Kumandang Adzan itu Terdengar Sayup-Sayup
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Senin, 8 Juni 2015 . in Rektor . 15290 views

Pagi itu udara di ibukota Kalimantan Tengah, Palangkaraya,  sangat cerah. Angin bertiup sejuk. Saya lihat jam di dinding kamar hotel tempat saya menginap menujukkan angka 4.15. Dari jauh terdengar suara sayup-sayup adzan. Saya bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu dan menuju masjid tempat adzan itu berkumandang. Keluar dari hotel, saya menoleh ke kanan dan kiri mencari suara adzan itu. Saya bertanya kepada petugas keamanan hotel (satpam) di mana masjid terdekat yang mengumandangkan  suara adzan itu. Satpam itu menunjukkan saya berjalan ke arah kanan dengan jarak kurang lebih 1 km saya sampai di masjid.

 

Sambil berjalan mengikuti arahan petugas keamanan, saya melihat ke angkasa. Bintang-bintang bertebaran dengan sinar indahnya seolah menyambut suara adzan subuh. Benda-benda angkasa pun seolah saling bercakap-cakap menyambut datangnya mentari pagi. Dalam hati, saya bertasbih mengagumi betapa maha kuasa dan besarnya Allah, Tuhan sang pencipta jagad raya seisinya ini. Semua bergerak dalam aturannya, dan tak satupun yang keluar dari ketentuan Allah. Alam semesta pun menjadi demikian indah. Karena itu, tidak mungkin semua itu berjalan tiba-tiba dan otomatis, sebagaimana pandangan sekelompok orang-orang sekuler. Di mata orang beriman, semua itu ada sutradaranya, yakni Allah SWT. Dan, tak satupun ciptaan Allah itu yang sia-sia.

Beberapa saat kemudian sampailah saya di masjid berukuran sedang. Ternyata masjid yang ditunjukkan petugas hotel itu berada di dalam kompleks militer. Sedangkan masjid yang mengumandangkan suara adzan agak jauh dari hotel tempat saya menginap. Akhirnya, daripada terlambat ikut sholat subuh berjamaah, saya masuk menuju masjid di kompleks militer itu. Ternyata pintu masuk masjid terkunci rapat. Ketika beberapa saat saya berdiri di depan pintu masuk masjid, ada seorang pemuda datang mengendarai sepeda motor dengan membonceng bocah kecil. Dia membuka pintu masuk masjid, dan saya mengikuti di belakangnya.

Selanjutnya pemuda itu bergegas membuka pintu masjid, menyalakan lampu dan mengambil mike untuk beradzan. Saya dengarkan  adzan itu hingga selesai sebelum saya melaksanakan sholat sunnah takhiyatul masjid dua rokaat.  Usai mengumandangkan adzan, muadzin itu menunaikan sholat sunnah sebagaimana saya. Setelah itu, dia melantunkan sholawat sambil menunggu jama’ah yang akan menunaikan sholat subuh. Di sampingnya, ada bocah kecil yang dibonceng tadi berkerudung lengkap dengan mukenanya, yang tak lain adalah putrinya sendiri. Sambil setengah mengantuk, sang anak usia sekitar 4 tahun itu sesekali menggoda ayahnya yang sedang bersholawat. Dengan sabar, ayahnya membelai putrinya itu.

Hingga waktu sholat tiba, tak seorang pun jama’ah yang datang. Muadzin itu pun segera berdiri daan menjadi imam, sehingga makmumnya hanya hanya saya dan seorang anak kecil itu. Masuk rokaat kedua, ada satu lagi tambahan jama’ah yang datang, yakni seorang tentara yang sedang berjaga di pintu masuk kompleks militer itu, langsung merapat di samping saya. Begitu, imam membaca salam sebagai tanda berakhirnya sholat, tentara itu segera cepat-cepat meninggalkan masjid menuju pintu penjagaan lagi. Akhirnya, di masjid itu hanya ada tiga 3 orang, yaitu muadzin yang sekaligus  imam, saya, dan anak sang imam.

Setidaknya ada tiga pesan penting yang dapat saya petik dari peristiwa pagi itu. Pertama, betapa umat Islam menyepelekan ibadah sholat subuh berjamaah di masjid. Terbukti dari enggannya orang menuju masjid seperti yang saya alami pagi itu. Sebenarnya keadaan seperti itu bukan pertama kali terjadi. Di banyak tempat yang lain, kecuali di kompleks pondok pesantren, masjid biasanya sepi dari jama’ah sholat subuh. Padahal, dari berbagai riwayat, pahala sholat subuh berjama’ah di masjid itu berlimpah. Umumnya semua umat Islam sudah tahu janji Allah itu dan mempercayainya. Anehnya, sebagian di antara mereka  enggan melakukannya.

Memang di antara ibadah-ibadah sholat yang lain, melakukan sholat subuh paling berat. Salah satu sebabnya adalah karena dilakukan ketika umumnya orang masih menikmati tidurnya. Apalagi jika udara dingin, maka orang enggan meninggalkan rumah menuju masjid. Di saat-saat seperti itu setan pasti menggoda lewat bisikan mautnya agar orang tidak ke masjid, dan syukur jika tidak sholat. Sebab, sebagaimana sifatnya, setan selalu menggoda dan menghalangi siapa saja yang ingin berbuat kebajikan, termasuk siapa saja yang ingin menunaikan ibadah sholat.

Karena begitu beratnya melakukan sholat subuh, maka Allah mengganjarnya dengan pahala melimpah bagi siapa saja yang melakukannya. Sampai-sampai dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda andai saja orang tahu besarnya pahala menunaikan ibadah sholat subuh, maka merangkakpun akan dilakukan. Sayangnya, hingga kini semangat umat Islam untuk menjalankan sholat subuh berjamaah di masjid sangat rendah.

Kedua, ada pelajaran menarik yang ditunjukkan oleh sang muadzin pagi itu. Dia mengajak anaknya yang masih balita untuk menemaninya ke masjid di saat anak-anak seusianya masih tidur lelap. Ayah itu telah menanamkan pendidikan agama sejak dini melalui sholat subuh di masjid. Apa yang dilakukan muadzin itu patut dicontoh yang lain. Betapa pentingnya menanamkan pendidikan agama kepada anak sejak dini dengan berpraktik langsung. Tak seorangpun mengingkari bahwa lewat pendidikan agama nilai-nilai moral dan etika diajarkan.

Pendidikan memerlukan pembiasaan. Dengan anak diajak ke masjid sebagaimana dilakukan oleh muadzin itu diharapkan kelak anak akan terbiasa sholat berjama’ah yang memang sangat dianjurkan dalam Islam. Pendidikan itu suatu proses, dan karenanya tidak bisa dilakukan dengan cara instan. Lebih-lebih bagi pendidikan agama, materi yang baik, kurikulum yang dirancang dengan sempurna, sarana dan prasarana belajar mengajar yang memadai tidak cukup untuk mengantarkan anak menjadi religius. Diperlukan contoh atau tauladan dari pendidik dan orang-orang sekitarnya agar pendidikan agama berhasil dengan baik. Saya sering memperhatikan anak yang diajar pendidikan agama sejak dini dan ditunjang oleh lingkungan yang agamis, lebih-lebih orangtuanya, akan tumbuh dengan nilai-nilai agama yang telah ditanamkan.

Sebaliknya, anak yang terlambat mengenyam pendidikan agama, apalagi tidak ditunjang oleh lingkungan yang baik, akan tumbuh tanpa nilai-nilai atau norma agama. Orangtua akan sangat kesulitan mendidik agama kepada putra putrinya yang  sudah dewasa. Apalagi, orangtuanya tidak memberi contoh menjalankan ajaran agama yang dianut dan hanya menyerahkan pendidikan agama anaknya kepada guru privat atau guru ngaji di masjid atau langgar.

Ketiga, tentara yang ikut sholat di samping saya juga memberikan pelajaran berharga bahwa di tengah-tengah kesibukan bertugas pun seseorang bisa melakukan ibadah sholat jika memang ada niat. Niat merupakan kekuatan utama penggerak berbagai aktivitas manusia. Saya sangat salut dengan tentara yang masih berpakaian dinas (doreng) meninggalkan pos penjagaan sebentar untuk menunaikan ibadah sholat subuh itu. Sayangnya, saya tidak sempat berkenalan, karena usai salam dia segera meninggalkan masjid menuju pos penjagaan, tempat dia bertugas pagi itu.

Usai sholat saya berdzikir sejenak sebelum akhirnya meninggalkan masjid kompleks militer itu bersama sang imam dan muadzin sekaligus bersama putrinya. Wal hasil, pagi itu saya bersyukur. Sayup-sayup suara adzan yang membangunkan saya telah mengantarkan saya menuju masjid walau sholat berjamaah hanya dengan imam, seorang tentara dan bocah kecil, putri sang imam sendiri. Alhamdulillah !

____________

Palangkaraya, 16 Mei 2015

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up