Kisah Tukang Tambal Ban Berhaji
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Senin, 11 Mei 2015 . in Rektor . 3768 views

Namanya pendek, Amin. Usianya sekitar 36 tahun. Hidup dengan seorang istri dan tiga anak, semuanya laki-laki. Mereka berlima tingal di sebuah rumah sangat sederhana berdinding bambu dengan perabot ala kadarnya. Rumahnya menghadap ke jalan raya. Masyarakat sekitar memanggilnya Mas Amin. Generasi di bawah usianya memanggilnya Kang Amin. Orangnya berbadan sedang, berkulit gelap,  dengan rambut dipotong rapi, dan ramah terhadap siapapun. Selain itu, Amin itu rajin beribadah.

 

Sebenarnya Amin mengenyam pendidikan hingga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Berbekal ijasah SMK, Amin mencoba melamar ke berbagai tempat/perusahaan. Teman-teman seangkatan sekolahnya umumnya bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, sesuai ijasah mereka. Tetapi untuk Amin, Tuhan rupanya  berkehendak lain. Tak satu perusahaan menerimanya sebagai karyawan. Akhirnya Amin memutuskan membuka usaha sendiri, dengan membuka bengkel jasa tambal ban di depan rumahnya. Maka, menambal ban menjadi pekerjaan Amin sehari-hari. Pekerjaan itu dia lakukan tanpa ada rasa malu dan rendah diri. Bahkan teman-teman sekolahnya yang bernasib lebih baik menjadi pelanggan rutinnya.

Istrinya berjualan makanan di samping rumah. Ketiga anak laki-lakinya masih sekolah. Yang paling besar sudah kuliah. Yang bungsu masih kelas dua sekolah dasar, tidak jauh dari rumahnya. Penghasilan Amin tidak lebih dari Rp. 50. 000 per hari, tergantung sedikit banyaknya orang yang datang. Kadang penghasilannya kurang dari itu. Malah pernah suatu hari sama sekali tidak ada orang yang datang, alias tidak ada pengendara mobil atau sepeda motor yang bannya kempos. Tentu sehari itu Amin tidak memperoleh uang sama sekali. Di samping tempat kerjanya, berjejer beberapa botol bensin yang dijual.

Kendati hidup dalam kondisi kekurangan secara material, keluarga Amin tampak biasa-biasa saja, alias ceria. Mereka tidak merasa miskin dan menderita. Ketika suatu ketika saya datang untuk menambah angin ban mobil, saya sempat iri melihat ketenangan dan kebersahajaan keluarga itu. Sambil menunggu antrian memperoleh giliran, saya merenungkan kehidupan keluarga Amin itu. Saat itu saya seolah memperoleh pelajaran sangat berharga bahwa bahwa ketenangan dan kebahagiaan hidup bukan semata ditentukan oleh melimpahnya harta dan tingginya kedudukan atau jabatan seseorang, sebagaimana ditunjukkan oleh keluarga tukang tambal ban itu. Dalam hal mengelola ketenangan hidup saya merasa kalah dengan Amin.

Ketika suatu kali saya datang dan ngobrol tentang apa cita-cita hidupnya, di luar dugaan saya cita-cita hidupnya hanya satu, yakni bisa menunaikan ibadah haji.  Saya berpikir bagaimana Amin yang sehar-hari bekerja sebagai tukang tambal ban dengan penghasilan hanya Rp, 50. 000 dengan tiga anak yang masih sekolah bisa berhaji. Saya pun mengamini saja, walau dalam batin saya tertawa dari mana Amin bisa mengumpulkan uang untuk menunaikan ibadah rukun Islam kelima itu.

Menunaikan ibadah haji tentu merupakan impian bagi setiap muslim, tak terkecuali Amin. Tetapi perlu disadari bahwa ibadah haji, selain memerlukan kondisi fisik prima, juga memerlukan beaya tidak sedikit. Ketika itu Amin harus mengumpulkan uang sebanyak Rp. 25 juta. Maka, jika Amin ingin berhaji dengan istrinya diperlukan beaya sekitar Rp. 50 juta, belum termasuk beaya manasik dan persiapan pemberangkatan.

Apa yang saya tertawakan terkait cita-cita Amin ternyata salah besar, dan saya sangat menyesal. Saya lupa bahwa dalam kehidupan ini tidak ada yang tidak mungkin, apalagi yang menyangkut peribadatan. Kesimpulan saya tentang cita-cita Amin menujukkan kebodohan saya kok seolah-olah hidup ini tanpa Tuhan. Tuhan mengatur segalanya. Dengan sangat mudah bagi Tuhan membuat apa saja dan bahkan membalik rencana manusia.

Beberapa tahun kemudian, saya mendengar kabar ternyata cita-cita Amin untuk berhaji itu terwujud. Bagaimana bisa? Berikut kisah singkatnya. Di suatu hari pukul 24.00 dini hari pintu rumah Amin diketuk orang. Amin belum tidur, tetapi bengkelnya sudah ditutup sejak pukul 21.00 seperti biasanya. Setelah pintu dibuka, ternyata tamu yang mengetuk pintu itu meminta bantuan untuk menambal ban mobilnya yang kempos mendadak. Dengan tulus Amin membantunya, tentu dengan membuka bengkel dan peralatan tambal ban kembali. Semua berjalan normal saja dan Amin diberi upah seperti biasa. Dia tidak meminta tambah, walau bekerja di luar jam biasanya.

Satu bulan kemudian, orang yang meminta bantuan untuk menambal ban mobilnya itu datang lagi. “Masih ingat saya pak?, tanya tamu itu. “Oh masih. Bapak kan yang datang ke sini tengah malam untuk nambal ban itu kan?, jawab Amin ramah. “Ada apa kok datang lagi , apa ada yang kempos lagi”, tanya Amin. “Tidak. Saya datang ke sini untuk menyampaikan terima kasih karena telah dibantu dengan menambal ban mobil saya yang kempos itu”, jawab tamu setengah baya itu. “sama-sama pak”, sahut Senen.

“Bolehkah saya tanya sesuatu?”, tanya tamu itu serius. “oh ya, boleh. Apa pak?, tanya Senen. “Apa cita-cita bapak dalam hidup ini?, tanya tamu itu. “Jujur, saya ingin bisa menunaikan ibadah haji dengan istri jika suatu saat punya rezeki”, jawab Aminpolos. “Berapa beaya berhaji?” tanya tamu itu. “Sekitar lima puluh juta rupiah untuk dua orang”, jawab Amintanpa tahu mengapa tamu itu bertanya seperti itu.

Singkat cerita, tamu itu benar-benar menghajikan Amindan istrinya ke tanah suci. Mengapa tamu itu mau berkorban dengan uang sebanyak itu? Ternyata tamu itu ialah seorang kontraktor bangunan yang pada malam ketika ban mobilnya kempos sedang menuju ke suatu tempat untuk lelang pekerjaan esuk harinya. Atas bantuan Senen, dia bisa mengejar waktu untuk ikut lelang bangunan. Sebab, jika terlambat peserta lelang akan didiskualifikasi, alias tidak boleh ikut lelang karena tidak bisa presentasi.

Wal hasil, setelah semua prosedur dan proses lelang dilalui, kontraktor itu berhasil memenangkan lelang bangunan dengan nilai miliaran rupiah. Karena rasa terima kasih kepada Amin yang telah membantu kelancaran perjalanan menuju tempat lelang dengan menambal ban mobilnya, kontraktor itu memberinya hadiah. Hadiah itu berupa beaya perjalangan haji pulang pergi untuk Amin dan istrinya.

Cita-cita kang Amin untuk bisa menunaikan rukun ibadah haji kelima benar-benar terwujud, tidak dengan cara menabung dan pinjam sana sini tetapi lewat ketulusan membantu orang lain yang sedang memerlukan pertolongan. Jangankan kita, Amin pun tentu tidak pernah mengira bahwa akhirnya bisa berkunjung ke baitullah dari ketulusan menjalankan profesinya sebagai tukang tambal ban.

Mas Amin dan istri bersujud syukur karena memperoleh anugerah demikian besar dari Allah lewat kedermawanan orang kaya yang dia bantu ketika ban mobilnya kempos. Rasa syukur Mas Amin semakin bertambah karena justru teman-temannya yang sudah bekerja lebh dulu di perusahaan-perusahaan kontraktor dengan gaji jauh lebih besar belum ada satupun yang bisa menunaikan ibadah haji.

Bekerja dengan tulus apapun profesi yang kita geluti dengan iringan doa yang tidak pernah berhenti menjadi pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah Mas Amin. Karena itu, jika kita berprofesi sebagai dosen mengajar dan membimbing mahasiswa dengan niat tulus menyebarkan ilmu pengetahuan dan mahasiswa juga dengan tulus menerima materi yang diajarkan beserta nasihat-nasihatnya, bukan suatu yang mustahil cita-cita kita yang selama ini terpendam akan dikabulkan Allah, tanpa kita tahu waktu dan caranya seperti apa, seperti halnya mas Amin yang tidak pernah membayangkan memperoleh anugerah seperti itu. Kini Mas Amin telah berhaji, sehingga kawan-kawannya dan tetangganya memanggilnya Mas Haji Amin. Tetapi, kendati sudah berhaji, profesi tukang tambal ban tetap dilakukan. Sebab, lewat profesi itu Allah memberikan rezeki kepada Mas Haji Amin dan keluarganya. Semoga bermanfaat!

____________

Malang, 4 Mei 2015

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up