisa stres. Sejak berakhirnya era Orde Baru pada 1998 dan masuk apa yang disebut sebagai era reformasi, semua sendi-sendi kehidupan kita ini sudah dibuka sedemikian lebar, malah ibaratnya sudah ditelanjangi bulat-bulat. Saling hujat, caci maki, mencari-cari kesalahan orang seolah menjadi pemandangan biasa. Unggah-ungguh dan tepo seliro pun sudah mulai terkikis. Sarkasme berkomunikasi menjadi biasa, tidak saja oleh orang-orang berpendidikan rendah, tetapi juga yang berpendidikan tinggi. Jika tidak percaya lihat saja acara Indonesia Lawyers Club di TV One. Acara itu benar-benar menjadi ajang saling hujat, mencemooh, memaki, merendahkan orang lain dan sebagainya.
Melihat itu semua, kita bisa bertanya dalam hati kita masing-masing mengapa masyarakat kita berubah menjadi seperti ini. Kalau begitu, masih relevankah menyebut diri kita sebagai bangsa yang lemah lembut, berkepribadian luhur, santun, dan beberapa atribut positif lainnya? Rasanya dengan melihat kenyataan yang ada saat ini predikat semacam itu telah bergeser, kendati belum habis total. Sebagai manusia, kita jengkel dan marah. Tetapi itu tidak akan menyelesaikan masalah, malah bisa-bisa muncul masalah baru. Akhirnya saya sadar bahwa nasihat senior saya itu benar bahwa sikap yang tepat saat ini, lebih-lebih bagi pemimpin adalah “noto ati”. Sebab, perilaku orang di sekeliling kita, baik itu kawan, atasan, atau bawahan sering tidak terduga. Perubahan perilaku seseorang juga begitu cepat. Hari ini bisa sangat baik, tetapi esuk hari berubah sebaliknya. Kalau begitu persoalan hidup memang “unpredictable”. Sumpek, sedih, marah, gelisah, kecewa dan sebagainya adalah sikap-sikap manusiawi. Karena itu, untuk menghadapi itu semua belajar “noto ati” menjadi pilihan sangat tepat.
__________
Ternate, 16 Maret 2015